Menyerap Aspirasi Kuliah Generasi Z dan Alpha
Di tahun 2045, Generasi Z dan Alpha akan menjadi aktor penting untuk kemajuan Indonesia. Karena itu, dibutuhkan perencanaan strategis pengembangan perguruan tinggi bermutu.
Generasi Z dan Alpha merupakan generasi asli digital yang sudah terbiasa menggunakan gadgetmaupun teknologi informasi dan komunikasi. Mereka menggunakannya untuk berbagai kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk urusan belajar. Meskipun mereka menikmati berinteraksi dan belajar secara digital atau daring, namun kebutuhan untuk bertatap muka dalam belajar juga tinggi.
Ringkasan awal hasil survei di 32 provinsi pada mahasiswa dan pelajar Generasi Z dan Alpha yang dilakukan Tanoto Foundation baru-baru ini menunjukkan, aspirasi mahasiswa dan pelajar untuk sepenuhnya daring ternyata rendah. Dari sekitar 2.000 orang yang disurvei pada 18-25 Oktober, yang 100 persen belajar/kuliah daring hanya berkisar 5,4 persen. Sebaliknya yang tinggi yakni belajar campuran/hibrida sekitar 53,6 persen dan luring 41 persen.
Terkait dengan aspirasi mahasiswa, mereka mengeluhkan kualitas dosen dan tenaga kependidikan yang dinilai masih rendah. Lalu, kurangnya pendanaan, infrastruktur yang kurang merata, serta sistem pengelolaan kampus, ketidaksesuaian kurikulum dengan tuntutan kerja, dan lingkungan tidak aman.
Baca juga : Perguruan Tinggi Tertatih Menyongsong Bonus Demografi
Generasi muda yang pada 2045 nanti akan menjadi aktor penting dan penentu dalam kemajuan Indonesia ini meyakini sekolah dan kampus saja tidak cukup untuk menyiapkan mereka masuk ke dalam dunia kerja. Mereka meyakini peningkatan partisipasi masyarakat ke pendidikan tinggi harus dilakukan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia (SDM) unggul Indonesia. Di tengah dorongan meningkatkan akses kuliah, sayangnya kualitas belajar di PT dinilai belum cukup baik.
Mereka pun beranggapan ilmu dan keterampilan yang didapat di sekolah/kampus tidak cukup untuk bekal masuk dunia kerja. Adapun bekal soft skill yang dibutuhkan juga belum sepenuhnya memadai, termasuk belum semua yakin lulusan PT Indonesia memiliki karakter yang sejalan dengan dunia kerja.
Maka, Tanoto Foundation melalui salah satu programnya yaitu Transformasi Edukasi untuk Melahirkan Pemimpin Masa Depan (TELADAN), bersama dengan Direktorat Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kementerian PPN/Bappenas serta Tim Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, menggelar Kuliah-Kerja Fest! 2022 untuk memfasilitasi dan melibatkan Gen Z dalam perancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) khususnya di bidang Pendidikan Tinggi.
“Hasil diskusi Kuliah-Kerja Fest! 2022 akan diserahkan oleh masing-masing perwakilan pelajar dan mahasiswa serta mitra dunia usaha dunia industri kepada tim Bappenas sebagai masukan,” kata Head of Leadership Development and Scholarship Tanoto Foundation Aryanti Savitri di acara Kuliah-Kerja Fest! 2022 : Mimpi Pendidikan Tinggi Indonesia 2025-2045, di Jakarta, Kamis (27/10/2022).
Yang menjadi perhatian ini yang di kelompok menengah yang rawan jika ada kenaikan uang kuliah yang dinilai mahal.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Sensus Penduduk 2020 menunjukkan, generasi Z yang lahir pada tahun 1997–2012 adalah kelompok terbesar dalam struktur populasi Indonesia. Jumlahnya mencapai 75,49 juta orang atau 27,94 persen. Melibatkan generasi Z dan generasi Indonesia selanjutnya dalam penyusunan rencana pembangunan nasional untuk masa depan sudah sepatutnya dilakukan, karena merekalah yang akan berperan di masa tersebut nantinya.
Kuliah metaverse
Kebutuhan menghadirkan perkuliahan hibridayang berkualitas didukung Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek. Salah satunya dengan cara mencari talenta terbaik Indonesia dalam pengembangan metode pembelajaran berbasis teknologi metaverse melalui kompetisi Merdeka Belajar di Metaversitas.
Pelaksana Tugas Sekretaris Ditjen Diktiristek Tjitjik Srie Tjahjandarie mendorong pengembangan metaversitas di Indonesia yang merupakan platform transformasi lompatan pendidikan tinggi di masa depan dengan mengusung konsep pembelajaran yang fleksibel, serta membentuk jejaring antarperguruan tinggi di Indonesia. Berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi membuka pintu perubahan metode pembelajaran melalui teknologi metaverse.
Tujuan kegiatan ini yaitu meningkatkan kualitas pembelajaran dan relevansi pendidikan tinggi. Selain itu, hal ini juga untuk mengurangi disparitas pendidikan tinggi melalui distribusi pembelajaran virtual untuk mendukung pembelajaran mahasiswa.
Guru besar dari Universitas Gunadarma Adang Suhendra, menuturkan metaverse yang dikembangkan oleh Diktiristek merupakan konsep platform model pembelajaran yang mengutamakan imersivitas. Mahasiswa akan merasakan pengalaman yang berbeda dalam proses belajar.
