Identifikasi Sumber Pencemar untuk Atasi Polusi Udara
Pencemaran udara berdampak terhadap perekonomian dan kesehatan masyarakat Indonesia. Penanganannya perlu dimulai dari identifikasi sumber pencemarannya terlebih dahulu.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mengidentifikasi sumber polusi udara secara akurat dan tepat menjadi langkah penting untuk dapat membersihkan udara di Indonesia. Hal ini lantas perlu diiringi dengan penyebaran informasi, kebijakan strategis, dan transisi energi.
”Mengidentifikasi sumber pencemaran udara dapat dilakukan dengan memasang alat pemantau kualitas udara dan mengambil sampel udara,” ujar Tjokorda Nirarta Samadhi, Country Director World Resource Institute (WRI) Indonesia, Jumat (11/11/2022), yang diikuti daring. Ia berbicara dalam Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim (COP27) di Mesir.
Merujuk pada laporan Kualitas Udara Dunia 2021 yang dirilis IQAir–penyedia teknologi untuk mengukur kualitas udara dunia, Indonesia berada pada urutan ke-17 dari negara tertinggi konsentrasi particulate matter (PM) 2,5 dengan skor 34,3 mikrogram per meter kubik. Padahal, ambang batas aman konsentrasi PM 2,5 yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hanya lima mikrogram per meter kubik.
Dalam udara terkandung partikel halus PM 2,5 yang berukuran 2,5 mikron atau lebih kecil. PM 2,5 mengandung komponen black carbon yang dapat memperburuk perubahan iklim. Oleh karena itu, semakin tinggi kandungan PM 2,5 semakin kuat juga pengaruhnya terhadap perubahan iklim.
Harapannya tidak hanya di Jakarta saja, tetapi juga akan diterapkan pada daerah lainnya. (Abdul Ghofar).
”Salah satu sumber masalah pencemaran udara adalah kendaraan transportasi seperti truk dan bus. Kedua kendaraan tersebut, sekitar 25 persen dari emisinya merupakan black carbon,” ujarnya.
Setelah sumber pencemar diketahui, solusi untuk mengatasinya bisa mulai dicari. Misalnya, pemerintah dapat menggunakan bus listrik sebagai alternatif dari bus yang menggunakan bahan bakar minya (BBM). Namun, sumber listrik untuk pengisian baterai bus hingga kini mayoritas yang tersedia masih bersumber dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara.
”Selain peralihan kendaraan, sumber pasokan pembangkit listrik juga perlu dikonversi dari yang tidak ramah lingkungan menjadi memanfaatkan energi terbarukan. Pada jangka panjang, fasilitas lain perlu berubah menjadi ramah lingkungan,” kata Tjokorda.
Terkait transisi energi menjadi ramah lingkungan ini, Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Perencanaan Strategis Yudo Dwinanda Priaadi menyampaikan, upaya ini, khususnya di Indonesia, masih menemui sejumlah tantangan. Tantangan tersebut, antara lain, dari aspek ekonomi dan teknologi, pendanaan, permintaan dan penawaran, serta tingkat komponen dalam negeri (Kompas.id, 8/11/2022).
Dampak kesehatan
Manajer Proyek Kualitas Udara dan Perkotaan World Resource Institute (WRI) Fadhli Zakiy menyebutkan, ketika pencemaran udara tidak diatasi, maka akan semakin membebani anggaran. Hal ini disebabkan pencemaran udara merupakan pemicu berbagai penyakit. Dengan demikian, beban negara untuk kesehatan juga akan semakin tinggi bila udara tercemar.
Data Global Burden Disease menunjukkan, pencemaran udara erat kaitannya dengan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), penyakit jantung, dan stunting pada anak. Selain itu, paparan PM 2,5 dalam waktu sebentar cukup untuk menyebabkan masalah pada mata, hidung, tenggorokan, iritasi paru, batuk, bersin, dan pilek.
Analisis Bank Dunia menemukan, kerugian akibat pencemaran udara sekitar 6,6 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) pada 2019. Sekitar 5.000 kematian di Jakarta dan penurunan angka harapan hidup sekitar 2,5 tahun juga berkaitan erat dengan pencemaran udara di Indonesia.
Dalam rilis resmi WHO pada 6 November 2022 menekankan, aspek kesehatan harus menjadi perhatian utama negosiasi penyelesaian masalah iklim dalam COP27. Hal ini mengingat peningkatan kualitas udara dan penurunan suhu akibat perubahan iklim dapat menyelamatkan sekitar 2,4 juta jiwa setiap tahunnya.
”Membersihkan udara membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Untuk jangka pendek, hal seperti green building, elektrifikasi (peralihan ke elektrik), bekerja dari rumah, dan pembelajaran jarak jauh dapat diterapkan,” ujarnya.
Sementara itu, proyek CA bertujuan agar dapat meningkatkan pemahaman mengenai kesadaran komunitas-komunitas akan sumber-sumber pencemaran dan membangun inisiatif bersama untuk menyelesaikan masalah pencemaran udara. Rencana proyeknya akan dilaksanakan di Indore (India), Jakarta (Indonesia), dan Nairobi (Kenya).
Juru Kampanye Urban Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Abdul Ghofar mengapresiasi langkah yang akan ditempuh CAC . Ia mengakui untuk mengatasi permasalahan lingkungan memerlukan kontribusi dari seluruh pihak.
”Segala inisiatif itu positif selama mencoba memahami persoalan dari hal yang paling mendasar. Harapannya tidak hanya di Jakarta saja, tetapi juga akan diterapkan pada daerah lainnya,” ujarnya.
Selain identifikasi sumber pencemaran, dorongan agar sumber pencemaran tersebut mengurangi emisinya juga menjadi hal yang perlu diperhatikan. Inisiatif transisi energi yang berkeadilan tidak boleh terjebak dalam peralihan menggunakan energi listrik saja.
”Jadi, tidak mendorong masyarakat menggunakan kendaraan listrik, tetapi beralih menggunakan transportasi publik,” ujarnya.