Perusahaan Migas Thailand Setuju Bayar Ganti Rugi Rp 2 Triliun kepada Nelayan
Perusahaan yang bertanggung jawab terhadap kasus tumpahan minyak Montara setuju untuk membayar kompensasi kepada petani dan nelayan di Indonesia. Nilai nominal kompensasi yang dibayarkan mencapai lebih dari Rp 2 triliun.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan yang bertanggung jawab terhadap kasus tumpahan minyak Montara di Laut Timor, yakni PTT Exploration and Productionatau PTTEP, setuju untuk membayar kompensasi kepada petani dan nelayan di Indonesia. Nilai nominal kompensasi yang dibayarkan sebesar 192,5 juta dollar Australia atau lebih dari Rp 2 triliun.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitanmenyampaikan, perusahaan minyak dan gas asal Thailand PTTEP setuju untuk membayar ganti rugi 192,5 juta dollar Australia atau 129 juta dollar AS kepada nelayan. Namun, anggaran itu belum termasuk ganti rugi terhadap kerusakan lingkungan.
”Kerusakan lingkungan(akibat tumpahan minyak Montara) ini harus diperbaiki.Kita ingin menunjukkan kepada dunia agar jangan main-main dengan Indonesia,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (24/11/2022).
Luhut menekankan, terealisasinya tanggung jawab dari perusahaan ini tidak terlepas dari kerja sama yang dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk beberapa kementerian terkait. Berbagai upaya untuk menuntut para pencemar lingkungan juga dilakukan secara terintegrasi sehingga mempercepat proses penyelesaian kasus ini.
Terkait proses penyaluran ganti rugi ini, Luhut mengusulkan agar masyarakat dapat membuat koperasi nelayan dan dikelola secara profesional. Pembuatan koperasi nelayan diyakini membantu warga dalam mengelola keuangannya menjadi lebih baik.
Ketua Tim Task Force (Satuan Tugas) Montara Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, PTTEP akhirnya mau berunding untuk membayar kompensasi setelah melalui sejumlah upaya. Perundingan ini tercapai karena PTTEP merasa terdesak atas kejadian kasus tumpahan minyak Montara dan dinyatakan kalah oleh Pengadilan Federal Australia.
”Pembagian ganti rugi ini akan dimonitor sehingga semua orang mendapat haknya dengan baik. Kemungkinan mereka akan dibuatkan rekening khusus untuk penyaluran,” ucapnya.
Ke depan, kata Purbaya, Indonesia akan mempercepat penyelesaian kasus ini. Selain pihak perusahaan, penyelesaian kasus tidak menutup kemungkinan juga melibatkan Pemerintah Australia. Sebab, Pemerintah Australia seharusnya ikut bertanggung jawab sesuai aturan dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Pembagian ganti rugi ini akan dimonitor sehingga semua orang mendapat haknya dengan baik. Kemungkinan mereka akan dibuatkan rekening khusus untuk penyaluran.
Kasus ini pertama kali terjadi pada tahun 2009 ketika anjungan minyak di lapangan Montara milik PTTEP meledak di lepas landas kontinen Australia. Tumpahan minyak dengan volume lebih dari 23 juta liter mengalir ke Laut Timor selama 74 hari serta berdampak hingga ke pesisir Indonesia. Luas tumpahan diperkirakan 92.000 meter persegi (Kompas.id, 19/3/2021).
Berdasarkan hasil penelitian dari Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat(USAID) dan Pemerintah Nusa Tenggara Timur pada 2011, tumpahan minyak ini berdampak pada kerusakan 60 persen terumbu karang di perairan Laut Sawu atau seluas 64.000 hektar. Beberapa jenis ikan dilaporkan banyak mengalami kematian, seperti hiu, paus, kakap, sardin, dan udang.
Sebanyak 15.000 petani rumput laut dan nelayan NTT kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Federal Australia di Sydney. Pada Maret 2021, pengadilan memenangkan gugatan tersebut dan perusahaan diwajibkan membayar ganti rugi kepada petani dan nelayan NTT.
Gugatan kerugian lingkungan
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong mengatakan, selain gugatan perwakilan kelompok (class action) yang sudah dimenangi tersebut, pemerintah berencana mengajukan gugatan perdata kerugian lingkungan hidup. Gugatan ini sebelumnya juga sudah diajukan, tetapi ditarik kembali agar fokus pada penyelesaian gugatan perwakilan kelompok terlebih dahulu.
”Secara legal, perusahaan sudah mengakui perbuatannya karena menyebabkan kerusakan lingkungan dan ini menambah semangat kita. Gugatan perdata kerusakan lingkungan ini ditargetkan dapat diajukan pada semester satu (Januari-Juni) tahun depan,” katanya.
Menurut Alue, terdapat beberapa hal yang disoroti dalam gugatan ini, yaitu kerusakan perairan laut dan kerugian akibat ekosistem. Hasil kalkulasi awal menunjukkan estimasi kerugian mencapai hampir Rp 23 triliun dan biaya pemulihan sebesar Rp 4,4 triliun.
Sampai saat ini, pemerintah terus mengumpulkan data dengan melibatkan para ahli dan melakukan sejumlah sampel. Luas kawasan ini kemudian akan dihitung dengan data dan analisis spasial sehingga memudahkan kalkukasi biaya kerusakan dan pemulihannya.