Menkes: Indonesia Masih Kekurangan Dokter Spesialis
Indonesia kekurangan sekitar 160.000 dokter untuk memenuhi kriteria WHO, yakni setiap 1.000 penduduk tersedia satu dokter.
Oleh
ZULIAN FATHA NURIZAL
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemenuhan dokter spesialis penting bagi pemerataan kesehatan di banyak wilayah di Indonesia. Perguruan tinggi diminta untuk lebih banyak mencetak dokter spesialis.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, Indonesia kekurangan sekitar 160.000 dokter untuk memenuhi kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni setiap 1.000 penduduk tersedia satu dokter. Dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 270 juta jiwa, diperlukan 270.000 dokter.
Merujuk data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dokter Indonesia yang memiliki surat tanda registrasi (STR) sampai pertengahan Juli 2022 sebanyak 185.547 orang, terdiri dari 142.558 dokter umum dan 43.989 dokter spesialis dari 36 jenis spesialisasi. Selain itu, juga terdapat 39.738 dokter gigi.
”Pemenuhan (kebutuhan jumlah dokter) ini penting agar pemerataan kesehatan terjadi ke seluruh Indonesia. Jadi untuk penanganan bisa dilakukan di daerah dengan kualitas yang sama,” kata Budi Gunadi dalam pembukaan Indonesia Society of Interventional Cardiology Annual Meeting (ISICAM) 2022, Jumat (25/11/2022) di Jakarta.
Dalam pemenuhan kebutuhan dokter spesialis, Kementerian Kesehatan berupaya dan bekerja sama untuk menambah lulusan dokter spesialis, di antaranya dengan menambah jumlah program pendidikan di fakultas kedokteran. Selain itu, dengan membukafellowship dan mendorong pendidikan dokter berbasis rumah sakit (hospital base) dan universitas (university base).
”Saat ini hanya ada 12 program studi dokter di 30 perguruan tinggi di Indonesia. Dokter spesialis jantung yang paling sulit ditemui di daerah,” kata Budi.
Dengan jumlah tersebut, rasio dokter per 1.000 penduduk di Indonesia saat ini hanya 0,6. Jauh di bawah Malaysia, yaitu 2,2 dokter, dan Thailand 0,95 dokter. Sementara itu, dokter yang dihasilkan 92 fakultas kedokteran (FK)—baik perguruan tinggi negeri maupun swasta—yang ada di Indonesia saat ini berkisar 12.000-13.000 dokter per tahun.
Di sisi lain, kondisi saat ini masih terdapat ratusan puskesmas yang tak mempunyai dokter. Dengan demikian, jika tak ada perubahan atau terobosan dalam sistem pendidikan, perlu lebih dari 14 tahun untuk memenuhi rasio yang dianjurkan WHO.
Menanggapi pernyataan Menteri Kesehatan, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) Adityo Prakoso menambahkan, saat ini jumlah dokter spesialis jantung masih jauh dari kebutuhan.
”Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah (SpJP) hanya berjumlah 1.485 orang. Idealnya satu dokter jantung dapat melayani sampai dengan 100.000 orang. Namun, saat ini satu dokter jantung harus melayani sebanyak 250.000 orang,” kata Adityo yang juga pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Maka dari itu, dia mengharapkan banyaknya kerja sama antara universitas, Perki, dan Kementerian Kesehatan untuk pemenuhan kuota dokter. Menurut dia, saat ini juga telah dibuat skema beasiswa untuk calon dokter yang terpanggil untuk mengabdi, tetapi kekurangan biaya.
Pembiayaan
Direktur Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta Iwan Dakota mengatakan, beberapa waktu lalu pihaknya bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dalam melakukan pemetaan ke seluruh rumah sakit umum daerah di Indonesia. Dengan pemetaan itu didapatkan data kebutuhan fasilitas dan juga sumber daya dokter jantung.
”Dengan data itu, kita bisa tahu kebutuhan dokter jantung. Kemudian bisa didapat kebutuhan untuk beasiswa kedokteran,” kata Iwan. Ada dua jalur beasiswa: beasiswa tunjangan belajar atau tubel dari Kementerian Kesehatan, juga dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Untuk syarat beasiswa tubel, peserta harus menjadi pegawai negeri sipil dahulu kemudian sudah praktik selama satu tahun. Hanya 10 persen yang menggunakan beasiswa ini. Kemudian keluar peraturan dari Kementerian Kesehatan untuk bisa menggunakan LPDP.
”Anggaran beasiswa sebesar Rp 20 miliar bisa digunakan untuk pendidikan lanjutan. Dana ini sudah diplot hingga 2025,” ujar Iwan.
Sementara itu, menurut pemberitaan Kompas (29/7/2022)—data dari 12 program studi dokter di 30 perguruan tinggi di Indonesia, baik negeri maupun swasta—diperlukan Rp 388,8 juta untuk menyelesaikan jenjang sarjana kedokteran (S-1), belum termasuk pendidikan profesi. Bahkan, untuk fakultas kedokteran di perguruan tinggi swasta, biaya yang diperlukan mencapai Rp 688,6 juta atau Rp 88 juta per semester.