Pengorbanan "Tambal Sulam" Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Guru honorer belum bisa dijadikan pekerjaan utama. Masih diperlukan pekerjaan tambahan lain untuk menambah pemasukan seorang guru honorer.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·5 menit baca
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
Sekolah Dasar Negeri Karang Asih 02, Kabupaten Bekasi, Selasa (22/11/2022).
BEKASI, KOMPAS – Peluang untuk sejahtera yang kecil menjadi masalah utama bagi sejumlah guru honorer di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Karena itulah, pahlawan tanpa tanda jasa ini masih perlu mencari sumber penghidupan selain guru.
Enung Nurhasanah (44), guru honorer di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Anwarul Falah, Kabupaten Bekasi, telah mengabdi menjadi guru selama 18 tahun. Ia merupakan guru sertifikasi non-pegawai negeri sipil (PNS) untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Terdapat tujuh guru honorer di MTs Anwarul Falah.
"Guru honorer sangat jauh dari kata sejahtera, khususnya bagi guru honorer yang tidak memiliki sertifikat. Upah guru honorer tidak naik, sementara harga-harga kebutuhan terus meningkat. Jadi guru honorer itu bukannya untung malah buntung," katanya, Selasa (22/11/2022).
Guru honorer non-sertifikasi hanya dibayar Rp 15.000 per jam mengajar, sedangkan setiap hari hanya dapat mengajar tiga hingga empat jam, sehingga mereka hanya dapat membawa pulang maksimal Rp 60.000 sehari. Upah hanya dibayarkan sewaktu guru honorer mengajar dan jika tidak hadir berarti tidak mendapat upah.
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
Guru honorer di Madrasah Tsanawiyah Anwarul Falah, Kabupaten Bekasi, seusai mengajar, Selasa (22/11/2022).
Enung mengutarakan, setiap bulan upah yang ia terima dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sekitar Rp 500.000-Rp 700.000, bervariasi tergantung jam mengajar dan jumlah siswa yang dimiliki sekolah. Hingga saat ini, upahnya masih belum dibayarkan dari bulan Juli 2022.
"BOS dari sekolah belum cair, masih menunggu BOS tersedia dulu. Ketika sudah ada, mungkin akan dibayarkan," tambahnya.
Salah seorang guru honorer di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Karang Asih 02, Arif Maulana (40) telah mengabdi menjadi guru lebih dari 19 tahun. Meskipun demikian, ia masih tinggal di rumah kontrakan berukuran 7,5 meter x 3 meter yang berada cukup jauh dari akses jalan utama.
Kontrakan dengan harga Rp 500.000 per bulan menjadi pilihan Arif akibat keterbatasan dana. Upah pokok atau jasa tenaga kerja (Jastek) yang ia terima hanya sebesar Rp 2,4 juta per bulan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi. Kemudian ditambah BOS sebesar Rp 700.000 per bulan yang diterima secara kumulatif dalam tiga bulan sekali. Sehingga, total gaji per bulan Arif adalah Rp 3,1 juta.
”Dengan upah seperti itu, untuk menghidupi istri dan dua anak belum cukup. Istri saya tidak bekerja, sehingga saya masih perlu mencari uang tambahan lain untuk makan ataupun kebutuhan sehari-hari,” ucapnya saat di rumah kontrakannya di Kelurahan Karangasih, Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi.
Pengeluarannya tiap bulan sekitar Rp 2 juta untuk biaya sekolah anak dan Rp 500.000 untuk kontrakan. Hanya tersisa Rp 600.000 untuk kebutuhan makan, transportasi, belanja, dan lainnya.
Sepulang mengajar, ia rutin mencari tambahan sebagai tukang ojek pangkalan. Misalnya sepi, ia pergi ke pasar-pasar untuk menjadi kuli panggul.
Jam kerja guru honorer di SDN Karang Asih 02 sama seperti guru pegawai negeri sipil (PNS), mulai pukul 07.15-12.15 harus berada di sekolah. Terdapat 10 guru di SDN Karang Asih 02 yang enam di antaranya merupakan guru honorer.
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
Guru honorer, Arif Maulana (40) saat menunjukkan rumah kontrakannya di Kelurahan Karangasih, Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (22/11/2022).
