Bantuan Bibit Rumput Laut Vital bagi Ribuan Keluarga di Pesisir NTT
Sebanyak 8.050 keluarga di Nusa Tenggara Timur dalam dua tahun terakhir mendapat bantuan meningkatkan budidaya rumput laut. Produksi rumput laut jauh di bawah potensinya.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sebanyak 8.050 keluarga di Nusa Tenggara Timur dua tahun terakhir mendapat bantuan dari pemerintah provinsi untuk mengembangkan rumput laut. Produksi rumput laut baru 2,3 juta ton per tahun, jauh dari target 14 juta ton per tahun. Rumput laut ini menyangga ekonomi rumah tangga warga pesisir di NTT.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Nusa Tenggara Timur Ganef Wurgiyanto di Kupang, NTT, Kamis (30/7/2020), mengatakan, NTT dengan jumlah 1.192 pulau memiliki potensi pantai sangat potensial untuk pengembangan rumput laut.
”Tahun 2019 pemprov bantu 4.050 keluarga yang berdiam di pesisir untuk pengembangan rumput laut. Bantuan itu berupa bibit rumput laut 50 kilogram per keluarga dan tali 300 meter per keluarga. Sasaran ke Kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Rote Ndao, dan Kabupaten Kupang,” kata Ganef.
Saat ini, 50.000 petani terlibat budidaya rumput laut. Namun, sekitar 15.000 di antaranya tidak terlibat rutin karena keterbatasan bibit dan harga rumput laut yang terus anjlok.
Tahun 2020 ini, bantuan serupa diberikan kepada masyarakat di Sabu Raijua, Alor, Lembata, Sikka, dan Flores Timur. Bantuan untuk dua kabupaten sudah terealisasi, yakni Sabu Raijua dan Kabupaten Alor. Tiga kabupaten tersisa akan direalisasikan bulan Juli-November 2020.
Pengembangan rumput laut di NTT terus didorong karena produksi rumput laut masih jauh dari potensi yang tersedia. Panjang wilayah pesisir NTT 12.000 km, 8.000 km di antaranya berpotensi untuk pengembangan rumput laut. Produksi rumput laut setiap tahun rata-rata 2,3 juta ton, dari 2.000 km panjang pantai yang dibudidaya rumput laut. Sesuai dengan potensi rumput laut yang ada, produksi ditargetkan 14 juta ton per tahun.
Saat ini, 50.000 petani terlibat budidaya rumput laut. Namun, sekitar 15.000 di antaranya tidak terlibat rutin karena keterbatasan bibit dan harga rumput laut yang terus anjlok, dari Rp 15.000 tahun 2015, lalu turun menjadi Rp 3.000 (2018). Sebanyak 35.000 petani rumput laut bekerja rutin karena mereka sudah terikat kontrak kerja dengan tiga perusahaan. Harga rumput laut pun relatif lebih tinggi, yakni Rp 12.000-Rp 15.000 per kg (kering) dibandingkan dengan jual bebas di pasar, hanya Rp 3.000-Rp 7.000 per kg (kering).
Ada tiga perusahaan yang bergerak di bidang rumput laut di NTT, yakni di Kupang, PT Rote Keragenen Nusantara, Sabu Raijua, PD Sabu Raijua, dan di Sumba Timur PT Astil. PT Rote Karagenan Nusantara di Tablolong, Kupang, telah mengekspor perdana pada 2019 sebanyak 25 ton rumput laut jenis Alkali treated cottonii chips untuk bahan baku industri ke Argentina. Hasil produksi dari dua perusahaan lain masih dimanfaatkan untuk kebutuhan dalam negeri.
”Paling penting dari produk rumput laut dan perikanan yang berstandar ekspor, yakni kemasan harus menarik, sesuai tuntutan bisnis. Selain itu, higienis dari produk itu pun terdata dan terpantau jelas, juga sesuai permintaan pasar sehingga tidak merugikan nilai kerja sama itu. Ini hal yang cukup menentukan, tetapi sering diabaikan,” kata Ganef.
Anggota DPR daerah pemilihan NTT, Julie Laiskodat, mengatakan, Pemprov NTT harus memiliki satu program pengelolaan rumput laut dan perikanan sesuai standar ekspor. Potensi rumput laut dan perikanan di NTT cukup diandalkan karena sebagai provinsi kepulauan. Akan tetapi, NTT tidak cukup dengan memproduksi hasil laut tersebut, produk-produk itu harus bisa diekspor.
Jefron Manu (45), petani rumput laut Desa Tablolong, Kabupaten Kupang, yang pemilik tiga lokasi rumput laut di pantai Tablolong, setiap tahun memanen dua kali di tiga lokasi itu. Produksinya 5 ton rumput laut kering.
Ia menjual rumput laut itu ke PT Rote Karagenan Nusantara dengan harga Rp 13.000-Rp 17.000 per kg. Hasil budidaya rumput laut ini cukup untuk menyekolahkan dua anaknya di Universitas Nusa Cendana, Kupang, dan satu lagi masih duduk di bangku SMP.
”Sekitar 1.200 keluarga di Tablolong ini terlibat budidaya rumput laut. Kami paling takutkan hama ais-ais yang sering menyerang rumput laut. Tahun 2018, saya tidak sempat panen karena hama tersebut. Tanaman rumput laut menjadi kuning, lemas, kemudian jatuh ke dasar laut, dan hancur sebelum masa panen,” kata Jefron.
Tahun 2018, ia melaporkan temuan itu ke Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kupang. Tiga petugas datang ke Tablolong mengambil sampel rumput laut, tetapi sampai hari ini tidak ada tindak lanjut.