Hanya dalam 200 Tahun, Populasi Manusia Meledak 8 Kali Lipat
Selama lebih dari 2,8 juta tahun, spesies manusia berhasil bertahan dan berkembang pesat. Meski di awal pertumbuhannya lambat, sejak 1803 hingga 2022 atau sekitar 200 tahun terakhir, jumlah manusia naik 8 kali lipat.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·6 menit baca
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Dengan total peserta yang sekitar 9.000 orang, memotret lomba maraton seperti Maybank Bali Marathon 2017 memang memotret sebuah adegan kerumunan, dan itu memerlukan suasana kolosal.
Jumlah manusia Bumi pada 15 November 2022 ini genap mencapai 8 miliar jiwa. Padahal, pada tahun 1803, manusia penghuni Bumi baru mencapai 1 miliar jiwa. Artinya, hanya dalam 200 tahun, jumlah manusia telah meningkat delapan kali lipat. Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kunci sukses manusia bertahan hidup selama jutaan tahun hingga sekarang.
Fosil manusia tertua yang ditemukan di timur Afrika berumur 2,8 juta tahun. Sejak saat itu, jumlah manusia terus bertambah meski pertumbuhannya sangat lambat. Populasi manusia baru dapat diandalkan saat mencapai 1 miliar jiwa pada awal abad ke-19.
Semasa awal perkembangan manusia, nenek moyang kita adalah masyarakat pemburu dan pengumpul. Mereka memiliki sedikit anak karena hidup secara nomaden. Jumlah anak yang kecil akan memudahkan mereka saat harus berpindah tempat tinggal.
Sebagai masyarakat pemburu-pengumpul, mereka membutuhkan banyak lahan untuk hidup. Menurut peneliti Institut Studi Demografi Perancis (INED) Herve Le Bras, seperti dikutip AFP, 10 November 2022, bangsa pemburu-pengumpul membutuhkan setidaknya 10 kilometer persegi per orang agar bisa mendapatkan makanan yang cukup.
Manusia baru mengenal pertanian sekitar tahun 10.000 sebelum Masehi (SM). Masa ini dikenal sebagai zaman Neolitikum, yaitu saat manusia mulai menggunakan peralatan dari batu yang dihaluskan. Pada era inilah untuk pertama kalinya populasi manusia mengalami lompatan besar.
Sebagai masyarakat pertanian, mereka menjadi kurang banyak bergerak dibandingkan masyarakat pemburu-pengumpul. Mereka pun tinggal menetap sehingga mampu mengembangkan kemampuan untuk mengolah dan menyimpan makanan.
Konsekuensinya, jumlah kelahiran pun meningkat pesat. ”Pada masa ini, kaum ibu sudah memiliki kemampuan untuk memberi makan bayi mereka dengan bubur. Pemberian bubur ini mempercepat proses penyapihan bayi dan memperpendek jarak antarwaktu kelahiran. Akibatnya, jumlah anak yang dimiliki perempuan pun makin bertambah banyak,” kata Le Bras.
Pola tinggal menetap manusia juga membuat mereka bisa melakukan domestikasi binatang untuk dijadikan hewan ternak dan memenuhi kebutuhan pangan hewani. Proses ini walau terlihat menguntungkan, sejatinya juga membawa risiko berbahaya yang menyebabkan manusia mulai tertular penyakit mematikan baru.
Penyakit infeksi membuat kematian anak sangat tinggi. Sekitar sepertiga anak di masa itu meninggal sebelum ulang tahun pertama mereka. Sepertiga anak lainnya juga harus mati akibat penyakit menular sebelum usianya mencapai 18 tahun. Artinya, hanya sepertiga anak yang berhasil beregenerasi dan meneruskan genetika manusia.
”Meski ada kematian anak yang sangat besar, ledakan kelahiran juga sangat besar dan terjadi secara konsisten,” kata antropolog Universitas Toulouse, Perancis, Eric Crubezy.
Ledakan kelahiran itu membuat dari 6 juta manusia di Bumi pada tahun 10.000 SM melonjak menjadi 100 juta jiwa pada tahun 2000 SM atau naik hampir 17 kali lipat dalam 8.000 tahun. Dari jumlah itu, sesuai prediksi INED, jumlah manusia kembali meledak menjadi 250 juta jiwa pada abad pertama Masehi atau 2,5 kali lipat dalam dua milenium.
Ilustrasi dokter tengah memeriksa urine dan nadi pasien penyakit pes dalam kondisi masyarakat diserang wabah pes pada abad ke-15.
Kematian
Namun ledakan jumlah penduduk itu harus berhadapan dengan tingginya kematian akibat tidak terkendalinya penyakit. Kematian terbesar terjadi saat pandemi Black Death atau Kematian Hitam selama abad pertengahan. Kematian masif global ini membuat pertumbuhan populasi dunia berhenti mendadak.
Kematian Hitam itu dipicu merebak dan tak terkendalinya wabah pes atau sampar, penyakit menular yang disebabkan oleh enterobakteri dan disebarkan oleh hewan pengerat, khususnya tikus. Bakteri ini mudah mengontaminasi makanan, baik berupa makanan matang maupun makanan beku.
Wabah pes ini bermula di wilayah yang saat ini masuk negara Kirgistian di Asia Tengah pada awal abad ke-14. Selanjutnya, penyakit ini mencapai Eropa pada tahun 1346 melalui kapal-kapal yang membawa aneka barang melalui Laut Hitam. Hasilnya, 60 persen populasi manusia di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika musnah hanya dalam delapan tahun.
