Minim, Perlindungan pada Perempuan Pembela HAM
Ketiadaan regulasi yang melindungi perempuan pembela HAM membuat mereka berada dalam kondisi rentan dan berisiko. Setiap saat mereka menghadapi ancaman kekerasan terutama kekerasan berbasis jender.
Kendati perempuan pembela hak asasi manusia (HAM) berjuang dalam memajukan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan HAM, khususnya hak asasi perempuan, mereka masih berada berbagai situasi sulit, penuh tekanan, dan berisiko. Pemerintah dan DPR didorong untuk segera menyusun regulasi yang melindungi para perempuan pembela HAM dalam menjalankan tugasnya.
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai kehadiran kebijakan tersebut mendesak. Hal ini karena para perempuan pembela HAM (PPHAM) ketika bekerja menghadapi kerentanan-kerentanan khusus, rentan mengalami kekerasan berbasis jender.
“Komnas Perempuan memandang penting kehadiran PPHAM sebagai pengawal hak-hak asasi perempuan di berbagai konteks persoalan masyarakat dan negara termasuk tantangan pembangunan,” ujar Theresia Sri Endas Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan, Selasa (29/11/2022) pada webinar Ppringatan Hari PPHAM dan peluncuran Manual Perlindungan Keamanan PPHAM di Indonesia dengan tema “Merajut Kerangka Perlindungan bagi Perempuan Pembela HAM”.
Baca juga : Perempuan Pembela HAM Menanti Perlindungan Negara
Dalam kegiatan rangkaian kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) Tahun 2022 tersebut, Komnas Perempuan mendefinisikan PPHAM sebagai perempuan yang membela HAM perempuan dan HAM pada umumnya, dan juga setiap orang (perempuan, laki-laki, dan/atau jenis kelamin lainnya) yang berjuang untuk penegakan dan pemajuan hak asasi khususnya hak asasi perempuan. Upaya pembelaan itu dilakukan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama atau berkelompok.
Theresia menyatakan sejak2020 Komnas Perempuan melakukan pemantauan dan kajian terkait situasi kerentanan yang dialami oleh PPHAM. Hasilnya Komnas Perempuan menemukan, PPHAM memiliki kerentanan lebih tinggi dibandingkan pembela HAM berjenis kelamin laki-laki. Mulai dari identitas jender hingga seksualitasnya yang kerap menjadi sasaran ancaman.
Hasil pemetaan Komnas Perempuan, terdapat 19 bentuk kekerasan terhadap para pembela HAM. Dari jumlah tersebut, sepuluh bentuk kerentanan dan kekerasan khusus dialami oleh PPHAM sementara sembilan lainnya dialami oleh laki-laki pembela HAM.
PPHAM berhadapan dengan kerentanan dan kekerasan khusus karena jendernya. Kerentanan pertama yaitu serangan terhadap tubuh dan seksualitas perempuan yang merupakan elemen utama penilaian kesucian dan harga diri perempuan di dalam masyarakat patriarkis. Tubuh dan seksualitas perempuan tidak henti-hentinya dijadikan obyek kekerasan. Kerentanan kedua yaitu serangan terhadap perempuan atas dasar stereotipe dan atas peran jendernya.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan dalam rentang 2015-2021 terdapat 87 kasus kekerasan terhadap PPHAM yang diadukan secara langsung. Kenaikan signifikan terjadi pada dua tahun ke belakang, pada 2020 terdapat 36 kasus kekerasan, dan 2021 tercatat 23 kasus sedangkan 2019 terdapat 5 kasus.
Theresia menegaskan, data kekerasan terhadap PPHAM tersebut, merupakan fenomena gunung es, diyakini serangan dalam berbagai bentuknya lebih besar dari yang dilaporkan.
Baca juga : Perempuan Pembela HAM Tak Luput dari Teror
Laporan Kajian Cepat Kriminalisasi terhadap PPHAM yang diluncurkan pada Desember 2021 juga mencatat tentang serangan terhadap PPHAM juga terjadi melalui siber, seperti peretasan, persekusi, dan fitnah.
Selain itu, serangan dos (denial-of-service) pada organisasi PPHAM atau media daring yang memberitakan atau mengangkat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Bahkan keluarga PPHAM mengalami intimidasi dan ancaman sehingga kehilangan hak atas rasa aman dalam kehidupannya.
Kajian Komnas Perempuan tentang kriminalisasi PPHAM juga memperlihatkan Pasal 27 dan 28 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) seringkali dijadikan dasar dalam melakukan kriminalisasi terhadap PPHAM. Kondisi tersebut berdampak buruk bagi PPHAM dan menghambat kerja-kerja pemajuan HAM perempuan di Indonesia.
Meski demikian, pembungkaman melalui ancaman, kekerasan, dan kriminalisasi, keberadaan PPHAM belum dilindungi. Di antara kriminalisasi tersebut, Komnas Perempuan juga mencatat tidak jarang PPHAM juga dianggap sebagai tuduhan pembuat makar dan provokatif terutama dalam kasus-kasus konflik sumber daya alam dan politik.
Merespons situasi tersebut, Komnas Perempuan bersama Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII) telah menyusun Manual Perlindungan Keamanan Perempuan Pembela HAM di Indonesia.
Manual tersebut disusun sebagai alternatif di tengah kekosongan kebijakan perlindungan bagi pembela HAM khususnya Perempuan Pembela HAM.
