Hoaks Terkait Vaksin Covid-19 Turunkan Kepercayaan terhadap Program Imunisasi
Tidak hanya menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap vaksin Covid-19, penyebaran hoaks terkait vaksin Covid-19 juga bisa membuat masyarakat menolak program imunisasi yang selama ini sudah berjalan.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyebaran hoaks terkait vaksin Covid-19 dikhawatirkan tidak hanya dapat berdampak pada penerimaan masyarakat terhadap vaksin Covid-19 yang sedang dikembangkan. Hal ini juga berdampak pada program imunisasi rutin yang sudah berjalan selama ini di Indonesia.
Vaksinolog dan dokter spesialis penyakit dalam Dirga Sakti Rambe, Minggu (6/12/2020), menilai, hoaks mengenai vaksin Covid-19 dan imunisasi secara umum adalah hal yang berbahaya.
Menurut dia, tanpa ada hoaks pun, tingkat penerimaan vaksin Covid-19 ini relatif rendah. Berdasarkan catatannya terhadap sejumlah survei, di Indonesia mungkin hanya 50-60 persen masyarakat yang mau menerima vaksin. Bahkan, cakupan dapat menjadi lebih rendah di sejumlah negara di luar negeri.
Menurut Dirga, dampak yang paling mengkhawatirkan akibat membanjirnya hoaks terhadap vaksin Covid-19 ini tidak hanya persoalan penerimaan vaksin Covid-19, tetapi juga dampaknya terhadap program imunisasi rutin yang selama ini sudah berjalan.
”Jika masyarakat percaya hoaks ini, maka kepercayaan masyarakat terhadap vaksin lain itu akan menurun, termasuk terhadap program imunisasi rutin. Ini bahaya nanti. Program imunisasi rutin yang sudah berjalan puluhan tahun ini bisa terkena dampaknya,” kata Dirga.
Kekhawatiran penurunan cakupan imunisasi ini akan memperparah rendahnya cakupan imunisasi rutin anak-anak yang terjadi sejak pandemi Covid-19. Secara terpisah, dokter spesialis anak Alvi Lavina mengatakan, hal ini diakibatkan karena ketakutan masyarakat tertular Covid-19 jika mendatangi fasilitas pelayanan kesehatan
”Mulai Maret 2020, cakupan imunisasi dasar lengkap mengalami penurunan dibandingkan dengan 2019, yakni 4,9 persen. Penurunan terus terjadi hingga puncaknya Mei 2020 ketika perbedaan dengan tahun lalu mencapai 34,5 persen,” kata Alvi dalam diskusi virtual.
Berdasarkan data yang dimilikinya hingga September, cakupan penerima imunisasi dasar lengkap (IDL) pada 2020 masih berada pada posisi minus 26,9 persen dibandingkan dengan 2019.
Padahal, kini, penerimaan vaksin Covid-19 di Indonesia pun masih rendah. Survei daring yang dilakukan oleh gerakan inisiatif masyarakat Laporcovid19 beserta sejumlah perguruan tinggi pada September-Oktober lalu menunjukkan bahwa hanya 31 persen responden yang menyatakan bersedia menerima vaksin Sinovac-Biofarma dan 44 persen yang bersedia menerima vaksin Merah Putih.
Fenomena global
Untuk menanggulangi potensi rendahnya penerimaan masyarakat terhadap vaksin akibat hoaks vaksin, menurut Dirga, dari sekarang, seluruh pemangku kepentingan harus memberikan sosialisasi dan edukasi dengan cara menyampaikan berita yang benar.
Informasi mengenai vaksin untuk penyakit baru seperti Covid-19 ini harus berdasarkan fakta dan penelitian apa adanya, tidak memberikan harapan yang tidak berdasar serta tidak menyatakan vaksin tidak aman tanpa ada dasar yang jelas.
”Jadi, kita semua yang memahami proses pengembangan vaksin ini harus menyatakan apa adanya. Jelaskan bahwa semuanya masih berproses, semua masih dalam penelitian dan uji klinis,” kata Dirga.
Hal ini juga disepakati oleh pakar media sosial Claire Wardle. Menurut dia, salah satu penyebab hoaks vaksin muncul adalah karena absennya informasi yang akurat. Ketidaktahuan masyarakat ini yang menjadi lahan tumbuhnya hoaks vaksin.
Wardle adalah salah satu pendiri dari First Draft, sebuah lembaga nonprofit berbasis di AS yang berfokus pada riset misinformasi di media sosial.
Kalau masyarakat percaya hoaks ini, kepercayaan masyarakat terhadap vaksin lain itu akan menurun, termasuk terhadap program imunisasi rutin. Ini bahaya nanti. Program imunisasi rutin yang sudah berjalan puluhan tahun ini bisa terkena dampaknya.
”Kami melihat memang ada peningkatan hoaks pada sebulan terakhir sejak banyaknya pengumuman mengenai vaksin Covid-19. Namun, selain ada berbagai macam narasi mengenai vaksin, kami juga melihat bahwa ada kekosongan akan informasi akurat. Orang-orang itu bertanya-tanya tentang vaksin-vaksin ini,” kata Wardle kepada NPR.
First Draft, pertengahan November lalu, meluncurkan hasil studinya terhadap penyebaran hoaks vaksin di media sosial. Studi ini dilakukan dengan menganalisis 1.200 unggahan di media sosial (Twitter, Instagram, Facebook Page, dan Facebook Group) dalam tiga bahasa (Inggris, Spanyol, dan Perancis).
Ditemukan bahwa diskursus yang menggambarkan vaksin tidaklah penting dan berbahaya berada di posisi kedua narasi paling populer dengan 28 persen popularitas. Diskursus paling populer mengklaim bahwa pemerintah bersama media dan sejumlah tokoh hanya ingin menjual vaksin demi keuntungan finansial dan politik.
Salah satu rekomendasi First Draft mengenai langkah yang dilakukan untuk menghadapi penolakan vaksin adalah membangun jembatan antara pakar kesehatan dan kelompok masyarakat yang cenderung enggan terhadap vaksin.
”Kita semua perlu mencari cara untuk memahami ketakutan masyarakat ketimbang meremehkan ketakutan mereka terhadap vaksin. Ini adalah komponen fundamental untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap otoritas kesehatan,"” tulis laporan tersebut.
Akhir-akhir ini, beriringan dengan pemberitaan keberhasilan pengembangan sejumlah bakal vaksin Covid-19, hoaks dalam tema yang sama juga bermunculan.
Berdasarkan data Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), dua dari lima hoaks terbaru mengenai Covid-19 adalah menyangkut vaksin. Bahkan, keduanya memiliki sentimen yang berpotensi mengurangi kesediaan masyarakat untuk menerima vaksin.
Hoaks pertama mengklaim kaitan kematian dengan vaksin Covid-19 di Korea Selatan. Hoaks kedua, vaksin dengan basis mRNA seperti yang dikembangkan oleh Pfizer-BioNTech dan Moderna diklaim dapat mengubah rangkaian DNA manusia penerimanya. Kedua hoaks tersebut sudah dibuktikan salah dan tidak akurat.