Dosen dari Universitas Kristen Petra Surabaya, Felix Pasila, mengatakan teknologi informasi dan komunikasi membantu menekan biaya pendidikan. Dengan demikian mahasiswa mampu mengakses pembelajaran dengan harga yang relatif murah dan terjangkau.
Perkembangan teknologi dan informasi membuka peluang inovasi metode pembelajaran, khususnya di bidang pendidikan tinggi. Ditjen Diktiristek membuka peluang bagi mahasiswa yang ingin berpartisipasi mengembangkan metode pembelajaran metaversitas dan blockchain dalam program magang Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Melalui kegiatan ini diharapkan memantik riset, penelitian, dan pengembangan metaverse dalam metode pembelajaran di perguruan tinggi.
Salah satu perguruan tinggi yang siap mengembangkan metaverse yakni Telkom University Bandung. Direktur Kerjasama Strategis dan Kantor Urusan Internasional Telkom University Lia Yuldinawati, mengatakan diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak dalam membangun ekosistem metaverse di Indonesia.
Baca juga : Kuliah dengan Platform ”Metaverse” Diharapkan Ungkit Kompetensi Mahasiswa dan Dosen
“Kami siap untuk menjadi bagian dalam pengembangan metaverse di Indonesia, namun dalam membangun metaverse membutuhkan kolaborasi antar pemangku kepentingan, itulah semangat yang coba kami hadirkan di sini dengan membangun program kemitraan dan kolaborasi di Indonesia yang merupakan program kolaborasi tingkat nasional pertama di dunia. Kami ingin proaktif dalam membangun ekosistem metaverse di Indonesia,” kata Lia.
Presiden Direktur Microsoft Indonesia Dharma Simorangkir mengatakan modernisasi pendidikan merupakan salah satu elemen fundamental yang perlu diakselerasi bersama dalam mendukung percepatan Indonesia menuju Indonesia Digital. Modernisasi di sini dapat dilihat dari berbagai aspek. Mulai dari sistem kegiatan belajar mengajar secara hibrida, inovasi cara kerja dan belajar seperti melalui pembuatan aplikasi, proses administrasi dengan dukungan teknologi, hingga kegiatan operasional berbasis data.
“Melalui kampus digital, kita akan dapat menyelaraskan perkembangan dunia pendidikan dengan industri. Tidak hanya itu, kita juga akan dapat menghasilkan lulusan dengan kapabilitas dan keterampilan digital mumpuni, yang siap bekerja sesuai standar perusahaan teknologi kelas dunia,” ujarDharma.
Aspirasi generasi muda
Disrupsi pada pendidikan tinggi akan diserap dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang PT 2025-2045 yang akan disiapkan Bappenas. Direktur Pendidikan Tinggi dan Iptek Kementerian PPN/Bappenas Tatang Muttaqin mengatakan pihaknya sedang menampung berbagai aspirasi dan masukan untuk studi latar belakang dalam penyusunan naskah akademik yang akan didialogkan ke berbagai pihak pada tahun 2023.
“Apa yang diinginkan ke depan sesuai Visi Indonesia 2045 di mana saat itu Gen Z dan Alpha yang akan menjadi aktor pembangunan Indonesia, jadi realistis untuk mendengarkan aspirasi mereka,” kata Tatang.
Menurut Tatang, pengembangan talenta di PT bukan sekadar untuk menyiapkan tenaga kerja yang dibutuhkan dunia usaha. Namun juga mendorong para talenta muda untuk mencapai passion mereka sehingga maksimal. Dengan demikian, PT yang relevan dan fleksibel semakin dibutuhkan. Di Indonesia salah satunya dijawab dengan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka.
Baca juga : Tahun Ini, 150.000 Mahasiswa Ikut Program Kampus Merdeka
Aspirasi yang dikemukakan Gen Z dan Alpha untuk pendidikan, terutama di PT, ujar Tatang, sejalan dengan yang didapati Bappenas. Kemajuan teknologi digital memungkinkan untuk memperluas akses berkuliah. Namun tantangan kini pemerataan untuk akses PT berkualitas.
Ada kemajuan signifikan untuk akses mahasiswa dari keluarga miskin. Pada tahun 2000 dan 2010 baru berkisar 2 atau 3 persen yang bisa berkuliah, sekarang sudah berkisar 16 persen, dan nanti diharapkan minimal 20 persen. “Yang menjadi perhatian ini yang di kelompok menengah yang rawan jika ada kenaikan uang kuliah yang dinilai mahal. Untuk yang miskin, ada berbagai skema beasiswa, sedangkan yang kaya mampu. Karena itu perlu dicari cara untuk mendukung pendanaan PT yang berkolaborasi dengan pihak-pihak lain,” kata Tatang.
Demikian pula keluhan tentang mutu dosen harus dijawab. Pada 2024 ditargetkan dosen berkualifikasi doktor sekitar 20 persen, karena saat ini baru sekitar 15,6 persen. Bahkan di banyak PTS masih di bawah 15 persen.
“Untuk PTS ini harus mengikuti skala ekonomi dengan mahasiswa di atas 1.000 orang jika ingin kuat kualitasnya,” kata Tatang.
Penguatan PT juga akan didukung dengan mendiversifikasi peran PT sesuai keunikan atau kekhasan masing-masing. Ada PT yang didorong mengejar world class university, ada yang mendukung pemerintah daerah, menyiapkan pembangunan di daerah, atau menyiapkan tenaga kerja terampil lewat pendidikan vokasi.