Pada Kabupaten Alor tersemat sebutan ”Bumi Kenari” karena ribuan pohon kenari tumbuh alami. Namun, kenyataannya, julukan ini jauh panggang dari api. Banyak pihak masih abai terhadap kelestarian dan potensi kenari.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·6 menit baca
Puluhan pohon kenari kokoh berdiri dalam satu area yang sama di wilayah Desa Nailang, Alor Timur Laut, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Meski belum memasuki kawasan hutan, pohon dengan batang besar dan kokoh yang dapat hidup hingga ratusan tahun ini sudah terlihat jelas oleh mata telanjang dari jalan raya ataupun permukiman warga.
Pulau Alor adalah ”Bumi Kenari”. Begitulah orang-orang terdahulu menyebut wilayah ini. Julukan ini disematkan karena Alor merupakan wilayah yang ditumbuhi ribuan pohon kenari secara alami. Konon, kenari juga sudah tumbuh sejak ratusan tahun lalu dan dijadikan salah satu penanda area oleh nenek moyang orang Alor apabila akan bepergian ke wilayah lain.
”Dulu sebelum ada kendaraan, jarak tempuh ke wilayah kenari bisa satu hari. Nenek moyang kami memberi tahu bila mencari kenari harus ke daerah-daerah tertentu,” ujar Albertus Asamau (58), tokoh masyarakat Desa Nailang, saat ditemui, Jumat (11/3/2022).
Albert tidak terlalu mengetahui dengan pasti berapa umur pohon kenari tertua di wilayah Alor Timur Laut. Namun, ia memperkirakan pohon tertua telah berusia 100-200 tahun karena sudah diceritakan nenek moyang secara turun-temurun.
Meski demikian, Albert menyayangkan julukan Alor sebagai ”Bumi Kenari” seolah tak terlalu terpatri di masyarakat. Sejak dahulu, orang-orang Alor tidak pernah menjadikan kacang kenari yang berasal dari buah pohon ini sebagai komoditas utama. Bahkan, sebagian besar masyarakat juga tidak mengetahui kenari bisa diolah menjadi berbagai macam produk pangan.
Kelestarian kenari juga pernah terancam karena penebangan liar untuk dijadikan bahan bangunan oleh oknum masyarakat. Penebangan dilakukan karena Alor selalu kekurangan kayu sebagai bahan bangunan. Melihat kondisi ini, pemerintah daerah pun telah melarang penebangan pohon kenari untuk dijadikan bahan bangunan.
Sejak dahulu, orang-orang Alor tidak pernah menjadikan kacang kenari yang berasal dari buah pohon ini sebagai komoditas utama. Bahkan, sebagian besar masyarakat juga tidak mengetahui kenari bisa diolah menjadi berbagai macam produk pangan.
Dari penuturan masyarakat, beberapa warga yang diketahui menebang pohon kenari secara ilegal juga sempat berurusan dengan pihak berwajib. Karena kejadian tersebut, masyarakat mulai memandang kenari sebagai musuh dan bencana. Kebencian mereka bahkan ditunjukkan dengan cara membakar puluhan pohon kenari yang masih kokoh berdiri.
Ancaman terhadap kelestarian kenari tidak hanya datang dari faktor manusia, tetapi juga kondisi alam. Sejumlah pohon kenari sempat tumbang karena tak kuat menahan kencangnya angin saat Alor dan beberapa daerah lain di NTT diterjang badai Seroja, April 2021.
Ancaman tersebut juga diakui Pemerintah Kabupaten Alor. Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Alor Arbay Koho, tebangan kayu dari pohon kenari dijual dengan harga yang relatif murah dibandingkan jenis kayu lain. Di sisi lain, Alor jarang mendapat kiriman stok kayu bangunan dari luar daerah.
”Kelestarian kenari di Alor juga terancam karena keengganan masyarakat untuk menanam pohon ini kembali akibat nilai jualnya kecil sekali. Upaya yang paling bijak dilakukan saat ini yaitu mengeluarkan peraturan daerah tentang pelarangan penebangan pohon kenari. Tanpa adanya aturan ini, saya yakin kenari akan tetap ditebang,” ucapnya.
Titik balik
Titik balik masyarakat memandang kenari terjadi saat organisasi Wahana Visi Indonesia (WVI) dan Timurasa mulai datang ke Alor sebagai mitra petani dan memberikan pemberdayaan kepada komunitas lokal sejak 2018. Mereka memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa kenari adalah komoditas hutan yang bisa diolah untuk berbagai macam produk pangan, seperti selai, biskuit, hingga gelato atau es krim.