Besarnya kematian akibat Kematian Hitam membuat jumlah manusia anjlok dari 429 juta jiwa pada tahun 1300 menjadi 374 juta jiwa pada tahun 1400. Dalam satu abad, pertumbuhan manusia justru menurun hampir 13 persen meski kelahiran tetap terjadi.
Ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat manusia menjadi spesies yang sukses bertahan, bahkan berkembang dengan pesat hingga sekarang.
Namun, penurunan jumlah penduduk Bumi tidak hanya terjadi saat Kematian Hitam saja. Sebelumnya, antara tahun 541 dan 767 atau selama dua abad lebih berlangsung Wabah Yustinianus (Plague of Justinian). Wabah ini melanda Kekaisaran Romawi Timur yang saat itu dipimpin Kaisar Yustinianus I.
Wabah yang juga disebabkan penyakit pes ini juga menyerang ibu kota Romawi Timur, yaitu Konstantinopel atau Istanbul, Turki saat ini. Wabah ini pun kemudian menyebar ke sejumlah wilayah sekitar, seperti Jazirah Arab, Afrika Utara, Asia Selatan, hingga Eropa dan China. Intensitas kematian selama Wabah Yustinianus ini dianggap sama dengan Kematian Hitam.
Selain oleh penyakit, pertumbuhan manusia juga terhambat oleh perang. Perang di Eropa Barat pasca-keruntuhan Kekaisaran Romawi atau pada awal abad pertengahan, sekitar tahun 1000 hingga 1300, juga menimbulkan kematian besar.
Pada masa itu, seperti dikutip dari situs Universitas Swansea, Inggris, bangsa-bangsa Eropa Barat harus menghadapi serbuan dari bangsa Viking dari utara, bangsa Magyar (sekarang Hongaria) dari timur, dan pasukan Muslim dari selatan. Besarnya kematian akibat perang di masa ini juga membawa konsekuensi besar bagi pertambahan umat manusia.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH (DRI)
Replika kapal bangsa viking yang sekarang menjadi hotel berbintang di Kota Gothenburg, Swedia, Rabu (17/7/2019). Swedia adalah salah satu negara skandinavia yang menjadi tanah tempat lahirnya bangsa petualang, bangsa viking. Salah satu keunggulan viking adalah mampu membangun kapal besar dan sanggup mengarungi lautan luas.
Terus bertambah
Seiring berakhirnya abad pertengahan atau era kegelapan di Eropa, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Industrialisasi pertanian berkembang hingga menciptakan pasokan pangan yang lebih baik. Selain itu, obat-obatan modern juga banyak ditemukan yang membuat penyakit menular mulai bisa dikendalikan.
Keberhasilan itu membuat jumlah manusia akhirnya mencapai 1 juta jiwa pada tahun 1803. Butuh lebih dari 2,8 juta tahun untuk membuat manusia mencapai 1 miliar jiwa. Namun dari 1 miliar jiwa mencapai 8 miliar jiwa yang terjadi 15 November 2022 ini, hanya butuh waktu sekitar 200 tahun.
Vaksin, menurut Crubezy, adalah kunci bagi peningkatan jumlah manusia secara eksponensial tersebut. Suntikan vaksin cacar telah membantu mengeliminasi penyakit cacar yang selama abad ke-20 saja telah membunuh lebih dari 300 juta orang.
Bahkan, dikutip dari BBC, 17 Juni 2020, penyakit cacar yang sudah ditemukan sejak 3.000 tahun lalu di era Mesir kuno itu secara resmi dinyatakan hilang oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1980. Keberhasilan itu menjadikan cacar sebagai satu-satunya penyakit yang berhasil diberantas tuntas manusia hingga saat ini.
Jumlah manusia terus berkembang seiring kemajuan kedokteran modern. Penemuan metode pengobatan jantung pada tahun 1970-an hingga 1980-an membuat manusia bisa menekan kematian pada penduduk berumur di atas 60 tahun hingga membuat usia harapan hidup terus bertambah panjang.
IRMA TAMBUNAN
Seorang warga menerima vaksin Covid-19 dalam kegiatan vaksinasi massal di Gelanggang Olahraga Kotabaru, Jambi, Sabtu (7/8/2021).
Vaksin pula yang menyelamatkan manusia dari pandemi Covid-19 selama tahun 2020 hingga saat ini. Selama hampir tiga tahun, Covid-19 telah menjangkiti lebih dari 640 juta orang dan menewaskan 6,6 juta orang di seluruh dunia. Vaksin berhasil menekan kematian akibat Covid-19 meski pandemi ini telah mengurangi usia harapan hidup manusia dari 72,8 tahun pada 2019 menjadi 71,4 tahun pada 2021.
Ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat manusia menjadi spesies yang sukses bertahan, bahkan berkembang dengan pesat hingga sekarang. Kini, tantangan yang harus diselesaikan menyambut 9,7 miliar penduduk Bumi pada tahun 2050 dan 10,4 miliar manusia pada tahun 2080-an adalah bagaimana mempertahankan manusia tetap produktif dan sehat di usia yang semakin tua.
Penuaan dan juga kematian adalah hukum alam. Namun menjadikan masa tua agar tetap bisa aktif dan produktif ditengah penurunan fungsi sel-sel tubuh membutuhkan inovasi tak hanya tentang sains dan teknologi, tetapi juga gaya hidup. Mampu atau tidaknya manusia mengatasi persoalan terkait penuaan itu, waktulah yang akan membuktikannya.