Imunisasi Dasar di Bawah Target, Bahaya Penyakit Menular Mengintai
Anak yang tidak melakukan imunisasi dasar lengkap akan berisiko terkena beragam penyakit menular dan mengundang wabah. Imunisasi memainkan peran krusial dalam pencegahan wabah dan penyakit.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Cakupan imunisasi dasar lengkap secara nasional masih di bawah target. Di beberapa daerah bahkan tergolong masih sangat minim. Imunisasi yang minim tersebut dapat memicu terjadinya penyakit bahkan wabah di suatu wilayah seperti kejadian luar biasa polio yang terjadi di Pidie, Aceh baru-baru ini.
Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) per 14 Juli 2022 menunjukkan, cakupan imunisasi dasar lengkap (IDL) baru mencapai 33,4 persen. Angka ini masih jauh di bawah target nasional IDL dalam 6 bulan sekitar 50 persen. Lebih jauh, Rencana Strategis Kemenkes 2022-2024 menargetkan capaian 100 persen mulai tahun 2023.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan, untuk meningkatkan cakupan imunisasi skala nasional diadakan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN). BIAN merupakan program percepatan imunisasi untuk mengejar ketertinggalan vaksinasi yang belum lengkap selama pandemi Covid-19.
”Seluruh daerah juga telah diingatkan untuk meningkatkan cakupan imunisasi. Khusus Aceh, akan dilakukan imunisasi polio mengingat kejadian luar biasa (KLB) di Kabupaten Pidie, Aceh,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Senin (21/11/2022).
Fenomena ini seperti puncak gunung es, satu kasus polio yang baru diidentifikasi sebenarnya ada 200 anak yang telah tertular.
Menurut Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso, cakupan imunisasi dasar lengkap yang minim dapat memicu penyakit, seperti polio, campak, difteri, dan tetanus. Penyakit-penyakit ini memiliki bahaya yang menyebabkan kecacatan hingga mengancam nyawa.
Setelah 2019, capaian imunisasi dasar lengkap untuk bayi 0-11 bulan selalu di bawah target nasional. Pada 2020 hanya 83,3 persen dengan target 92,9 persen. Pada 2021 pemerintah menetapkan target 93,6 persen, sedangkan capaiannya hanya 84,2 persen. Terendah di Provinsi Aceh dan Papua, masing-masing 42,7 persen dan 53,5 persen pada 2021.
Pascaimunisasi pada bayi, dilakukan imunisasi lanjutan anak berusia di bawah 2 tahun dan imunisasi anak sekolah. Rangkaian imunisasi ini perlu dilakukan agar terbentuk kekebalan tubuh yang optimal. Sementara itu, angka drop out (DO) atau anak dengan imunisasi tidak lengkap terus meningkat dari tahun 2019, lebih dari batas maksimal 5 persen yang ditetapkan Kemenkes.
Tren angka DO imunisasi DPT-HB-Hib1 ke DPT-HB-Hib3 untuk mencegah penyakit difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, serta pneumonia (radang paru) dan meningitis (radang selaput otak) mengalami kenaikan, 2019 dengan 1,8 persen ke 3,2 persen pada 2020 dan akhirnya mencapai 6,9 persen pada 2021.
Menurut Piprim, imunisasi lengkap sangat penting untuk menekan penyakit-penyakit bermunculan. Ini semakin berisiko pada lingkungan dengan sanitasi yang buruk. Oleh karena itu, kelanjutan imunisasi memainkan peran krusial dalam pencegahan penyakit.
Epidemiolog dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman, mengutarakan, anak yang tidak melakukan imunisasi dasar lengkap akan mengundang berbagai penyakit, bahkan wabah yang seharusnya bisa dicegah dengan imunisasi. Meskipun pandemi Covid-19 masih melanda, pemerintah tidak boleh lengah untuk mengimbau masyarakat agar melakukan imunisasi dasar lengkap.
”Polio merupakan penyakit yang sangat mudah menular dan menyebabkan peradangan selaput otak, kelumpuhan, bahkan kematian. Fenomena ini seperti puncak gunung es, satu kasus polio yang baru diidentifikasi sebenarnya ada 200 anak yang telah tertular,” ujarnya.
Perubahan masyarakat
Cakupan imunisasi dasar lengkap yang di atas 90 persen pada 2016-2019 membuat masyarakat Indonesia terlena dengan penyakit-penyakit ganas yang jarang muncul. Piprim menilai fenomena ini membuat masyarakat lengah dan tidak mengetahui lagi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan.
”Hal ini juga diikuti dengan informasi hoaks yang bertebaran di media sosial tentang vaksinasi dan imunisasi yang menyebabkan inilah, itulah. Padahal, program imunisasi itu wajib hukumnya karena masalah darurat yang mengancam nyawa sehingga harus dilakukan,” tutur Piprim.
Pemberitaan Kompas.id pada 6 Desember 2020 mengungkapkan hal yang sama. Membanjirnya berita bohong tentang vaksin Covid-19 berpengaruh nyata terhadap penolakan masyarakat terhadap program imunisasi rutin yang telah berlangsung selama puluhan tahun. ”Puncaknya pada Mei 2020, cakupan imunisasi dasar lengkap menurun 34,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya,” ucap dokter spesialis anak, Alvi Lavina.
Meski demikian, warga Jakarta Barat, Siti Habiba (30), selalu rutin membawa anaknya yang saat ini berusia 7 tahun untuk diimunisasi. Ia menyadari pentingnya imunisasi dalam membentuk kekebalan tubuh anak. Selain itu, baik puskesmas maupun sekolah juga mewajibkan vaksinasi dilakukan hingga kelas V sekolah dasar.