Bagi Komnas Perempuan, kehadiran PPHAM sangat penting sebagai pengawal hak-hak asasi perempuan di berbagai konteks persoalan masyarakat dan negara termasuk tantangan pembangunan.
“PPHAM juga merupakan mitra kritis untuk memastikan pelanggaran HAM ditangani, mendorong negara untuk mengimplementasikan kewajiban HAM internasional, dan memberikan pendidikan HAM untuk warga negara sebagai bagian dari hak konstitusional,” kata Bahrul Fuad, Komisioner Komnas Perempuan.
Untuk itu, dalam rangka peringatan Hari Perempuan Pembela HAM, Komnas Perempuan merekomendasikan aparat penegak hukum untuk memperkuat pemahaman dan kapasitas terkait penanganan terhadap PPHAM. Selain itu, penegak hukum agar tidak menggunakan aturan-aturan hukum untuk tujuan yang bertentangan dengan nilai keadilan dalam masyarakat.
Adapun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak diharapkan menyosialisasikan peran penting PPHAM, mendorong adanya kebijakan yang melindungi PPHAM, mendata kekerasan terhadap PPHAM, serta membangun mekanisme perlindungan terpadu bagi PPHAM.
Ketua Komnas Perempuan Andi Yentriyani memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada PPHAM yang terus berjuang dalam menegakan dan memajukan HAM khususnya hak asasi Perempuan dalam berbagai situasi sulit dan penuh risiko. Meski harus menghadapi berbagai tantangan, PPHAM terus menghadapi tantangan-tantangan tersebut.
“Perempuan Pembela HAM mempunyai peran penting dalam penegakan dan pemajuan HAM di Indonesia. Kehadiran perempuan pembela HAM terutama penting dalam mendampingi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kasus kekerasan seksual,” tegas Andi.
Dari kajian sebelumnya Komnas Perempuan menemukan, hanya sekitar 30 persen dari kasus perkosaan yang dilaporkan, dan kehadiran PPHAM dalam mendampingi korban menjadi krusial dalam memastikan proses pemulihan dan peneguhan korban berlangsung bersamaan dengan proses hukum yang berjalan.
“Pentingnya kehadiran PPHAM inilah yang menjadi dasar bagi UU TPKS, yang baru saja disahkan awal tahun ini, untuk memastikan jaminan imunitas dari tuntutan perdata dan pidana atas pelaporan kasus kekerasan seksual dapat dinikmati oleh korban, keluarga korban, dan juga pendamping,” kata Andi.
Mendorong penegakan hukum
Anis Hidayah, Komisioner Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) menyatakan Manual Perlindungan Keamanan PPHAM di Indonesia bisa menjadi instrumen yang akan mendorong penegakan hukum terhadap kasus kekerasan dan kasus lain yang dihadapi PPPHAM, yang selama ini nyaris tidak diselesaikan melalui jalur hukum yang berkeadilan, transparan, terbuka, dan imparsial.
“Sehingga diharapkan manual tersebut bisa menghapuskan impunitas terhadap praktik-praktik kekerasan yang dihadapi PPHAM selama ini,” tutur Anis.
Aktivis lembaga swadaya masyarakat menyuarakan perlindungan terhadap aktivis pembela HAM dan pejuang antikorupsi di Kantor ICW, Jakarta, April 2019. .
Ia menilai, selama ini pelaporan kekerasan yang dialami PPPHAM sangat minim karena situasi berlapis yang dihadapi dirinya sendiri, keluarga, dan lingkungan. Begitu juga pendataan dan dokumentasi PPHAM yang meninggal, dan catatan kasus yang dialami PPHAM juga masih minim.
Rosmiati Sain dari Forum Pengada Layanan (FPL) bagi Perempuan Korban Kekerasan menilai menyatakan Manual Perlindungan Keamanan PPHAM diharapkan menjadi panduan bagi PPHAM yang selama ini mendampingi kasus kekerasan berbasis jender terutama pelakunya aparat.
“Bagaimana ketika PPHAM mendampingi orang dengan HIV/AIDS atau perempuan positif HIV yang selama ini mengalami ketakutan status HIV dari pendamping dan klien dibuka atau disebarkan,” kata Rosminati.
Tasdiyanto Rohadi, Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan pemahaman kesetaraan jender sangat penting di setiap sektor pembangunan termasuk bidang lingkungan hidup dan kehutanan.
Kesenjangan jender merupakan akibat dari pembangunan yang netral jender dan bias jender. Karena adanya anggapan bahwa bicara masyarakat sudah mencakup laki-laki dan perempuan. Padahal, persoalan yang dihadapi laki-laki dan perempuan berbeda, begitu juga kebutuhannya.
Kendati masih ada keterbatasan, Theresia menegaskan Manual Perlindungan Keamanan PPHAM bukan akhir dari segalanya. Namun, setidaknya menjadi pemandu PPHAM baik secara individu dan organisasi untuk memahami situasi yang dihadapi dan langkah yang akan dilakukan jika menghadapi situasi sulit dan beresiko.
Karena itulah, semua pihak diharapkan memahami bahwa urusan perlindungan PPHAM seharusnya ada di tangan negara, atau pemerintah. Karenanya apapun bentuk perlindungan dari negara sangat penting.