Mendamba Perguruan Tinggi yang Makin Relevan dengan Zaman
Perguruan tinggi semakin dituntut lincah menyesuaikan perkuliahan yang relevan guna membekali lulusan kemampuan hidup saat masuk kerja. Aspirasi generasi muda semestinya jadi dorongan perubahan pembelajaran.
Pendidikan yang relevan mengikuti perkembangan zaman kini terus digemakan dalam transformasi pendidikan di Indonesia, juga di dunia. Sebab, dinamika global kini tidak lagi cepat, tetapi tidak terduga dan penuh ketidakpastian. Tuntutan pendidikan tinggi untuk membawa generasi muda mampu menyelesaikan masalah secara kritis, kreatif, dan inovatif dengan kolaborasi dan multidisiplin pun semakin kuat.
Presiden Joko Widodo ketika membuka Konferensi Forum Rektor Indonesia tahun 2021 sudah mengingatkan tentang pentingya menyiapkan pendidikan tinggi yang relevan. ”Jangan sampai pengetahuan dan keterampilan mahasiswa itu justru tidak menyongsong masa depan,” ujar Presiden saat itu.
Pada Konferensi Tingkat Tinggi G20 yang dirangkai dengan acara Festival Kampus Merdeka (FKM) Kedua di Denpasar, Bali, pada 14-15 November 2022, kepada ratusan mahasiswa, CEO Tesla Elon Musk secara virtual menekankan pendidikan masa depan yang harus relevan untuk membekali generasi muda agar mampu menyelesaikan masalah. Karena itu, berpikir kritis semakin penting untuk diajarkan kepada generasi muda agar mereka berani menolak konsep yang tidak baik dan terus mengembangkan rasa ingin tahu.
”Kita harus tahu apa yang relevan. Ketika mau menyelesaikan masalah, kita harus tahu apa alat yang harus kita gunakan untuk menyelesaikan masalah dan memahami bagaimana menentukan alat yang membantu proses penyelesaian masalah itu. Pendidikan di masa depan pun harus seperti itu. Apa yang perlu diajarkan adalah kemampuan berpikir kritis. Harus berani menolak konsep yang tidak baik,” kata Elon.
Sebenarnya, aspirasi untuk pendidikan tinggi yang relevan dan inklusif sudah secara jelas disuarakan generasi muda. Dalam konteks Indonesia, misalnya, dari ringkasan awal hasil survei di 32 provinsi pada mahasiswa dan pelajar Generasi Z dan Alpha yang dilakukan Tanoto Foundation baru-baru ini menunjukkan, mahasiswa mendukung belajar campuran/hibrida sekitar 53,6 persen dan luring 41 persen. Yang menyatakan 100 persen belajar/kuliah daring hanya berkisar 5,4 persen.
Baca juga: Menyerap Aspirasi Kuliah Generasi Z dan Alpha
Aspirasi mahasiswa
Kuliah hibrida ke depan semakin menjadi bagian dari cara generasi muda belajar kemajuan teknologi digital, mendemokratisasi cara belajar, mengakses pengetahuan yang tak terbatas, kapan saja, dan dari mana saja.
Pengembangan mata kuliah daring dengan memanfaatkan teknologi metaverse juga sudah mulai dilakukan sejumlah perguruan tinggi negeri dan swasta mapan. Metaverse ini konsep semesta virtual kolaboratif yang menggabungkan interaksi manusia dengan avatar serta berbagai produk dan layanan antara dunia nyata dan dunia digital tanpa batas. Berkat bantuan teknologi augmented reality, realitas virtual (virtual reality), dan kecerdasan buatan, semua bisa berlangsung secara simultan dan paralel di metaverse.
Pemanfaatan teknologi metaverse akan memberikan pengalaman sekaligus sarana bagi mahasiswa dalam berinteraksi dengan teman dan dosennya sehingga pembelajaran daring optimal dan tidak berbeda dengan pembelajaran langsung.
Dengan demikian, interaksi dosen dan mahasiswa di ruang kuliah yang hanya transfer pengetahuan menjadi tak menarik dan tak relevan. Hal ini tidak selaras dalam membangun kompetensi mahasiswa yang lincah dan tangguh agar mampu mengantisipasi perubahan dan ketidakpastian dalam hidup dan pekerjaan di masa depan.
Dalam sebuah webinar beberapa waktu lalu, Rektor IPB University Arif Satria mengatakan, ada berbagai skenario pendidikan tinggi pada masa depan. Salah satunya My University Scenario, di mana mahasiswa akan semakin mampu mengindentifikasi kebutuhan mata kuliah yang sesuai dengan aspirasinya tentang masa depannya. Perkuliahan konvensional dengan menawarkan paket kuliah, misalnya, menjadi tak relevan, apalagi dengan dosen yang hanya bercuap-cuap di depan ruang kuliah.
”Dosen yang dibutuhkan mahasiswa yang dapat menjadi motivator, inspirator, dan fasilitator,” kata Arif.
