Dalam bukunya, ”Culture, Health, and Illness” (2000), Cecil G Helman mengingatkan, dalam membangun kesehatan masyarakat, yang paling penting adalah pendekatan sosiologis dan antropologis.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Deraan masalah kesehatan masih berlanjut di Tanah Air. Dari pandemi Covid-19, gangguan ginjal akut pada anak, hingga kini kejadian luar biasa polio.
Kasus polio itu terjadi pada anak usia tujuh tahun di Kabupaten Pidie, Aceh. Ia belum pernah divaksinasi dan terinfeksi virus polio liar tipe 2. Menurut survei cepat Kementerian Kesehatan bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 26 rumah tangga di Pidie, hanya 8 dari 33 anak yang sudah mendapat vaksin polio oral lengkap.
Kondisi memprihatinkan ini tidak hanya terjadi di Aceh, tetapi di sejumlah wilayah Indonesia. Hingga November 2022, ada 30 provinsi dan 415 kabupaten atau kota di Indonesia masuk kriteria berisiko tinggi polio.
Cakupan imunisasi dasar lengkap—termasuk polio—memang menurun secara keseluruhan. Tahun 2020 dan 2021, cakupan imunisasi dasar lengkap hanya mencapai 84 persen. Situs resmi Kementerian Kesehatan menyebutkan, sekitar 800.000 anak di seluruh Indonesia tidak hanya rentan terinfeksi polio, tetapi juga penyakit lain yang seharusnya dapat dicegah dengan vaksinasi. Faktanya kejadian luar biasa (KLB) difteri, campak, dan rubela dilaporkan dari sejumlah daerah.
Pandemi Covid-19 selama hampir tiga tahun menjadi salah satu penyebabnya. Survei lain Kementerian Kesehatan bersama Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) pada 2020 menunjukkan, setengah dari orangtua yang disurvei enggan membawa anaknya ke fasilitas kesehatan karena khawatir tertular Covid-19. Di sisi lain, pandemi juga mengganggu rantai pasokan vaksin dan mengurangi ketersediaan tenaga kesehatan.
Jauh sebelum pandemi, upaya Indonesia mencapai cakupan imunisasi universal (UCI) 90 persen sebenarnya sudah menghadapi banyak kendala. Kondisi geografis, agama, budaya, dan sekarang teknologi informasi memunculkan persepsi yang beragam. Dampaknya adalah perlawanan terhadap vaksinasi, bisa diam-diam, atau terbuka. Keadaan ini dapat kita lihat di awal-awal imunisasi Covid-19, ketika ada kalangan menolak, termasuk sebagian anggota DPR. Nyatanya, vaksinasi Covid-19 berhasil menurunkan angka penularan dan kematian.
Upaya Kementerian Kesehatan mengatasi ketertinggalan vaksinasi dasar dengan program Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) patut kita apresiasi. Namun, upaya ini hanya mengatasi masalah jangka pendek.
Oleh karena itu, upaya Kementerian Kesehatan mengatasi ketertinggalan vaksinasi dasar dengan program Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) patut kita apresiasi. Namun, upaya ini hanya mengatasi masalah jangka pendek. Dalam jangka panjang, pemerintah harus mengubah pola sosialisasi programnya. Dalam bukunya, Culture, Health and Illness (2000), Cecil G Helman mengingatkan, dalam membangun kesehatan masyarakat, yang paling penting adalah pendekatan sosiologis dan antropologis. Masalah organisasi dan teknik juga perlu, tetapi itu lebih mudah ditangani.
Pemerintah harus mampu menjelaskan isu-isu krusial yang menjadi sumber penolakan masyarakat sekaligus menginformasikan pentingnya vaksinasi sebagai upaya preventif. Dalam hal ini, selain menggunakan media, perlu juga pendekatan melalui tokoh masyarakat dan pemuka agama.