Kota 24 Jam untuk 8 Miliar Penduduk Bumi
Apa jadinya jika penduduk dunia mencapai 8 miliar orang? Kota-kota perlu bersiap. Salah satunya menjadi kota 24 jam dengan memaksimalkan pemanfaatan ruang-ruang urban.
Pandemi Covid-19 memang menurunkan angka harapan hidup di tengah laju pertumbuhan penduduk dunia yang melambat. Meskipun demikian, laporan Prospek Populasi Dunia dari Divisi Populasi, Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB (UNDESA), menyatakan, penduduk dunia tetap bertambah dan pada 15 November nanti kelahiran bayi-bayi baru akan menggenapkan jumlahnya menjadi 8 miliar orang.
Dari laporan yang sama disebutkan, dalam delapan tahun ke depan, jumlah penduduk Bumi mencapai 8,5 miliar orang dan menjadi 9,7 miliar pada 2050. Saat ini, 50 persen penduduk dunia hidup di kawasan urban dan menjadi 68 persen mulai 2050.
Pertambahan penduduk juga ditandai tingginya migrasi dari satu tempat ke tempat lain, termasuk antarnegara. Kota-kota di dunia akan dihuni warga dari berbagai latar belakang bangsa, suku, agama, dan ras. Gegar budaya, segregasi sosial, ekonomi, bahkan politik, bakal menjadi isu di depan mata. Perebutan ruang untuk memperjuangkan ekonomi bukan perkara mudah. Padahal, ekonomi yang stabil dapat membantu menekan berbagai isu krusial lainnya.
”Hubungan antara pertumbuhan penduduk dan pembangunan berkelanjutan makin kompleks dan multidimensi. Pertumbuhan penduduk yang cepat membuat penanggulangan kemiskinan, upaya memerangi kelaparan dan kekurangan gizi, serta meningkatkan cakupan sistem kesehatan dan pendidikan menjadi lebih sulit,” kata Liu Zhenmin, Wakil Sekretaris Jenderal UNDESA.
Apa yang dapat dilakukan kota-kota menghadapi hal tersebut?
Baca juga : Sir Paul McCartney Naik ”Tube”, Ikut Yuk
Pada 31 Oktober lalu, Hari Kota Sedunia dirayakan terpusat di Shanghai, China, dan Nairobi, Kenya, diiringi perhelatan berbagai acara di banyak kota lain di dunia. Hari Kota Sedunia tahun ini mengusung slogan ”Act Local to Go Global”. Slogan itu menjadi pelecut agar kota-kota melihat potensi yang ada di tingkat lokal untuk dapat dikelola menjadi solusi yang tidak hanya berdampak pada kota setempat, tetapi ikut mengikis tekanan ketimpangan di level global, termasuk karena bertambahnya jumlah penduduk.
Sebelumnya telah muncul gagasan-gagasan agar kota menjadi hunian ideal bagi siapa pun warga yang tinggal di sana. Salah satu gagasan yang muncul sejak 1960-an adalah konsep kota 24/7 dan kini didengungkan kembali. Konsep ini menekankan ruang-ruang urban bisa ditata untuk menjadi tempat kegiatan ekonomi secara bergantian selama 24 jam selama tujuh hari penuh atau tidak berjeda.
Sepintas, terbayang lagi okupasi pedagang kaki lima atas trotoar dan lahan-lahan kosong. Parkir di badan jalan dan kemacetan juga tak tertahankan. Intinya, semua yang semrawut akan semakin parah.
Bagi sebagian orang yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya, gagasan itu seperti mengembalikan kota pada masa-masa kesemrawutannya dulu. Padahal, kini di beberapa lokasi, penataan trotoar dan lingkungan sekitarnya telah menghadirkan sudut-sudut kota yang indah dan bikin betah.
Wendy Tan dan Ina Klaasen menampik kekhawatiran pada kesemrawutan itu. Dalam salah satu makalahnya, mereka mengatakan sudut pandang lingkungan 24/7 menunjukkan area dengan banyak fungsi untuk berbagai orang yang tersedia siang dan malam. Peneliti dari Universitas Teknologi Delft, Belanda, itu menyebutkan pilar yang mendasari konsep ini adalah ’vitalitas perkotaan’, ’proses aglomerasi dan simbiosis dalam sistem terbuka yang kompleks’, dan ’ritme perkotaan’. Namun, kekacauan penggunaan ruang kota tidak termasuk di dalamnya.
Tiga sumbu utama yang koheren untuk mendorong pembangunan pusat kota dalam konsep 24/7 adalah orang atau masyarakat, tempat, dan kreativitas.
Kota 24/7 dapat diidentifikasi melalui lokasi-lokasi dan layanan-layanan yang tersedia terus-menerus serta dapat diakses semua kalangan. Penegakan hukum, pemadaman kebakaran, layanan darurat, transportasi publik, fasilitas air bersih, fasilitas pembuangan limbah, dan lainnya adalah bagian dari layanan kota 24/7. Seiring layanan itu terwujud pula lingkungan perkotaan sehat karena ruang-ruang kota dapat digunakan oleh semua spektrum masyarakat dalam berbagai rentang waktu berbeda.
