Menanti Dunia Bebas Polio
Perang melawan virus polio tak kunjung berakhir. Imunisasi yang menjadi kunci pemberantasan penyakit itu masih menghadapi sejumlah kendala, termasuk penolakan sejumlah warga.
Dunia belum bebas dari polio meski virus penyakit ini telah beredar di seluruh dunia sejak ribuan tahun lalu. Bahkan, Indonesia yang telah menerima status bebas polio delapan tahun lalu baru-baru ini menetapkan kejadian luar biasa polio di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh.
Penyakit polio (poliomyelitis) disebabkan enterovirus yang disebut virus polio dan kebanyakan menyerang anak-anak berusia di bawah lima tahun. Virus ini bisa berinteraksi dalam inangnya dengan dua cara yakni, infeksi virus polio yang tidak masuk sistem saraf pusat menimbulkan gejala ringan dan infeksi virus yang masuk sistem saraf sehingga menimbulkan kelumpuhan pada pasien.
Penularan virus ini melalui mulut ataupun sarana umum misalnya air dan makanan yang tercemar dan berkembang biak di usus. Orang yang terinfeksi melepaskan virus polio ke lingkungan dan menyebar lewat komunitas, terutama yang tinggal di daerah dengan sanitasi buruk.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, satu dari 200 infeksi polio menyebabkan kelumpuhan permanen dan 5-10 persen di antaranya meninggal saat otot pernapasan mereka tak bisa bergerak. Gejala awal penyakit ini meliputi demam, kelelahan, sakit kepala, muntah, leher kaku dan nyeri tungkai.
Baca juga: Kembalinya Polio dan Peran Penting Vaksinasi
Keberadaan virus polio telah terekam sejak zaman prasejarah dan tak kunjung punah. Gambar-gambar Mesir kuno menunjukkan anak-anak berjalan memakai tongkat, dengan anggota tubuh layu yang jadi ciri khas penyakit tersebut. Serangan virus itu memengaruhi kondisi anak-anak selama ribuan tahun.
Infografis kabupaten dan kota yang berisiko tinggi terjadi polio dan campak di wilayah Papua pada tahun 2022. Kondisi ini disebabkan minimnya cakupan imunisasi anak yang belum mencapai target 95 persen.
Menurut WHO, deskripsi klinis polio pertama diketahui dokter Inggris, Michael Underwood, sebelum tahun 1789 dan resmi diakui sebagai kondisi polio pada 1840 oleh dokter Jerman, Jakob Heine. Awal abad ke-20, polio melumpuhkan ratusan ribu anak setiap tahun.
Polio mewabah di Amerika Serikat pada 1952 hingga menewaskan lebih dari 3.000 orang. Banyak penderita polio yang selamat mengalami kelumpuhan permanen sehingga membutuhkan penyangga kaki, kruk, ataupun kursi roda. Bahkan, beberapa pasien di antaranya mesti menggunakan alat bantu pernapasan.
Pada pertengahan abad ke-20, virus polio menyebar ke seluruh dunia dan membunuh serta melumpuhkan lebih dari setengah juta orang tiap tahun. Terobosan terjadi pada 1949 saat virus polio berhasil ditanam di jaringan manusia oleh John Enders, Thomas Weller, dan Frederick Robbins di Rumah Sakit Anak Boston hingga mereka dianugerahi Hadiah Novel 1954.
Tak lama kemudian, awal 1950-an, vaksin pertama polio berhasil dibuat dokter AS, Jonas Salk. Salk menguji coba vaksin virus pembunuhnya pada dirinya dan keluarganya pada 1953, setahun kemudian 1,6 juta anak di Kanada, Finlandia, dan AS divaksin polio. Hasilnya diumumkan pada 12 April 1955 dan vaksin polio tidak aktif (IPV) temuan Salk dilisensikan.
Baca juga: Penderita Polio di Pidie Tidak Diimunisasi
Seiring temuan vaksin itu, kasus tahunan turun drastis dan tahun 1961 tersisa 161 kasus. Enam perusahaan farmasi diberi lisensi memproduksi IPV. Jenis vaksin polio kedua, yakni vaksin polio oral (OPV) dikembangkan dokter dan ahli mikrobiologi Albert Sabin. Vaksin tersebut menggunakan virus yang dilemahkan dan dapat diberikan secara oral.
Hingga kini, menurut polioeradication.org, ada dua vaksin yang tersedia, yakni vaksin polio oral dan vaksin polio yang tidak aktif. Keduanya efektif dan aman, serta dipakai dalam kombinasi berbeda, tergantung kondisi epidemiologis dan program lokal demi memberi perlindungan terbaik bagi sasaran vaksinasi.
Pada tahun 1988, Majelis Kesehatan Dunia mengadopsi resolusi pemberantasan polio di seluruh dunia. Hal ini menandai peluncuran Inisiatif Pemberantasan Polio Global dipelopori pemerintah nasional, WHO, Rotary International, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), serta Unicef. Kemudian Bill & Melinda Gates Foundation dan GAVI, the Vaccine Alliance bergabung dalam upaya tersebut.
Sejak itu, kejadian polio di seluruh dunia berkurang hingga 99 persen dan dunia berada di ambang pemberantasan penyakit manusia untuk kedua kali dalam sejarah, setelah cacar pada tahun 1980. Kasus akibat virus polio liar menurun dari sekitar 350.000 kasus di lebih dari 125 negara endemik menjadi 6 kasus pada 2021. Kini virus polio hanya beredar di dua negara, yakni Pakistan dan Afghanistan.