Guru honorer lainnya, Aida Fitria (28), hanya mendapat Jastek sebesar Rp 2,2 juta dan BOS sebesar Rp 400.000, sehingga totalnya Rp 2,6 juta. Dengan jumlah ini, kata Aida, tidak mungkin seorang guru dapat bertahan hidup.
”Untungnya saya dan suami saya bekerja, sehingga bisa saling bahu-membahu,” ujarnya.
Suami Aida juga seorang guru honorer dengan Jastek sebesar Rp 2,2 juta dan BOS sebesar Rp 600.000, sehingga totalnya Rp 2,8 juta. Penggabungan upah Aida dan suaminya digunakan untuk menghidupi keluarganya.
Mereka hanya meminta kejelasan status pekerjaan dan kesejahteraan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Untuk menyiasati upah yang minim, Aida membuka toko daring yang menjual barang-barang sehari-hari. Ini dilakukan setiap hari sewaktu pulang mengajar.
Sama seperti Aida, guru honorer lainnya, Raden Siti Mukmina (52) yang telah mengajar selama 18 tahun juga membuka toko daring. Ia menyulap dapur di rumahnya menjadi warung skala rumahan sewaktu pulang mengajar.
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
Aida Fitria (kiri) dan Raden Siti Mukmina, guru honorer di Sekolah Dasar Negeri Karang Asih 02, Kabupaten Bekasi, seusai mengajar, Selasa (22/11/2022).
Kepala Sekolah SDN Karang Asih 02 Dede Surtika menyebutkan, sekolahnya minim tenaga pengajar sehingga perlu mempekerjakan guru honorer yang digaji dengan uang BOS. Meskipun telah dibayar oleh pemerintah daerah, tetapi sekolah juga berusaha memperhatikan kesejahteraan guru-gurunya.
"Sama seperti Jastek, BOS juga disesuaikan dengan lama pengabdian seorang guru honorer. Untuk Jastek maksimal Rp 2,4 juta per bulan dan untuk BOS sekitar Rp 400.000-Rp 500.000 per bulan yang dibayarkan setiap tiga bulan sekali," ujarnya.
Untuk BOS setiap sekolah dan daerah berbeda-beda tergantung pada jumlah siswa. Semakin banyak siswa, maka akan semakin banyak juga jumlah BOS yang diterima oleh sekolah.
Pasrah dengan keadaan
Guru-guru honorer yang ditemui Kompas mengaku hanya bisa pasrah dan menunggu hasil yang terbaik. Mereka hanya meminta kejelasan status pekerjaan dan kesejahteraan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Arif mengatakan, usianya sudah terlalu tua untuk meminta terlalu banyak. Ia berharap pemerintah memperhatikan kesejahteraan guru-guru honorer, terlebih yang berada di pelosok-pelosok daerah.
"Kalau saya mengikuti seleksi guru ASN PPPK (Aparatur Sipil Negara Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) berarti saya harus bersaing dan berkompetisi dengan guru honorer lainnya. Saya menghindari hal itu," ujarnya.
Walakin, tahun 2023 ia akan mencari pekerjaan yang linier dengan ijazahnya, pendidikan agama Islam, di sekolah lain yang belum ada guru agama Islam. Kemudian ia akan mengajukan diri sebagai guru ASN PPPK.
Aida dan Mukmina menyebutkan, mereka sedang menunggu hasil pengumuman seleksi guru ASN PPPK. Hanya kejelasan status yang mereka harapkan. Dengan kejelasan status tersebut, nantinya kesejahteraan mereka akan lebih diperhatikan pemerintah.
Sementara itu, Enung hanya bisa pasrah dengan keadaan menjadi guru honorer. Hanya niat dan tekad mengajar yang menjadi penyemangat setiap hari. Kalau sebagai sumber penghasilan utama, menjadi guru honorer bukan jalan yang tepat.
"Niat mengajar yang diperkuat dulu. Kalau ingin mencari uang lewat guru honorer sangat sulit, lebih baik jadi pengusaha saja," tambahnya.
Meski setiap hari harus berjibaku "tambal sulam" untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, para guru honorer tak pernah berhenti melayani. Hingga kini, ratusan ribu guru honorer masih menunggu kepastian nasib dari pemerintah untuk mendapatkan kejelasan status, demi peningkatan kesejahteraan keluarga mereka ke depan.