Selain itu, upaya mendekatkan akses pasar kepada masyarakat juga mendapat dukungan Program Kehutanan Multipihak Fase 4 (MFP4) yang merupakan program kerja sama Pemerintah Inggris dengan Indonesia sejak tahun 2000. MFP4 mengedepankan pendekatan market access player (MAP)dan melakukan inkubasi pada mitra kerjanya untuk membantu para pelaku usaha hutan berbasis masyarakat dapat berkembang lebih cepat.
Development Facilitator WVI Wilayah NTT Ferdinand Bano mengatakan, WVI lebih fokus mengembangkan kenari karena nilai ekonominya jauh di bawah rata-rata komoditas lain. Setelah adanya intervensi, kenari kini memiliki nilai jual yang lebih tinggi.
Sejak menjalin kemitraan dengan masyarakat, capaian angka penjualan kenari Alor juga semakin meningkat. Dari data yang dihimpun WVI, sejak Maret 2019 hingga Juni 2021 tercatat 5.824 kilogram kenari Alor telah terjual ke sejumlah mitra, termasuk Timurasa.
”Tantangan terbesar saat ini yaitu belum adanya data sebaran pohon kenari. Masyarakat dan pihak desa juga tidak mengetahui jumlah pohon kenari di wilayahnya. Penebangan kenari dengan alasan apa pun juga harus segera diminimalkan,” katanya.
Koordinator Kelompok Perempuan Kenari Desa Nailang Veronika Asafa mengatakan, sebelum bermitra dengan Timurasa, masyarakat sudah mengambil kenari, tetapi dengan pemasaran yang terbatas. Saat itu, masyarakat langsung menjual utuh buah kenari tanpa dikupas atau diolah kepada pengepul besar dengan harga Rp 15.000-25.000 per kilogram.
Namun, setelah menjalin kemitraan, masyarakat didampingi dalam mengupas buah kenari, mengeringkan, dan menjualnya dalam bentuk kacang. Pendampingan diperlukan agar kualitas kacang kenari menjadi lebih baik. Pengolahan kacang kenari ini terbukti bisa meningkatkan harga jual menjadi Rp 75.000 per kilogram.
”Pada 2019, kami pernah mengirimkan hingga 500 kilogram per bulan. Tetapi, sejak pandemi pada 2020 sampai saat ini belum mengirim kembali dalam jumlah besar. Sekarang paling tinggi kami hanya bisa mengirimkan 100 kilogram per bulan karena susah mendapatkan dari petani dan banyak pembatalan,” tuturnya.
Mengetahui terdapat nilai ekonomi besar dari kenari, Veronika dan masyarakat Alor lainnya kini kian fokus menjaga pohon kenari dari ancaman manusia ataupun faktor alam. Mereka juga terus memperbaiki kualitas kacang agar memenuhi permintaan pasar.
Veronika berharap, dengan dukungan banyak pihak, termasuk pemerintah daerah, ke depan Alor benar-benar menjadi daerah dengan komoditas utama kenari. Sebab, selama ini produktivitas kenari masih jauh dibandingkan porang, vanili, kakao, ataupun kacang mete.
Dukungan dana desa
Staf Ahli Bidang Hubungan Antarlembaga Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan TransmigrasiSamsul Widodo yang turut mengunjungi Alor menyambut baik dan mendukung program kemitraan pengembangan komoditas lokal. Program ini juga bisa didukung dengan mengoptimalkan dana desa karena 20 persen penggunaannya ditujukan untuk ketahanan pangan.
Samsul mengakui bahwa selama ini baik perangkat desa maupun pemerintah daerah masih memiliki pola pikir penggunaan dana desa sebatas untuk pembangunan infrastruktur atau program fisik lainnya. Oleh karena itu, sosialiasi mengoptimalkan dana desa perlu terus dilakukan, termasuk kepada 40.000 pendamping desa dari sumber daya manusia lokal.
Setelah mengunjungi daerah dengan komoditas kenari ini, ia pun berharap pemerintah daerah dan pusat dapat mendorong usaha lokal di kawasan Indonesia timur. Dana desa juga bisa digunakan untuk membuat toko khusus di lokasi strategis guna memasarkan komoditas lokal yang sudah diolah dan dikemas dengan lebih baik.
”Kunci berhadapan dengan masyarakat yaitu bagaimana memberikan referensi atau contoh baik tentang kemitraan ini. Jadi, program MFP4 juga sangat beririsan dengan Kementerian Desa. Bila program di Alor atau daerah lainnya ini sukses, otomatis orang desa ingin agar mereka ikut terlibat,” ucapnya.