Pemanasan Global Memperluas Sebaran Penyakit yang Ditularkan Nyamuk
Pemanasan global bisa menguntungkan spesies tertentu, termasuk di antaranya nyamuk yang populasinya bakal tumbuh dan penyebaran penyakit yang ditimbulkannya semakin meluas.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanasan global yang menyebabkan kenaikan suhu, perubahan curah hujan, dan pemanasan laut telah mengancam populasi manusia. Namun, hal ini justru bisa menguntungkan spesies tertentu, termasuk di antaranya nyamuk yang populasinya diperkirakan bakal tumbuh dan penyebarannya semakin meluas.
Kajian terbaru yang diterbitkan di The Lancet Planetary Health pada 1 Juli 2022 menunjukkan, peningkatan tiga faktor iklim, yaitu suhu, curah hujan, dan pemanasan laut, bakal memicu pertumbuhan populasi nyamuk di Sri Lanka.
Hampir setengah dari populasi dunia tinggal di daerah yang berisiko terkena demam berdarah, yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di Sri Lanka. Karena pengembangan vaksin yang aman dan efektif melawan demam berdarah terbukti masih sulit, pengendalian populasi nyamuk dianggap sebagai strategi paling efektif untuk mencegah penyebaran virus.
Pola penularan demam berdarah di Sri Lanka mengikuti curah hujan monsun negara itu, dengan transmisi puncak pada Juli setelah monsun barat daya, diikuti oleh puncak yang lebih kecil pada Desember hingga Januari setelah monsun timur laut. Penelitian menunjukkan hubungan antara beberapa variabel iklim dan kuantitas, pola makan, serta umur nyamuk Aedes yang menularkan demam berdarah, tetapi hubungan antara aktivitas nyamuk Aedes dan iklim masih belum dipahami dengan baik.
”Penularan demam berdarah diperkirakan akan meningkat karena perubahan iklim. Jika kita dapat menggunakan data iklim dan cuaca untuk memprediksi pola musiman nyamuk, informasi yang tepat waktu ini akan memungkinkan otoritas kesehatan masyarakat untuk secara proaktif mengelola operasi pengendalian nyamuk,” kata penulis studi Yesim Tozan, asisten profesor kesehatan global di New York University (NYU) School of Global Public Health, dalam keterangan yang dirilis NYU.
Dalam kajian ini, para peneliti mengukur pengaruh iklim pada nyamuk Aedes di Kalutara, sebuah distrik di Sri Lanka barat daya dengan keberadaan demam berdarah yang tinggi dan persisten. Mereka mengukur tiga variabel cuaca bulanan berupa curah hujan, suhu, dan Oceanic Nino Index—dari 2010 hingga 2018.
Meningkatnya suhu rata-rata global akan menaikkan kesesuaian iklim kedua penyakit terutama di daerah yang sudah endemik.
Indeks Oceanic Nino mengukur apakah perairan di Samudra Pasifik tropis lebih hangat atau lebih dingin dari rata-rata, dengan fase El Niño dan La Niña memicu perubahan cuaca. Tiga peristiwa El Niño, atau suhu laut yang luar biasa hangat, terjadi dari 2010 hingga 2018.
Para peneliti kemudian membandingkan variabel iklim dengan data surveilans nyamuk yang dikumpulkan secara sistematis di Kalutara, termasuk pengukuran nyamuk dan jentik Aedes yang ditemukan di rumah dan wadah air di luar ruangan.
Ketiga variabel iklim memprediksi aktivitas nyamuk, tetapi dengan jeda waktu yang berbeda. Curah hujan yang lebih tinggi, yang sering menyebabkan wadah luar ruangan terisi air, menciptakan tempat perkembangbiakan nyamuk, memprediksi prevalensi nyamuk yang lebih besar dalam bulan yang sama.
Suhu yang lebih panas dikaitkan dengan peningkatan nyamuk satu hingga dua bulan kemudian. Suhu laut yang lebih hangat dari peristiwa El Niño memperkirakan peningkatan nyamuk dengan penundaan lima hingga enam bulan.
”Faktor iklim ini berpotensi menjadi prediktor aktivitas nyamuk pada waktu yang berbeda dan memungkinkan kami mengukur risiko dan menerapkan intervensi pengendalian nyamuk yang efektif sebelum epidemi demam berdarah muncul,” kata penulis utama studi tersebut, Prasad Liyanage dari Kementerian Kesehatan Sri Lanka dan Universitas Ume di Swedia, yang akan bergabung dengan NYU School of Global Public Health sebagai peneliti pascadoktoral.
Penulis studi ini termasuk Hans Overgaard dari Universitas Ilmu Hayati Norwegia dan Universitas Khon Kaen di Thailand, Hasitha Aravinda Tissera dari Kementerian Kesehatan Sri Lanka, dan Joacim Rocklöv dari Universitas Ume dan Universitas Heidelberg di Jerman.
Sejumlah kajian sebelumnya juga menemukan peningkatan risiko penyakit malaria dan demam berdarah akibat pemanasan global. Misalnya, kajian yang diterbitkan di The Lancet Planetary Health pada Juli 2021 menemukan, akan ada 1,6 bulan tambahan penularan malaria di dataran tinggi tropis di wilayah Afrika, wilayah Mediterania Timur, dan wilayah Amerika.
Sementara demam berdarah akan meningkat di dataran rendah di wilayah Pasifik Barat dan Mediterania Timur dengan tambahan empat bulan. Peningkatan kesesuaian iklim kedua penyakit tersebut akan lebih besar di perdesaan daripada perkotaan.
Kajian yang ditulis Felipe J Colón-González dari London School of Hygiene and Tropical Medicine dan tim ini menunjukkan, sabuk epidemi untuk kedua penyakit yang ditularkan nyamuk ini akan meluas ke daerah beriklim sedang. Populasi yang berisiko terhadap kedua penyakit tersebut dapat meningkat hingga 4,7 miliar orang tambahan pada tahun 2070 dibandingkan dengan tahun 1970-1999, terutama di dataran rendah dan daerah perkotaan.
Meningkatnya suhu rata-rata global akan menaikkan kesesuaian iklim kedua penyakit terutama di daerah yang sudah endemik. Ekspansi yang diprediksi menuju ketinggian yang lebih tinggi dan daerah beriklim sedang menunjukkan bahwa wabah dapat terjadi di daerah di mana orang mungkin secara imunologis naif dan sistem kesehatan masyarakat tidak siap.
Kajian ini juga menunjukkan, populasi berisiko malaria dan demam berdarah akan lebih tinggi di daerah perkotaan padat penduduk di wilayah Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika.