Kawasan Tongke Lima di Kabupaten Alor, NTT, memberikan pesan terkait dengan dampak konservasi bagi lingkungan dan ekonomi masyarakat. Wilayah lain diharapkan dapat melakukan hal serupa demi menjaga alam tetap lestari.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Sebanyak 13 orang dari suku Aboic berdiri berjajar sembari merangkul tangan untuk menyambut para tamu yang baru hadir di kawasan Tongke Lima, Kampung Seieng, Desa Aimoli, Alor Barat Laut, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (26/11/2022). Dengan diiringi lantunan lagu daerah, mereka kemudian secara serentak melakukan tarian Holeng-holeng yang memiliki filosofi tentang nilai persatuan atau solidaritas yang tinggi antarsesama.
Dalam bahasa Alor dan beberapa daerah di Indonesia timur lainnya, tongke adalah sebutan untuk mangrove. Tongke Lima di Seieng merupakan kawasan ekosistem dengan ciri khas lima mangrove yang berdiri kokoh di tengah pantai. Ekosistem ini sekaligus masuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Daerah-Suaka Alam Perairan (KKPD-SAP) Selat Pantar dan Laut Sekitarnya seluas lebih dari 276.000 hektar.
Sebagai kawasan konservasi, Tongke Lima juga dikelola oleh masyarakat lokal karena memiliki potensi ekowisata. Mayoritas masyarakat pengelola Tongke Lima bekerja sebagai nelayan dan petani rumput laut. Bahkan, sebagian di antaranya pernah bekerja sebagai petambang pasir ilegal. Selain ilegal, pertambangan pasir untuk kebutuhan bahan bangunan itu juga bersifat merusak.
Menurut pengakuan Ketua Kelompok Ekowisata Tongke Lima Omen Au, masyarakat beralih menjadi pengelola kawasan konservasi karena telah menyadari bahwa pekerjaan mereka dahulu dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.
Kualitas rumput laut yang dibudidayakan turut memengaruhi keberlanjutan kawasan tersebut, khususnya untuk ekosistem padang lamun.
Masyarakat pun semakin tersadar pentingnya menjaga alam setelah terjangan badai Seroja pada 2021 lalu. Saat itu, badai Seroja turut memberikan dampak yang signifikan terhadap sejumlah wilayah di Alor, termasuk Desa Aimoli. Terjangan badai dan kuatnya angin bahkan telah menghancurkan sebagian besar pembatas pantai di Tongke Lima.
Kondisi tersebut kemudian memantapkan niat masyarakat lokal untuk mengelola kawasan Tongke Lima secara berkelanjutan. Pengelolaan ini baru fokus dilakukan tahun lalu setelah masyarakat mendapat pendampingan dari WWF Indonesia.
Meski demikian, Omen mengakui bahwa sampai saat ini masih banyak catatan terkait pengelolaan Tongke Lima. Guna mengelola kawasan ini secara berkelanjutan, mereka masih membutuhkan dukungan mulai dari infrastruktur, sanitasi, hingga penanganan kebersihan.
Masih dalam satu kawasan konservasi yang sama, masyarakat lokal juga telah melakukan panen rumput laut secara berkelanjutan dan ramah lingkungan. Sejak beberapa tahun lalu, panen sudah tidak menggunakan peralatan yang berpotensi merusak terumbu karang. Masyarakat juga telah menerapkan sistem pemanenan yang memenuhi standar kualitas.
Ketua Kelompok Budidaya Perikanan (Pokdakan) Tunas Baru Jibrael Maro mengatakan, dalam sebulan, rata-rata masyarakat dapat memanen rumput laut hingga 500 kilogram. Hasil yang diperoleh bahkan terkadang dapat lebih optimal berkat sistem pemanenan rumput laut yang ramah lingkungan dan memenuhi standar kualitas ini.
”Kami terus menjaga agar tidak ada yang menggunakan racun saat memanen rumput laut. Jadi, selama ini kami sudah mengedepankan proses pemanenan rumput laut yang ramah lingkungan,” tuturnya.
Pengelolaan Tongke Lima merupakan salah satu program pengembangan pariwisata berbasis komunitas (CBT) dari WWF Indonesia. Program ini bertujuan untuk mendukung dan mengakomodasi keterlibatan penuh masyarakat lokal dalam perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan usaha ekowisata, dan segala manfaat yang dapat diperoleh.
Selain itu, WWF Indonesia juga memiliki program perikanan berkelanjutan. Beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain melakukan pendampingan teknis kelompok perikanan, penguatan data, kajian daya dukung, dan pengelolaan dengan pendekatan ekosistem.
Bersama Pemerintah Kabupaten Alor, WWF juga mendorong pencatatan data perikanan yang dikembangkan di tingkat kecamatan. Hal ini dilakukan melalui enumerator yang ditempatkan di desa dengan format satu data perikanan sehingga dapat menyediakan data perikanan yang terbaru dalam mendukung pengelolaan kawasan KKPD.
Beragam potensi
Koordinator Area Perlindungan Laut (MPA) Wilayah Alor WWF Indonesia Haries Sukandar menjelaskan,Kampung Seieng dan Wahing menjadi lokasi untuk program dari WWF karena memiliki beragam potensi yang lebih tinggi daripada wilayah lain di Alor. Potensi tersebut mulai dari pengembangan ekowisata hingga budidaya rumput laut berkelanjutan.
”Kawasan konservasi yang lebih besar, seperti Pulau Pantar, memang menjadi pusat budidaya. Namun, masyarakat di Desa Aimoli sejak dahulu sudah menyadari tentang program keberlanjutan dan memahami berbagai jenis hewan yang dilindungi,” ucapnya.
Menurut Haries, praktik budidaya rumput laut dari masyarakat di Desa Aimoli cenderung tidak banyak melakukan interaksi atau gangguan dengan biota dilindungi. Proses budidaya juga dilakukan secara alami dan tidak menggunakan komponen berbahaya, seperti pupuk.
Mengenai pencapaian program yang telah dilakukan selama ini, Haries menyebut bahwa WWF memiliki parameter terkait dengan kualitas rumput laut yang dibudidayakan. Sebab, kualitas rumput laut yang dibudidayakan turut memengaruhi keberlanjutan kawasan tersebut, khususnya untuk ekosistem padang lamun.
”Di sini, masyarakat cukup selektif dalam menggunakan metode pemanenan rumput laut. Mereka tidak menggunakan metode patok, penggalian, dan pengerukan yang dapat merusak bentang alami ataupun ekosistem padang lamun,” ucapnya.
keberlanjutan ini tidak hanya ditekankan pada proses pemanenan, tetapi juga pada masa sebelum dan sesudah penanaman. Saat proses penanaman, masyarakat harus menyiapkan bibit rumput laut berkualitas minimal dua bulan sebelumnya.
Sesudah penanaman, masyarakat hanya memanen rumput laut dengan kandungan karagenan atau senyawa kompleks yang cukup. Kemudian pada proses pascapanen, masyarakat menjemur rumput laut di area yang steril dari berbagai kontaminan.
Tantangan konservasi
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor Sutio Ambao mengatakan, program konservasi di Alor sudah mulai dilakukan sejak 2002. Namun, saat itu luas kawasan konservasi baru ditetapkan 4 hektar. Setelah melalui berbagai kajian, kawasan konservasi ini kemudian ditetapkan menjadilebih dari 276.000 hektar.
Awalnya, program konservasi ini kerap menemui sejumlah tantangan, terutama terkait dengan penerimaan di masyarakat. Saat itu, konservasi dipandang sebagai program yang dilakukan untuk melarang dan mengekang aktivitas masyarakat. Akan tetapi, masyarakat akhirnya beralih mendukung program ini dengan pendekatan yang terus dilakukan oleh pemkab dan organisasi lingkungan lainnya.
”Pertentangan dari masyarakat terhadap konservasi ini terus berlangsung sekitar lima tahun. Namun, setelah program konservasi berjalan, masyarakat justru merasakan dampaknya seperti hasil tangkapan ikan yang semakin banyak dan berbobot,” ungkapnya.
Sutio berharap program konservasi di Alor dapat memberikan hasil lebih optimal baik dari aspek lingkungan, sosial, maupun ekonomi. Berbagai dampak yang diperoleh dari konservasi sekaligus bisa memberikan pesan kepada wilayah lain untuk melakukan hal serupa demi menjaga alam tetap lestari dan berkelanjutan.