Direktur Inovasi dan Science Techno Park Universitas Indonesia Ahmad Gamal menuturkan, semakin terbiasanya perkuliahan daring, masalahnya kini bukan aksesibilitasnya yang personal, melainkan konten yang personal. Sebab, yang memutuskan hendak belajar apa dan bagaimana prosesnya bukan dosen, melainkan mahasiswa.
Interaksi dosen dan mahasiswa di ruang kuliah yang hanya transfer pengetahuan menjadi tak menarik dan tak relevan.
”Tidak semua dosen sanggup melakukan merdeka belajar kepada mahasiswa. Jadi, dalam membahas transformasi pendidikan tinggi, jangan hanya soal pendanaan, transformasi kelembagaan, tetapi juga kualitas dosen untuk mampu fleksibel dalam penyampaian kuliah. Dosen bisa datang ke ruang kuliah membawa PPT atau hanya diskusi, tapi kadang membawa mahasiswa ke industri,” ucap Gamal.
Gamal mengisahkan, sejak 2016 dirinya tidak mendesain satuan acara perkuliahan (SAP) utuh, tetapi lebih membuat 2-3 proyek, lalu mahasiswa dievaluasi/diberi input atau masukan yang sifatnya kualitatif.
”Saya menghilangkan ujian tengah semester dan ujian akhir semester dari mata kuliah saya. Isinya instruksi tugas, tapi tiap tugas dievaluasi kualitatif dan evaluasi tiap mahasiswa berbeda. Perkuliahan dengan model tugas/proyek intensif dan berdiskusi dengan mahasiswa. Ini menggantikan nilai/angka. Sayangnya, model fleksibel begini belum tentu bisa diterima oleh pimpinan di perguruan tinggi,” kata Gamal.
Menurut Gamal, perubahan di bidang pendidikan dan bagaimana mendidik manusia untuk bisa berpikir kritis, kreatif, dan mampu memecahkan masalah kompleks semakin relevan bagi mahasiswa karena manusia kini berhadapan dengan mesin. Kini, semakin banyak pekerjaan yang bisa diotomatisasi, yang bukan hanya manufaktur atau agrokultur. Tidak ada pekerjaan yang aman dari perubahan akibat Revolusi Industri 4.0 yang terus berkembang jika tidak memperkuat keunggulan manusia.
Sayangnya, kesiapan dosen untuk menyampaikan perkuliahan yang sesuai perubahan zaman dan relevan belum memadai. Generasi muda menilai, kualitas dosen dan tenaga kependidikan masih rendah. Lalu, kurangnya pendanaan, infrastruktur yang kurang merata, serta sistem pengelolaan kampus, ketidaksesuaian kurikulum dengan tuntutan kerja, dan lingkungan tidak aman.
Belajar di luar kampus
Generasi muda Indonesia pun meyakini sekolah dan kampus saja tidak cukup untuk menyiapkan mereka masuk ke dalam dunia kerja. Bekal soft skills yang dibutuhkan juga belum sepenuhnya memadai, termasuk belum semua yakin lulusan perguruan tinggi Indonesia memiliki karakter yang sejalan dengan dunia kerja.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek Nizam mengatakan, di Indonesia terdapat lebih dari 4.300 perguruan tinggi, melampaui China yang penduduknya lebih banyak. Namun, secara kualitas masih rendah. Karena itu, peningkatan relevansi dan kualitas harus serius dilakukan, tetapi tantangannya masih berat di tengah terbatasnya anggaran pendidikan tinggi yang alokasinya sekitar Rp 27 triliun.
”Sayang jika investasi masyarakat selama 4-5 tahun untuk berkuliah tidak membangun kompetensi yang relevan, tetapi hanya selembar ijazah. Penekanan pada kualitas dan relevansi inilah yang harus dikejar karena memberikan nilai tambah pada produktivitas, daya saing, dan kelincahan dengan konteks dinamika pekerjaan yang berubah,” kata Nizam.
Berdasarkan McKinsey, dalam 10 tahun ke depan diprediksi sekitar 25 juta lapangan kerja Indonesia akan hilang. Jumlah ini lebih banyak dari jumlah sarjana yang dihasilkan dalam 10 tahun. Indonesia menghadapi lebih banyak pekerjaan hilang dan digantikan pekerjaan baru yang belum disiapkan.
Nizam mengatakan, sebelumnya tidak ada yang membayangkan ekonomi digital Indonesia berkembang pesat. Akibatnya, lembaga pendidikan tertatih-tatih menyiapakan SDM digital. Dengan cara konvensional pembukaan program studi butuh waktu 4-5 tahun dengan jumlah lulusan yang tidak cukup, sedangkan permintaan tinggi.
Jalan pintas atau shortcut yang progresif dan strategis perlu diambil. Dalam 2,5 tahun ini lewat MKMB di mana PT dan industri teknologi digital berkolaborasi bisa menyiapkan puluhan ribu talenta di bidang kecerdasan buatan, digital analityc, machine learning, keamanan siber, dengan hasil sekitar 60.000 talenta. Para mahasiswa bisa magang intensif satu hingga dua semeter ke industri, bahkan dengan pendekatan berbasis proyek. Mereka menajdi talenta yang tersertifikasi dan siap masuk industri,” kata Nizam.
