Kiprah Wahidin Soedirohoesodo Diharapkan Menginspirasi Generasi Muda
Sebelum Indonesia merdeka, dokter Wahidin Soedirohoesodo yakin bahwa salah satu cara bebas dari penjajahan dan kemiskinan adalah melalui pendidikan. Ia pun berkelana untuk mengumpulkan dana pendidikan bagi bumiputera.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kisah pahlawan nasional dokter Wahidin Soedirohoesodo (1852-1917) diangkat dalam pameran bertajuk Kelana Bestari yang digelar Museum Kebangkitan Nasional di Jakarta. Peran Wahidin dalam menginisiasi kebangkitan nasional diharapkan menjadi inspirasi bagi generasi muda.
Pameran Kelana Bestari tersebut diselenggarakan secara luring pada 10 November hingga 3 Desember 2022. Pameran dibuka bertepatan dengan Hari Pahlawan.
Menurut Pelaksana tugas Kepala Museum Kebangkitan Nasional Pustanto, pemikiran Wahidin bahwa pendidikan dapat melepas belenggu penjajahan kala itu melampaui zamannya. Pemikiran itu membuka wawasan kebangsaan di kalangan pemuda Stovia (sekolah kedokteran bagi bumiputera). Hasilnya, para pelajar Stovia membentuk Budi Utomo, organisasi modern pertama di Hindia Belanda pada 1908. Budi Utomo menggerakkan para pemuda untuk mencapai kemerdekaan.
“Saya harap hal ini bisa membuka wawasan kita bersama. Tentu rohnya (tentang semangat kebangsaan pemuda) sama, namun cara kita menggarapnya (di masa kini) bisa berbeda,” kata Pustanto di Jakarta, Kamis (10/11/2022).
Menurut Direktur Pelindungan Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Irini Dewi Wanti, semangat dan gerakan pemuda Stovia dinilai masih relevan hingga sekarang. Ia pun mendorong para pemuda dan komunitas untuk mengisi kemerdekaan Indonesia secara bermakna. Di sisi lain, pemerintah bakal berperan sebagai fasilitator.
Pihak museum pun menyatakan akan memberi ruang bagi anak muda atau komunitas untuk berkarya. Pameran Kelana Bestari merupakan hasil kolaborasi antara Museum Kebangkitan Nasional dengan Serrum, komunitas yang bergerak di bidang seni dan pendidikan.
Menurut perwakilan Serrum, Wahyudi Wacil, penting untuk mengemas sejarah secara artistik agar publik tertarik ke museum. Hal ini bisa dilakukan bila museum bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk komunitas.
Adapun pameran Kelana Bestari diselenggarakan dengan sejumlah kegiatan lain, seperti diskusi sejarah secara daring, lokakarya membatik, membuat gerabah, dan menggambar. Lokakarya itu hasil kerja sama pihak Museum Kebangkitan Nasional dengan Museum Batik Indonesia, Museum Seni Rupa dan Keramik, serta Galeri Nasional.
Pemikiran Wahidin bahwa pendidikan dapat melepas belenggu penjajahan tak lepas dari pengalamannya mengenyam pendidikan. Saat bersekolah di Yogyakarta, Wahidin dinilai pandai oleh gurunya sehingga ia disarankan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dokter Jawa di Batavia. Wahidin lulus dalam waktu 22 bulan, sementara umumnya orang butuh waktu tiga tahun untuk lulus.
Setelahnya, ia menjadi wakil pengajar di perguruan tingginya dan lanjut menjadi dokter pribadi Pakualam. Ia juga membuka praktik bagi masyarakat. Warga miskin tidak diminta bayaran, sementara warga yang kaya juga tidak dimintai bayaran tinggi.
Pada 1900, Wahidin bergabung dengan surat kabar Retnodhoemilah yang berbasis di Yogyakarta. Ia banyak menulis artikel tentang pentingnya pendidikan untuk meningkatkan kesejahteraan. ia juga menilai pendidikan dapat membebaskan publik dari penjajahan. Wahidin berinisiatif mengumpulkan dana pendidikan agar bumiputera bisa sekolah.
Semangat dan gerakan pemuda Stovia dinilai masih relevan hingga sekarang. Ia pun mendorong para pemuda dan komunitas untuk mengisi kemerdekaan Indonesia secara bermakna. Di sisi lain, pemerintah bakal berperan sebagai fasilitator.
Wahidin lantas berkelana keliling Jawa untuk menemui para bangsawan. Ia meminta bangsawan untuk memberi dana pendidikan atau Studie Fonds. Upaya itu tidak selalu berjalan mulus. Selain diusir dan ditolak sejumlah bangsawan, upaya Wahidin dianggap berbahaya oleh Belanda. Tabungan pribadi Wahidin untuk keliling Jawa pun mulai habis.
Upaya Wahidin menemui titik terang ketika bertemu dengan pemuda-pemuda Stovia. Pertemuan itu berbuah menjadi organisasi Budi Utomo.
Adapun dana pendidikan yang digagas Wahidin akhirnya terwujud pada 25 Oktober 1913 melalui badan beasiswa Darmoworo. Wahidin meninggal dunia empat tahun setelah Darmoworo berdiri. Ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 6 November 1973.