Menjadikan Indonesia sebagai ”Benchmark” Transisi Energi di Asia Tenggara
Indonesia, dengan strategi yang tepat akan menjadi pionir dan tolok ukur pengembangan energi terbarukan di tingkat kawasan. Kelebihan Indonesia adalah memiliki sumber daya dan pasar yang sama-sama besarnya.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong Unit 5 dan 6 di kawasan Tompaso, Tomohon, Sulawesi Utara, Senin (25/4/2022). PLTP yang dikelola PT Pertamina Geothermal Energy ini mampu memproduksi listrik sebesar 40 megawatt untuk memasok kebutuhan listrik di Sulawesi Utara dan Gorontalo.
Transisi energi menjadi isu yang mengemuka belakangan ini dan diperkirakan akan terus berlanjut seiring tuntutan internasional dan komitmen Indonesia beralih ke energi bersih. Apalagi, kekayaan alam yang melimpah untuk jenis energi terbarukan membuat Indonesia berpotensi memainkan peranan penting dalam transisi energi tingkat kawasan.
Akan tetapi, hal itu bukannya tanpa tantangan. Harga energi terbarukan di Indonesia saat ini masih relatif mahal. Di sisi lain, kebutuhan energi terus meningkat seiring bakal meningkatnya target pertumbuhan ekonomi, khususnya pascapandemi Covid-19.
Bagaimana peluang dan tantangan Indonesia dalam upaya menjadi negara maju dan tolok ukur di Asia Tenggara dalam transisi energi? Berikut petikan wawancara Kompas dengan Senior Partner and Managing Partner of McKinsey & Company Indonesia Khoon Tee Tan, Senin (31/10/2022), di Jakarta.
Bagaimana peluang Indonesia masuk lima besar negara dengan perekonomian terbesar di dunia?
Seluruh dunia sedang masuk recovery short-term (pemulihan jangka pendek) dan Indonesia mempunyai pemulihan yang cukup baik dan relatif lebih cepat dibandingkan negara-negara lain. Namun, untuk menjadi negara dengan perekonomian terbesar kelima di dunia tidaklah mudah. Apalagi, yang perlu pastikan adalah bukan sekadar ekonomi tumbuh semata, melainkan juga pertumbuhan yang inklusif, berkesinambungan, dan hijau. Juga bagaimana pemerataan ekonomi terwujud.
Dalam lima tahun ke depan, kami melihat dua hal. Pertama, biaya listrik dari energi terbarukan akan terus menurun. Kedua, semua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) ditargetkan (yang baru) sudah terbangun lima tahun dan setelah itu tak ada penambahan PLTU yang baru.
Kalau kita ingin tumbuh, maka harus dengan energi terbarukan, yang kelak lebih murah. Saat ini masih lebih mahal dibandingkan energi fosil, tetapi akan ada perubahan signifikan lima tahun ke depan. Mungkin awalnya moderat, tetapi setelah itu akan ada akselerasi. Saya agak optimistis, menuju 2045, Indonesia akan menjadi negara maju dengan pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.
Di tengah gencarnya pengembangan energi hijau, akan seperti apa nasib energi fosil?
Selama 10 tahun ke depan, pertumbuhan ekonomi masih akan ditopang bahan bakar fosil. Masih jadi tulang punggung ekonomi. Kita tidak bisa lari dari fosil. Namun, di sisi lain, kami melihat akan tumbuh bisnis-bisnis energi terbarukan yang sebenarnya berkontribnusi terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Ekonomi hijau ini adalah sesuatu yang riil bagi Indonesia.
Apa saja yang bisa mendukung itu?
Pertama adalah baterai. Indonesia punya 25 persen cadangan nikel di dunia. Ini nilai yang sangat tinggi. Nanti, baterai akan menjadi ”the new oil”. Indonesia bisa menjadi pemain dunia, maka itu harus dihilirisasi dan masuk sampai ke battery cell dan battery pack agar menciptakan nilai tambah yang luar biasa.
Kedua, kendaraan listrik (EV). Indonesia jangan hanya menjadi pasar, tetapi juga harus menjadi manufacturing hub. Investor perlu ditarik untuk berinvestasi di Indonesia bersama perusahaan-perusahaan lokal. Saya rasa itu akan terjadi.
Ketiga, nature based solution (NBS), yakni bagaimana Indonesia bisa menangkap karbon dari atmosfer memakai sistem alami. Indonesia punya sumber daya NBS kedua terbesar di dunia. Dari sisi biaya mungkin termurah kedua di dunia. Indonesia bisa menghasilkan NBS di bawah 3-4 dollar AS per ton, sedangkan negara-negara lain di atas 10 dollar AS per ton. Jadi, akan sangat kompetitif jika Indonesia ingin memasarkan carbon offset.
Terus terang, Indonesia telah melewatkan dua kesempatan. Yang pertama pada minyak dan gas bumi. Waktu dulu Indonesia di dalam OPEC, tetapi tidak menciptakan downstream market dan downstream trading hub di sini, hingga akhirnya yang menjadi trading hub untuk Asia Tenggara atau Asia ialah Singapura. Kemudian gas. Indonesia mungkin memasarkan LNG (gas alam cair) pertama di dunia, tetapi LNG trading hub tak ada di Indonesia.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Mobil listrik diisi dayanya di stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) di kantor PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Gambir, Jakarta, Selasa (18/10/2022). Tahun ini PLN menargetkan membangun 110 unit SPKLU untuk melengkapi 250 unit SPKLU yang telah terbangun tahun lalu. Infrastruktur itu diperlukan untuk mendukung percepatan pengembangan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai.
Bagaimana peran teknologi?
Perkembangan teknologi penting dan akan menentukan kecepatan transisi energi. Saat ini, biaya untuk baterai per kWh (kilowatt jam) sudah menurun hampir 90 persen dalam sekitar 10 tahun terakhir. Sebelum 2010, biaya untuk sebuah baterai itu sekitar 1.100 dollar AS per kWh, tetapi saat ini sudah berkisar 130-140 dollar AS per kWh. Ke depan, bakal terus menurun hingga di bawah 100 dollar AS per kWh.
Baterai sangat penting untuk kendaraan listrik dan juga sistem listrik karena ada intermitensi (ketergantungan cuaca) pada energi terbarukan (surya dan angin). Apabila biaya baterai bisa terus berkurang 10 tahun ke depan, keekonomian untuk energi terbarukan dan kendaraan listrik akan jauh lebih tinggi. Bisa kompetitif dengan bahan bakar fosil.
Apakah Indonesia akan menjadi ”benchmark” transisi energi di Asia Tenggara?
Ya, karena pasar energi terbesar di Asia Tenggara adalah di Indonesia dan masih terus berkembang. Kalau di sejumlah negara tetangga, pertumbuhan energinya lebih lambat dibandingkan Indonesia. Indonesia punya basis yang kuat. PDB-nya berkembang dan pertumbuhan energinya bertambah.
Sumber daya yang dimiliki Indonesia juga luar biasa besar dan bisa murah. Ada geotermal (panas bumi), nature based solution, nikel, dan lainnya. Di panggung dunia, Indonesia suatu saat bisa dipandang sebagai mercusuar global untuk pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.