Kampus Merdeka Mempermudah Lulusan Perguruan Tinggi Mendapat Pekerjaan
Mahasiswa mengahadapi tatangan dunia kerja yang cepat berubah seusai lulus nanti. Karena itu, pengalaman belajar di luar kampus dan multidisplin disiapkan lewat Kampus Merdeka.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Data awal menunjukkan penerapan program Kampus Merdeka yang memberikan pengalaman belajar di luar kampus dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan gaji lulusan perguruan tinggi. Karena itu, program Kampus Merdeka Mandiri yang dilakukan tiap perguruan tinggi terus didorong untuk menyiapkan lulusan perguruan tinggi yang relevan dan unggul secara berkelanjutan.
Bahkan, pada tahun 2024, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menargetkan satu juta mahasiswa aktif dapat mengikuti program Kampus Merdeka. Pencapaian target itu dilakukan lewat program unggulan nasional Kemendikbudristek ataupun yang mandiri oleh setiap perguruan tinggi (PT).
Hingga kini sekitar 179.000 mahasiswa ikut dalam sembilan program unggulan Kampus Merdeka Kemendikbudristek dan 250.958 mahasiswa mengikuti program tersebut yang dilaksanakan secara mandiri oleh perguruan tinggi.
Henny Chorunnisa, mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta yang mengikuti Festival Kampus Merdeka Kedua di Denpasar, Bali, pada Senin hingga Selasa (15/11/2022), menuturkan, dirinya mengikuti program Magang Studi Independen Bersertifikat (MSIB) di salah satu perusahaan teknologi informasi selama enam bulan. Sebelum lulus, dia sudah mendapat tawaran kerja di perusahaan tersebut.
”Saya mendapat pengalaman belajar industri yang membuat saya belajar dari hal teknis sampai softskills yang membuat saya jadi lincah, mampu bekerja sama dalam tim, serta siap menghadapi tantangan. Saya berharap program MSIB yang jadi salah satu wujud Kampus Merdeka ini berkelanjutan karena berdampak baik pada mahasiswa,” kata Henny.
Saya mendapat pengalaman belajar industri yang membuat saya belajar dari hal teknis sampai softskills yang membuat saya jadi lincah, mampu bekerja sama dalam tim, serta siap menghadapi tantangan.
Sementara itu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim mengutarakan, dari analisis awal, pengalaman mengikuti program Kampus Merdeka secara signifikan menurunkan waktu lulusan PT untuk mendapat pekerjaan. Rata-rata nasional waktu lulusan PT untuk mendapat pekerjaan ialah empat bulan.
Mahasiswa yang ikut pertukaran mahasiswa merdeka dalam negeri, misalnya kini hanya menunggu sekitar 2,8 bulan: program MSIB hanya sekitar 1,1 bulan. Sementara yang tercepat program pertukaran mahasiswa ke luar negeri (IISMA) sekitar 0,3 bulan. Terjadi juga peningkatan gaji pertama saat bekerja hingga hampir dua kali lipat.
”Tidak semua senang dengan perubahan. Namun, program Kampus Merdeka ini membuat mahasiswa senang karena sesuai aspirasi mereka,” kata Nadiem. Awalnya banyak resistensi atau penolakan terhadap program ini, tapi sekarang sivitas akademika mulai melihat dampak pengalaman belajar di luar kampus yang sesuai minat mahasiswa.
Para alumnus Kampus Merdeka menunjukkan pentingnya program ini untuk membuat mereka bisa belajar multidisiplin dan belajar berbasis proyek. ”Sekarang mahasiswa punya banyak menu pilihan untuk belajar di luar kampus. Kalau dulu mahasiswa harus belajar di kampus. Perguruan tinggi harus memfasilitasi,” kata Nadiem.
Nadiem menyebutkan, dari pembelajaran di luar kampus dengan pengakuan satuan kredit semester (SKS) di tahun ketiga ini, biji-bijinya mulai tumbuh. Kampus Merdeka tak lagi hanya sebagai kebijakan, tetapi juga mulai tumbuh sebagai gerakan.
