Tantangan Baru Penanggulangan Malaria 2030 di Indonesia
Malaria masih menjadi masalah bagi 85 negara endemik. Masalah baru yang timbul dalam proses penanggulangannya perlu menjadi perhatian seluruh pihak.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanggulangan malaria di Indonesia menemui masalah baru dengan adanya spesies lain yang sama berbahayanya dengan malaria dan produksi vaksin yang masih dalam proses penelitian. Keduanya menjadi tantangan Indonesia dalam pencapaian bebas malaria pada 2030.
Pakar mikrobiologi dan zoologi dari Oxford University, J Kevin Baird, dalam Gadjah Mada International Conference on Tropical Medicine, Selasa (15/11/2022), menyebutkan, malaria yang disebabkan Plasmodium vivax sama berbahayanya dengan (malaria yang disebabkan) Plasmodium falciparum.
”Ini merupakan penemuan baru yang tidak bisa dianggap masalah remeh. Jika tidak ditangani dengan benar, malaria akan menjadi berbahaya dan fatal dampaknya,” ujarnya.
Berdasarkan penelitian klinis yang dilakukan di Papua terhadap 735.630 kasus malaria, 293.763 kasus disebabkan oleh Plasmodium vivax (P Vivax). Malaria yang berdampak parah akibat P vivax sebanyak 24 persen dengan tingkat kematian 7,8 persen.
Perbedaan dua penyebab malaria ini, yaitu P falciparum menyerang bagian vaskular, sedangkan P vivax menyerang bagian ekstravaskular. P vivax bersifat motil, fleksibel, dan invasif. Untuk persebaran biomassanya hanya berfokus pada bagian sumsum tulang, limpa, dan hati.
”Biomassa P vivax tersembunyi pada bagian ekstravaskular yang tidak dapat dilihat, diukur, ataupun dihubungkan pada kondisi penyakit tertentu sehingga penelitian lebih lanjut sangat diperlukan,” ucapnya.
Selain itu, pasien yang terinfeksi P vivax dominan teridentifikasi pada waktu dirawat di rumah sakit. Menurut Kevin, kuat dugaan bahwa masih terdapat pasien yang tidak terawat dan meninggal akibat infeksi P vivax. Kematian akibat P vivax berada dalam rentang 14-365 hari pasca-infeksi.
Penelitian Dewi Patriani dan kawan-kawan pada tahun 2019 yang berjudul Early and late mortality after malaria in young children in Papua, Indonesia, menyimpulkan bahwa anak balita yang terinfeksi P vivax berisiko tinggi meninggal dunia satu tahun setelah terpapar.
Ini merupakan penemuan baru yang tidak bisa dianggap masalah remeh. Jika tidak ditangani dengan benar, malaria akan menjadi berbahaya dan fatal dampaknya.
Merujuk data World Malaria Report 2021 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada 2020 terdapat 241 juta kasus malaria dan sebanyak 627.000 kematian yang terjadi di 85 negara endemik. Sekitar 4,5 juta kasus di antaranya akibat terinfeksi P vivax.
Kementerian Kesehatan sebelumnya telah menetapkan target program eliminasi malaria pada seluruh daerah di Indonesia selambat-lambatnya tahun 2030. Target ini sejalan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 293/Menkes/SK/IV/2009 tentang Eliminasi Malaria di Indonesia.
Menurut Profil Kesehatan Indonesia 2021, baru empat provinsi yang dinyatakan bebas malaria, di antaranya DKI Jakarta, Bali, Jawa Timur, dan Banten. Untuk Provinsi Papua, Papua Barat, dan Maluku, masih nol persen tingkat eliminasi malaria.
Peneliti pediatrik dari Universitas Gadjah Mada sekaligus Papuan Health and Community Development Foundation, Jeanne Rini Poespoprodjo, mengatakan, pengembangan fasilitas kesehatan yang tidak terkait Covid-19 perlu ditingkatkan.
Untuk mencapai target bebas malaria 2030, Indonesia perlu mengubah pengawasan malaria menjadi langkah kunci proses intervensi. Selain itu, dibutuhkan inovasi terkait pengendalian vektor, diagnosis penyakit, obat-obatan, keterlibatan masyarakat, dan vaksin.
”Pada intinya, malaria masih menjadi masalah bagi 85 negara endemik. Gangguan pandemi Covid-19 telah membuat penanganan malaria keluar jalur sebesar 40 persen dari target tahun 2020,” ujarnya.
Vaksin
Peneliti biologi molekuler Eijkman Institute dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Rintis Noviyanti, menyebutkan, vaksin malaria yang masih dalam tahap percobaan di antaranya RTS,S; R21; dan PfSPz Sanaria. Untuk PfSPz Sanaria akan diuji coba untuk spesies P vivax pada tahun 2022.
”Sejauh ini, vaksin yang paling efektif adalah PfSPz karena dapat mencegah infeksi malaria akibat P falciparum lebih dari 90 persen. Hal ini berdasarkan penelitian di AS, Jerman, Tanzania, dan Mali,” ucapnya.
Saat ini, vaksin PfSPz sedang dalam tahap eksperimen bekerja sama dengan TNI AD. Pengujian tersebut dilakukan pada personel TNI yang diturunkan di Papua. Ini karena mereka berinteraksi secara intensif pada lingkungan Papua. Penelitian berlangsung mulai dari tahun 2021 dan akan selesai pada tahun 2023.
”Komitmen dari seluruh pihak merupakan hal yang wajib dalam penanggulangan malaria 2030. Untuk vaksin, nantinya harus mampu diproduksi massal, murah, dan mudah diaplikasikan pada seluruh musim malaria dan mudah untuk dikendalikan,” tambahnya.