Kegagalan menghentikan polio di area terakhir yang tersisa ini bisa mengakibatkan kebangkitan penyakit secara global. Pemodelan ekonomi menemukan pemberantasan polio menghemat setidaknya 40 miliar-50 miliar dollar AS, sebagian besar di negara-negara berpenghasilan rendah. Hal paling penting yakni tidak ada anak yang akan menderita efek mengerikan dari kelumpuhan polio seumur hidup.
Vaksinasi
Vaksinasi menjadi kunci pemberantasan virus polio liar. Ada tiga serotipe virus polio liar tipe 1, tipe 2, dan tipe 3. Kekebalan terhadap satu serotipe tidak memberikan kekebalan terhadap dua serotipe lainnya. Wabah virus polio sebagian besar tidak diketahui sebelum abad ke-20. Dengan menurunnya perlindungan dari antibodi ibu, infeksi virus polio mengakibatkan kelumpuhan.
Sementara virus polio liar tipe 2 dinyatakan diberantas pada September 2015, dengan virus terakhir terdeteksi di India pada tahun 1999. Virus polio liar tipe 3 dinyatakan diberantas pada Oktober 2019. Terakhir terdeteksi pada November 2012. Kini hanya virus polio liar tipe 1 yang tersisa.
Namun, bentuk polio lain bisa menyebar di komunitas, yakni virus polio yang berasal dari vaksin (circulated vaccine derived polio viruses/cVDPV). Kasus cVDPV meningkat beberapa tahun terakhir karena tingkat imunisasi rendah di masyarakat. Adapun cVDPV tipe 2 tercatat 959 kasus secara global pada 2020 karena Afrika telah menghentikan transmisi virus polio liar pada Agustus 2020.
Di Indonesia, menurut catatan Kompas, kejadian luar biasa (KLB) polio pernah terjadi di Kecamatan Cidahu dan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada tahun 2005 dengan setidaknya 16 kasus lumpuh layu (acute flaccid paralysis/AFP), kelumpuhan mendadak, akibat terserang virus polio liar tipe 1.
Setelah kegiatan imunisasi nasional polio gencar dilakukan, Indonesia dinyatakan berstatus bebas polio pada 2014. Namun, pada 2018, KLB polio yang disebabkan virus circulated vaccine derived poliovirus type 1 dilaporkan dialami dua anak di Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua, dan baru dua tahun kemudian WHO memutuskan Indonesia tak lagi sebagai negara yang terjangkit polio.
Baca juga: Kejadian Luar Biasa Polio di Papua Diakhiri
Kini KLB polio terjadi lagi pertengahan November 2022 seiring menurunnya cakupan vaksinasi selama pandemi Covid-19. Satu anak di Kabupaten Pidie, Aceh, terinfeksi polio jenis cVDPV tipe dua dan mengalami lumpuh layu, sedangkan tiga anak lainnya positif terinfeksi virus polio melalui pemeriksaan sampel tinja.
Dari survei cepat Kementerian Kesehatan bersama WHO pada 26 rumah tangga di Pidie, hanya 8 dari 33 anak yang sudah mendapat vaksin OPV lengkap. Dari 33 anak itu, tak ada yang mendapat vaksin IPV. Alasan terbanyak orangtua tidak mau mengimunisasi anaknya yakni takut kejadian ikutan pascaimunisasi, ayah tak mengizinkan, dan pengasuh tak paham manfaat vaksin polio.
Semakin rendah kekebalan populasi, maka virus ini akan makin lama bertahan lalu bereplikasi, bermutasi, dan bertukar materi genetik dengan enterovirus lain saat menyebar melalui komunitas.
Outbreak response immunization (ORI) untuk mengendalikan KLB polio pun dilakukan di Pidie, dan ORI di Aceh akan dilakukan mulai 5 Desember 2022. Upaya itu tak cukup mencegah berulangnya penularan polio di masa depan selama masih ada penolakan vaksinasi dari sebagian warga dengan beragam alasan.
Padahal, selama satu anak terinfeksi, anak-anak di semua negara berisiko tertular polio. Semakin rendah kekebalan populasi, maka virus ini akan makin lama bertahan lalu bereplikasi, bermutasi, dan bertukar materi genetik dengan enterovirus lain saat menyebar melalui komunitas.
Pendekatan sosial
Untuk itu, kampanye imunisasi mesti lebih gencar dilakukan. Namun, strategi kampanye tak bisa hanya memakai pendekatan kesehatan, tetapi mesti memperhatikan aspek budaya dan sosiologis masyarakat setempat. Pelibatan tokoh masyarakat dan tokoh agama menjadi salah satu kunci keberhasilan pelaksanaan imunisasi.
Dalam KLB polio di Sukabumi, misalnya, penolakan masyarakat setempat disebabkan antara lain kekhawatiran adanya kejadian ikutan pascaimunisasi dan keyakinan agama. Karena itu, selain jemput bola ke rumah-rumah warga, imunisasi massal digelar dengan melibatkan para tokoh agama dan masyarakat setempat.
Cara terbaik mencegah dan menghentikannya saat ada wabah, yakni memvaksinasi anak-anak. Jika suatu populasi diimunisasi penuh terhadap polio, maka akan terlindungi dari penyebaran virus polio. Maka dari itu, imunisasi mesti lebih gencar dilaksanakan demi memastikan polio diberantas sepenuhnya dan untuk selamanya.