Kampus Merdeka memberikan kebijakan selama tiga semester bagi semua mahasiswa D-4/S-1 untuk belajar di luar program studi. Dua semester boleh dilakukan di luar kampus untuk belajar di perusahaan, lembaga nonprofit, dan lembaga pemerintahan.
Nadiem mengakui masih perlu duduk bersama dengan kampus untuk memastikan pengakuan 20 SKS bagi mahasiswa yang belajar di luar kampus. Saat ini rekognisi bervariasi dari 10-20 SKS.
”Tiap PT tidak bisa mundur lagi. Tiap PT bisa jemput bola untuk mengatur agar belajar di kampus dalam lima semester, lalu ditambah dengan lintas program studi dan belajar di luar kampus. Dengan Kampus Merdeka, kreativitas kampus dilepaskan. Mulai banyak PT secara mandiri menginisiasi program belajar di luar kampus untuk mahasiswa,” kata Nadiem.
Konversi
Direktur Politeknik Teknik Elektronika Negeri Surabaya Ali Ridho Barakbah menuturkan, kampus vokasi ini sudah sering melakukan kegiatan lintas magang dan lintas mata kuliah. Namun, sebelum kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), tidak ada pengakuan SKS. ”Sekarang bisa diakui SKS sehingga menguntungkan mahasiswa,” ujarnya.
Ali mengakui awalnya ada resistensi dari para dosen. Alasannya, para dosen khawatir mahasiswa tidak menguasai kompetensi dasar. Solusinya, para dosen diminta duduk bersama untuk memadatkan pembelajaran di kampus dalam lima semester.
Kemudian kampus juga mengonversi berbagai kegiatan mahasiswa di kampus ke dalam SKS sesuai kompetensi yang ditetapkan. Kini, program MBKM sudah bisa dikonversi dalam 40 SKS.
Menurut Ali, ada banyak proyek di laboratorium yang bisa melibatkan mahasiswa, untuk lomba ataupun bekerja sama dengan industri atau lembaga pemerintahan. Kini, kegiatan tersebut bisa dikonversi untuk diakui sebagai SKS.
Hal serupa dilakukan di Universitas Pendidikan Ganesha (Undhiksa) di Bali. Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kerja Sama Undhiksa Gede Rasben Dantes mengatakan, sejak tahun 2019 untuk menghadapi disrupsi, kampus ini sudah memberi kompetensi literasi data, teknologi, dan humanitas kepada mahasiswa.
Ada reorientasi kurikulum sehingga mahasiswa mengambil mata kuliah lintas prodi. Hal ini diperkuat dengan semangat MBKM pada tahun 2020. Mahasiswa yang kuliah di bidang pendidikan melakukan asistensi selama enam bulan di satuan pendidikan. Adapun yang bukan prodi pendidikan menjalani magang industri.
Undhiksa juga menggagas program pertukaran mahasiswa dengan Filipina, Malaysia, Thailand, dan Perancis meski secara daring. Selain itu ada studi independen secara mandiri oleh fakultas untuk ikut kompetisi, tim internet of things, dan robotik. Nanti hal itu disetarakan dengan capaian pembelajaran proyek independen. Ada juga proyek mobil listrik yang dibiayai universitas.
”Pada tahun 2020 baru bisa memenuhi 10 persen mahasiswa yang ikut MBKM, lalu pada 2021 bisa naik sampai 31 persen. Bagi kami, tantangan terbesarnya bukan melaksanakan kegiatan, melainkan bagaimana bisa terus berlangsung ke depannya dengan mempersiapkan semua stakeholder,” ujar Gede.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek Nizam berharap tahun 2023 tiap kampus mampu menjadikan MBKM sebagai program utama. ”Tahun ini mulai banyak kampus melakukan MBKM mandiri yang tak kalah hebat dari program nasional,” kata Nizam.