Pemulihan Perlu Diiringi Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi
Banyak hal yang perlu diperbaiki Indonesia dalam pemulihan pascapandemi. Salah satunya adalah kesiapsiagaan menghadapi pandemi atau bencana lainnya.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meredanya gelombang pandemi Covid-19 memberi ruang bagi setiap negara untuk memulihkan diri. Namun, pemulihan di segala sektor kehidupan ini perlu diiringi dengan peningkatan kesiapsiagaan menghadapi pandemi lainnya ataupun kejadian luar biasa.
Merujuk data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 dalam situs covid19.go.id, jumlah kasus baru Covid-19 pada 16 Februari 2021 mencapai 64.718 kasus, sedangkan pada 14 November 2022 hanya 4.408 kasus. Meski terjadi penurunan kasus secara signifikan, Indonesia tetap mesti waspada terhadap kemungkinan peningkatan kasus.
Kepala Bukti dan Analisis Satuan Pengamanan Kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Nirmal Kandel, dalam Gadjah Mada International Conference on Tropical Medicine, yang diikuti secara daring dari Jakarta, Selasa (15/11/2022), mengutarakan, setiap negara perlu meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi pandemi.
”Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi diperlukan untuk mencegah hal seperti ini (Covid-19) terjadi lagi. Apalagi risiko kesehatan terus meningkat akibat degradasi lingkungan, urbanisasi, dan perjalanan serta perdagangan internasional,” ujarnya.
Pada pandemi Covid-19, kerugian perdagangan internasional ditaksir sekitar 12 triliun dollar AS. Kondisi ini juga berdampak pada 274 juta orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan di 63 negara. Kesiapsiagaan diperlukan menghadapi potensi kejadian luar biasa seperti monkeypox atau cacar monyet, ebola, zika, demam tifoid, dan berbagai penyakit lainnya yang berpotensi menjadi wabah.
Kelemahan saat pandemi Covid-19 adalah kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan. Hal ini memicu berkurangnya kepercayaan terhadap pemangku kepentingan yang membuat sikap antivaksin dan penolakan lainnya berkembang.
”Deteksi dini terhadap potensi bencana kesehatan diperlukan. Untuk itu, butuh pendanaan dan fasilitas yang fleksibel agar dapat dialihkan secara mendadak dalam keadaan darurat," ungkapnya.
Selain itu, resiliensi fasilitas kesehatan, standar pelayanan tenaga kesehatan, ekologi, akses informasi, demografi penduduk, dan pemahaman masyarakat menjadi aspek yang tidak boleh luput dipersiapkan.
Berdasarkan data dynamic preparedness metric (DPM) 2021, indeks kesiapsiagaan global menghadapi bencana mencapai 55 persen. Menurut Nirmal, mayoritas negara memiliki kapasitas cukup dalam kesiapsiagaan. Namun, persentase yang tinggi juga tidak membuat suatu negara otomatis siaga menghadapi bencana.
Deteksi dini terhadap potensi bencana kesehatan diperlukan. Untuk itu, butuh pendanaan dan fasilitas yang fleksibel agar dapat dialihkan secara mendadak dalam keadaan darurat.
Untuk memperkuat arsitektur global dalam kesiagaan darurat kesehatan, respons, dan resiliensi (HEPR), WHO menyusun tiga poin penting yang perlu diperhatikan. ”Poin pertama adalah pemerintahan yang berupa kebijakan, kepemimpinan, dan akuntabilitas. Kedua, sistem seperti kapasitas, koordinasi, dan kolaborasi. Lalu pendanaan untuk kesehatan, kesiapsiagaan, dan respons,” tambahnya.
Pengajar epidemiologi penyakit menular di London School of Hygiene and Tropical Medicine, David Heymann mengungkapkan, kesadaran akan pentingnya deteksi dini dan menerapkan konsep one health merupakan langkah mitigasi yang baik. One health berperan dalam integrasi penanganan antara hewan, manusia, dan lingkungan untuk bekerja sama dalam upaya preventif.
Selain itu, pembentukan kekebalan kelompok memainkan peran penting. Kekebalan kelompok ini juga perlu ditunjang dengan vaksinasi untuk menghentikan penyebaran penyakit. Sebagai contoh, kasus rubela dan campak membutuhkan kekebalan kelompok sebesar 90 persen untuk menghentikan penyebaran.
”Pada dasarnya, setiap kebijakan tetap disesuaikan dengan kondisi wilayah dan budaya masing-masing. Di Jepang ada upaya penghentian ’dunia malam’ sementara dan mampu menekan angka penularan Covid-19,” ujarnya.
David menyimpulkan, ada tiga poin penting yang perlu disiapkan sebuah negara. Salah satunya adalah meningkatkan kesehatan penduduk, resiliensi fasilitas kesehatan, dan analisis didukung bukti kuat pada hal yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat.
Sementara peneliti pediatrik dari Universitas Gadjah Mada sekaligus Papuan Health and Community Development Foundation, Jeanne Rini Poespoprodjo, menyebutkan, fasilitas kesehatan jangan hanya fokus pada penanganan Covid-19. Tenaga kesehatan juga perlu dialihkan untuk menyelesaikan penyakit lainnya.
Peran masyarakat
Anggota staf pengajar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada, Erlin Erlina, dalam risetnya berjudul Women empowerment in strengthening healthcare delivery through digital literacy and resilience to pandemic preparedness and recovery menyebutkan, masyarakat berperan penting dalam edukasi dan aksi sosial saat dan pascapandemi.
”Membentuk resiliensi dapat dimulai dari masyarakat. Mereka dapat berperan mengedukasi sesamanya dan menyebarkan informasi bencana kesehatan,” ungkapnya saat memaparkan hasil penelitiannya.
Semangat masyarakat dalam keadaan terpuruk, lanjut Erlin, harus tetap dijaga dan disebarkan dalam skala lebih besar. Resiliensi di masyarakat merupakan investasi besar dalam kesiapsiagaan dan pemulihan pascapandemi.