Menurut Nizam, kolaborasi PT-dunia usaha/dunia industri (DUDI) harus semakin masif dan intensif. Hal ini untuk membuka peluang transisi yang baik dari lulusan PT ke dunia kerja. Tuntutan saat ini, lulusan program studi apa pun diharapkan bisa masuk ke dalam berbagai sektor karena kompetensi mereka relevan dan bisa beradaptasi. Multidisiplin sudah menjadi hal penting dalam pendidikan di kampus.
Dari survei, lulusan PT yang masuk dunia kerja benar-benar sesuai dengan keilmuannya, di Indonesia berkisar 15-20 persen. Karena itu, kecakapan soft skills dan multidisiplin serta kolaborasi menjadi hal penting agar lulusan PT mampu beradaptasi dengan tren dunia kerja maupun wirausaha berbasis inovasi untuk membawa Indonesia keluar dari jebakan ekonomi menengah atau middle income trap.
Baca juga : Kampus Merdeka Mempermudah Lulusan Perguruan Tinggi Mendapat Pekerjaan
Kampus Mandiri
Dalam transformasi pendidikan tinggi Indonesia, menyiapkan lulusan PT yang relevan dan multidisiplin gencar dilakukan lewat program Kampus Merdeka yang digagas Kemendikbudristek ataupun secara mandiri oleh tiap PT. Namun, dalam tiga tahun diluncurkan, baru 517 PT yang melaporkan ada MBMK mandiri untuk memberikan pengalaman belajar di luar kampus yang dirasakan sebanyak 250.985 mahasiswa. Dari program unggulan Kampus Merdeka, Kemendikbudristek dapat membekali sebanyak 179.000 mahasiswa.
Mendikbudristek Nadiem Makarim mengatakan, dari analisis awal, pengalaman mengikuti program Kampus Merdeka secara signifikan menurunkan waktu lulusan PT untuk mendapat pekerjaan. Rata-rata nasional waktu lulusan PT untuk mendapat pekerjaan ialah empat bulan. Terjadi juga peningkatan gaji pertama saat bekerja hingga hampir dua kali lipat.
Kampus Merdeka memberikan kebijakan selama tiga semester bagi semua mahasiswa D-4/S-1 untuk belajar di luar program studi. Dua semester boleh dilakukan di luar kampus untuk belajar di perusahaan, lembaga non-profit, dan lembaga pemerintah, dengan pengakuan 20 satuan kredit semester.
”Tiap PT tidak bisa mundur lagi. Tiap PT bisa jemput bola untuk mengatur agar belajar di kampus dalam lima semester, lalu ditambah dengan lintas program studi dan belajar di luar kampus. Dengan Kampus Merdeka, kreativitas kampus dilepaskan. Mulai banyak PT secara mandiri menginisiasi program belajar di luar kampus untuk mahasiswa,” kata Nadiem.
Di tahun 2023, MKMB terus didorong semakin masif, terutama di PT yang belum menjalankan secara mandiri. Bahkan, pada 2024, Kemendikbudristek menargetkan 1 juta mahasiswa aktif dapat mengikuti program Kampus Merdeka. Pencapaian target itu dilakukan lewat program unggulan nasional Kemendikbudristek ataupun yang mandiri oleh setiap perguruan tinggi
Selain mendorong mahasiswa dan dosen berondong-bondong belajar di luar kampus, juga para praktisi dari dunia kerja didorong masuk kampus. Program Praktisi Mengajar membuka kesempatan bagi profesional atau praktisi di berbagai bidang bersama-sama dosen membawa studi kasus atau pembelajaran berbasis proyek untuk mendekatkan mahasiswa pada dunia nyata di pekerjaan atau masyarakat. Pada Agustus 2022 ada 5.300 praktisi mengajar masuk kampus, pada 2023 ditingkatkan menjadi 12.500 praktisi.
”Kolaborasi PT dan industri akan semakin erat. Dalam riset pun, lewat matching fund Kedaireka, terjadi kolaborasi riset bersama dosen/mahasiswa yang dapat dimanfafatkan industri. Semua transformasi dalam pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat di PT yang didekatkan pada dunia nyata akan membuat PT jadi berperan aktif memberi solusi cerdas. Para mahasiswa juga menjadi semakin relevan dengan perkembangan di luar kampus dan paham makna belajar,” kata Nadiem.
Disrupsi pada pendidikan tinggi akan diserap dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang PT 2025-2045 yang akan disiapkan Bappenas. Direktur Pendidikan Tinggi dan Iptek Kementerian PPN/Bappenas Tatang Muttaqin mengatakan, pihaknya sedang menampung berbagai aspirasi dan masukan untuk studi latar belakang dalam penyusunan naskah akademik yang akan didialogkan ke sejumlah pihak pada 2023.
Menurut Tatang, pengembangan talenta di PT bukan sekadar untuk menyiapkan tenaga kerja yang dibutuhkan dunia usaha. Namun, juga mendorong para talenta muda untuk mencapai passion mereka sehingga maksimal. Dengan demikian, PT yang relevan dan fleksibel semakin dibutuhkan.