Mensos: Kearifan Lokal untuk Cegah Bencana
Praktik hidup masyarakat hingga naskah kuno mengandung kearifan lokal yang dapat diadopsi untuk mencegah bencana.
Ilustrasi longsor
GOWA, KOMPAS — Menteri Sosial Tri Rismaharini mendorong agar kearifan lokal masyarakat diadopsi untuk mencegah bencana. Kearifan lokal itu merupakan warisan masyarakat masa lampau saat berinteraksi dengan alam.
Hal ini disampaikan Risma ketika mengunjungi lokasi longsor di Kabupaten Gowa, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (19/11/2022). Hadir pula dalam kunjungan ini, Ketua Komisi VIII DPR Ashabul Kahfi, Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman, serta Wakil Bupati Gowa Abdul Rauf Malaganni.
Titik longsor di Desa Lonjoboko, menurut Risma, bisa membahayakan warga saat hujan lebat. Ini karena sungai di hulu akan mengalirkan air dengan debit tinggi. Air dikhawatirkan mengalir deras ke bawah dan menyebabkan longsor ke jalan raya ataupun permukiman warga.
Risma menyarankan agar aliran air ditahan dari atas. Ini bisa dengan membuat tanggul atau struktur penahan dari bambu.
Perubahan iklim dapat menyebabkan bencana hidrometeorologi yang semakin sering dan intensitasnya semakin besar.
”Sebetulnya, cara ini sangat tradisional dan sudah ada dari dulu, dilakukan oleh nenek moyang kita,” kata Risma. ”Kalau kita lakukan dengan kearifan lokal, saya pikir itu jauh lebih sustainable (berkelanjutan) daripada kita buat proyek-proyek (yang menghabiskan lebih banyak dana),” tuturnya.
Saran ini direspons positif oleh Gubernur Andi. Ia mengatakan bakal mengerahkan petugas untuk meninjau lokasi dan merencanakan pengerjaan tanggul penahan laju air sungai.
Adapun longsor terjadi pada Rabu (16/11) petang di Dusun Kunyika dan Dusun Borong Sapiria, Desa Lonjoboko, Kabupaten Gowa. Hingga kini, ada tujuh korban bencana tersebut. Sebanyak enam korban meninggal, sementara satu korban lainnya masih dicari.
Sebagian korban merupakan pengendara yang melintas saat tebing di sisi jalan longsor. Kendaraan mereka tertimpa longsor dan terseret material hingga jatuh ke jurang. Sebagian lainnya adalah warga yang rumahnya tertimbun material longsor (Kompas.id, 17/11/2022). Pemerintah memberi santunan ke masing-masing ahli waris korban sebesar Rp 15 juta per korban.
Baca Juga: Korban Tewas Longsor Jalan Malino-Sinjai di Sulsel Bertambah Jadi Lima
Kearifan lokal
Adopsi kearifan lokal direkomendasikan untuk mencegah bencana dan timbulnya korban jiwa. Hal ini sebetulnya telah dipraktikkan nenek moyang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Kearifan lokal masyarakat Baduy Dalam di Banten, misalnya, membangun rumah tanpa mengubah struktur dan kemiringan tanah. Tiang penyangga rumah disesuaikan dengan kemiringan tanah sehingga permukaan lantai tetap datar. Dengan tidak mengubah kontur tanah, jika hujan turun, air dapat tetap mengalir dan potensi banjir bisa dihindari (Kompas.id, 30/10/2019).
Kearifan lokal juga terkandung di naskah La Galigo, naskah kuno masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Salah satu cerita di naskah itu berkisah soal dewi padi Sangiang Serri dan kucing hitam loreng. Keduanya berkelana mencari manusia berbudi baik. Dalam perjalanan, mereka sempat tinggal di rumah panggung kayu milik warga. Rumah panggung dulu umum dijumpai di Sulawesi pada masa lampau.
Menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Nurhayati Rahman, rumah panggung berhubungan dengan keselamatan manusia saat terjadi bencana. Tidak ada korban jiwa saat Mamuju dihantam gempa berkekuatan magnitudo 6,7 pada 8 Januari 1984.
Baca Juga: Kearifan Lokal di Naskah ”La Galigo” Dapat Diadaptasi
Hal berbeda terjadi ketika gempa terjadi empat dekade kemudian. Pada 15 Januari 2021, saat Mamuju diguncang gempa berkekuatan 6,2 magnitudo, Basarnas Mamuju mendata ada 91 korban meninggal.
”Masih banyak rumah panggung berjejer pada 1984. Kini, rumah panggung diganti rumah batu karena warga kesulitan mencari kayu akibat penebangan liar,” kata Nurhayati (Kompas.id, 2/12/2021).
Pencegahan bencana penting karena Indonesia merupakan salah satu negara paling rawan bencana. Posisi Indonesia yang ada di jalur cincin api membuat kawasan ini rawan gempa. Gempa besar bahkan dapat memicu tsunami.
Indonesia juga menghadapi risiko bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan longsor. Berdasarkan Laporan Khusus Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) 2021, perubahan iklim dapat menyebabkan bencana hidrometeorologi yang semakin sering dan intensitasnya semakin besar.
Baca Juga: Perubahan Iklim Memperparah Kejadian Bencana dan Wabah Penyakit
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 18 November 2022, ada 3.208 kejadian bencana di Indonesia tahun ini. Sebanyak 1.344 bencana di antaranya adalah banjir, 599 tanah longsor, serta 250 kebakaran hutan dan lahan. Sejauh ini, ada 220 orang meninggal karena bencana, 857 luka, 33 hilang, dan lebih dari 4,5 juta orang mengungsi.