Setidaknya, konsep 24/7 ini dapat diterapkan di kawasan-kawasan tertentu yang selama ini boros energi. Dengan konsep ini, dapat disediakan sentra-sentra kota yang aman untuk dinikmati semua kalangan tanpa rasa takut. Sentra kota itu sekaligus pengembangan ekonomi baru di malam hari yang meningkatkan citra kota untuk menarik modal dari internal atau dari dalam negeri. Tiga sumbu utama yang koheren untuk mendorong pembangunan pusat kota dalam konsep 24/7 adalah orang atau masyarakat, tempat, dan kreativitas.
Mengambil contoh poros Sudirman-Thamrin di pusat Jakarta, sebagian besar kawasan premium tersebut bagai area mati selepas jam kerja di malam hari. Gedung pencakar langit menyedot rupiah setiap menit untuk sekadar mempertahankan lampunya bersinar, tetapi minim aktivitas manusia di dalamnya. Trotoar lebar dan bagus kosong melompong. Paling di satu dua lokasi saja ada yang main skateboard atau nongkrong, seperti di seputar Dukuh Atas.
Bagaimana jika Sudirman-Thamrin digeser menjadi area 24/7? Tampak muka kawasan tersebut dapat diubah sehingga pagar-pagar tinggi perkantoran yang terkesan angker dibuka, ditata, serta dijadikan ruang untuk berbagai jenis kegiatan, sentra usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk menjadi pusat kuliner malam. Sudah ada mal lawas Sarinah yang dapat menjadi rujukan setelah kini berganti rupa menjadi lebih ramah pejalan kaki, pengguna angkutan umum, serta menyediakan kuliner lokal terjangkau.
Baca juga: Perangkap Maut di Jalanan Kota Kita
Yang pasti, perlu disediakan sumber air bersih, saluran buang, dan tempat sampah memadai sehingga pengelola usaha tidak sembarangan membuang sampah di trotoar. Pendataan dan penataan juga menjadi kunci agar tidak kembali menjadi semrawut dengan PKL menjamur di mana-mana. Bahkan, sentra makanan yang biasanya padat dan kotor terselip di belakang gedung-gedung tinggi dapat dipindahkan ke bagian depan bangunan. Tanpa warung yang menyesakinya, kawasan perumahan di belakang gedung jangkung dapat lebih lega dan lebih layak huni.
Jika konsep ini diterapkan pula di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, dan kota-kota lain, terbayang ratusan ribu sampai jutaan lapangan kerja tercipta. Kota juga menjadi lebih ramah karena mobilitas 24 jam di lokasi tersebut lebih aman dengan begitu banyak ”mata” mengawasi jalanan.
Selama ini, masyarakat yang mencari peluang ekonomi telah secara rutin menggelar pasar-pasar ”tiban” di hari-hari tertentu, khususnya di malam hari. Di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, di jalanan di antara tegakan apartemen, hingga gang-gang permukiman, pasar malam dadakan biasa digelar. Ini juga masih ditemukan di seantero Jabodetabek. Kesannya selalu kucing-kucingan dengan aparat dan gelaran usaha seadanya menciptakan keramaian sekaligus panen sampah.
Jika saja Kemayoran ditata menjadi sentra usaha rakyat jalanan yang resmi dan ditata dengan baik, tentu tidak harus menunggu gelaran Pekan Raya Jakarta untuk membuat kawasan itu ramai. Area luas bekas bandar udara dengan jalan-jalan besar itu sehari-hari juga akan lebih hidup, semarak, dan produktif.
Baca juga: Ada Dulu, Pembenahan Kemudian
Pada 2020, dalam IOP Conference Series, peneliti urban asal Iran memaparkan kota 24/7 tidak selalu berkenaan dengan kehidupan penuh hura-hura. Konsep kota 24/7 sudah dikenal bahkan diterapkan di kota-kota suci, seperti Karbala di Irak ketika berbagai kegiatan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dilakukan hingga malam bahkan sampai pagi. Mendukung hal itu, kegiatan ekonomi seperti usaha makanan, peralatan ibadah, tempat penginapan, dan banyak lagi yang tidak pernah tutup. Kawasan di sekitar Masjid Istiqlal sepertinya dapat pula menerapkan 24/7 ini.
Di Bogota, Kolombia, tahun ini diluncurkan kota 24 jam sekaligus menandai pembangunan pascapandemi dan mendorong percepatan perputaran perekonomian.
Kota 24/7 memang bukan sekadar konsep untuk menggerakkan ekonomi separuh lebih dari 8 miliar penduduk dunia yang kini tinggal di area urban dan menjamin kehidupan yang lebih baik untuk mereka. Akan tetapi, siapa pun pengelola kota yang menerapkannya berarti harus mampu mengimbanginya dengan pembangunan fasilitas publik berkualitas. Sudah siapkah kota-kota kita? Harus siap.
Baca juga : Catatan Urban