Kesehatan Mental Anak Muda Modal Pemanfaatan Bonus Demografi
Walaupun masih banyak anak dan remaja yang belum mengakses layanan kesehatan mental, kesadaran mengenai isu ini mulai terbangun.
Oleh
ZULIAN FATHA NURIZAL
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesehatan mental pada penduduk usia produktif akan bisa sangat menentukan peluang mengoptimalkan bonus demografi Indonesia. Hal ini membutuhkan kesadaran anak muda dalam mengetahui sejak dini kesehatan mentalnya serta tak kalah penting dukungan keluarga atau orangtua mereka.
Dengan demikian, saat bonus demografi terjadi, yakni diperkirakan pada tahun 2030-2040, mereka yang menginjak usia produktif dapat berkontribusi optimal. Saat itu, jumlah penduduk diperkirakan 297 juta jiwa yang 64 persennya merupakan usia produktif.
”Sangat disayangkan jika usia produktif itu yang juga termasuk pemuda terganggu kesehatan mentalnya. Terdapat 50 persen masalah kesehatan mental muncul pada anak di bawah 14 tahun,” kata Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan R Vensya Sitohang, Selasa (29/11/2022), dalam diskusi bertajuk ”Kesehatan Mental Pada Pemuda: Penting”.
Acara ini diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan secara daring.
Angka bunuh diri menurun dari tahun 2020 sebanyak 671 kasus menjadi 393 kasus pada Juli 2021. Meski begitu, 54 persen dari angka bunuh diri berada pada kelompok usia 10 tahun sampai 40 tahun.
Vensya mengutarakan, hanya 44,2 persen anak dan remaja yang mengakses layanan pengobatan kesehatan mental. Sementara sisanya tidak menyadari bahwa kesehatan mental mereka terganggu. Hal ini dapat disebabkan stigma dan kurangnya edukasi di masyarakat.
”Kementerian kesehatan sudah melakukan edukasi dari hulu masalah, yaitu calon orangtua dan orangtua yang sudah memiliki anak. Edukasi itu dengan mengajarkan pola asuh yang suportif dan menghargai anak,” kata Venya. Hal ini dapat mencegah kesehatan mental terganggu sehingga anak akan tumbuh kuat ketika dewasa.
Selain itu Kemenkes juga mengimbau agar menghentikan penggunaan diksi orang gila menjadi orang dalam gangguan jiwa atau ODGJ. Hal itu dilakukan agar stigma terhadap mereka yang mengalami masalah kesehatan mental berangsur berkurang.
”Permasalahan kesehatan mental pada remaja dan anak timbul pada hal sederhana, seperti gangguan pada belajar, cemas, dan tingkat yang paling parah dapat menyebabkan kematian dengan bunuh diri. Itu yang paling penting harus diperhatikan,” tutur Venya.
Senada dengan Venya, dokter fungsional dan psikiater dari Rumah Sakit Umum Daerah Depok, Diana Papayungan, juga menyetujui penyebab masalah kesehatan muncul dengan hal sederhana. Dia mencontohkan, di Depok banyak anak muda kebanyakan mahasiswa yang datang kepadanya untuk berkonsultasi karena stres menghadapi perkuliahan.
”Selain perkuliahan, gangguan kesehatan mental paling parah disebabkan oleh perundungan. Jangan salah, perundungan bukan di sekolah saja, di perkuliahan juga banyak,” ujar Dina.
Setiap harinya, rata-rata Diana menghadapi lima pasien yang ingin menyakiti diri sendiri. Kebanyakan pasiennya memukulkan kepala ke tembok atau menyayat tangannya agar mendapatkan rasa tenang.
Menurut Diana, menyakiti diri sendiri akan mengarah pada tindakan bunuh diri walaupun awalnya tidak memiliki rencana demikian. Maka dari itu, perlu peran banyak pihak termasuk masyarakat agar lebih sadar akan kesehatan mental pada anak muda. Jika tidak diatasi, hal ini akan menjadi bom waktu yang bisa meledak di kemudian hari.
”Pencegahan awal dan paling efektif ada di keluarga. Harus diciptakan suasana senyaman mungkin di rumah agar kesehatan mental tidak meluas dengan menyakiti diri sendiri sampai bunuh diri,” ujar Diana.
Dia menambahkan, deteksi dini kesehatan mental mudah dilihat dengan berbagai tanda. Di antaranya sering menyindiri, merasa tidak berguna, sampai dengan memiliki keinginan bunuh diri walaupun baru diucapkan saja.
Kesadaran
Walaupun masih banyak anak dan remaja yang belum mengakses layanan kesehatan mental, kesadaran mengenai isu ini mulai terbangun. Pasien yang Diana temui kebanyakan sudah mendiagnosis diri sendiri sesuai dengan pengetahuan melalui Google.
”Mereka sadar, tapi tidak bisa memastikan. Hal ini bagus sebagai awal mengubah stigma kesehatan mental. Itulah tugas dokter dan psikiater membantu menjelaskan dan menyembuhkan,” ujar Diana.
Jajak pendapat
Kesadaran pada anak muda mengenai isu kesehatan mental ini tergambar dari hasil jajak pendapat U-Report bersama Center for Indonesian Medical Students Activities atau CIMSA yang terbit pada 5 Oktober 2022.
Vice President External Affairs CIMSA 2022 Della Zurahma mengatakan, hasil tertinggi dari jajak pendapat menunjukkan para remaja kadang-kadang menduga mengalami penyakit kesehatan mental yang ciri-cirinya berdasarkan kondisi mental saat itu. Hal ini menunjukan bahwa responden sudah sadar mengenai isu kesehatan mental ini.
”Selain sadar, mereka juga mencari tahu melalui informasi mesin pencari Google untuk menduga kesehatan mental yang dialami,” kata Della.
Jajak pendapat ini diikuti oleh 12.347 orang dengan rentang usia kurang dari 20 tahun sebanyak 60 persen, usia 20 tahun sampai 30 tahun sebanyak 30 persen, dan di atas 30 tahun sebanyak 4 persen.