Ketika Wapres Amin Tabur Bunga dan Kenangan bagi Para Kusuma Bangsa
Pertempuran Surabaya 10 November 1945 merupakan peristiwa yang selalu dikenang dalam perjalanan bangsa Indonesia merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Momentum historis itu, pada Kamis (10/11) ini, kembali dikenang.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
”Selama banteng-banteng Indonesia masih berdarah merah, yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, selama itu tidak akan suka kita membawa bendera putih untuk menyerah kepada siapa pun juga,” kata Bung Tomo saat berpidato mengobarkan semangat di tengah pertempuran pada masa revolusi kemerdekaan dulu.
Berkat perjuangan para pendahulu itulah, Indonesia berhasil merdeka dan mempertahankan kemerdekaannya hingga kini dan—semoga—hingga sepanjang masa. Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya pun terus dikenang sebagai Hari Pahlawan yang setiap tahun diperingati dengan khidmat.
Bertempat di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (10/11/2022), Wakil Presiden Ma’ruf Amin memimpin Upacara Ziarah Nasional dalam rangka peringatan Hari Pahlawan tahun 2022. Sementara itu, Presiden Joko Widodo tengah melakukan kunjungan luar negeri, yakni ke Phnom Penh, Kamboja.
Setiba di lokasi upacara, Wapres Amin yang didampingi oleh Ibu Wury Ma’ruf Amin disambut Menteri Sosial Tri Rismaharini dan Kepala Staf Komando Garnisun Tetap I/Jakarta Rano Maxim Adolf Tilaar. Tampak hadir pula Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
Rangkaian upacara dimulai dengan penghormatan kepada para pahlawan yang dipimpin oleh komandan upacara. Kemudian dilanjutkan dengan mengenang Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Selanjutnya, mengheningkan cipta yang dipimpin Wapres, dilanjutkan dengan peletakan karangan bunga.
Selanjutnya, mengheningkan cipta yang dipimpin Wapres, dilanjutkan dengan peletakan karangan bunga. Adapun pembacaan doa untuk arwah para pahlawan dipimpin oleh Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi.
”Bimbinglah kami agar menjadi hamba yang tak lupa diri. Tuntunlah kami menuju jalan yang kau ridai. Kuatkan tekad kami untuk selalu berbakti pada negeri, bumi pertiwi, yang kami cintai. Ingatkan kami untuk selalu berterima kasih kepada pendahulu kami yang berjuang tanpa pamrih, yang berkorban jiwa, raga, dan harta demi kemuliaan dan kejayaan negeri tercinta,” kata Zainut.
Aspek perbedaan, keberagaman, dan kesatuan pun tercakup dalam doa yang didaraskan Zainut. ”Wahai Tuhan yang menciptakan perbedaan. Wahai Tuhan yang menakdirkan keberagaman. Eratkan hati kami dalam semangat kesatuan, satukan langkah kami dalam harmoni kebersamaan,” ujarnya.
Di dalam doanya, Zainut juga meminta agar generasi sekarang kelak juga dibanggakan oleh anak cucu yang akan memandangnya sebagai teladan. ”Jauhkan kami dari pertikaian, hindarkan kami dari segala macam pertengkaran,” katanya.
Zainut pun melantunkan doa dan harapannya, ”Wahai Tuhan penguasa seluruh alam, izinkan kami membangun peradaban, izinkan kami mewariskan kebahagiaan, anugerahi semangat para pahlawan. Beri kami kekuatan menegakkan kebenaran, melangkah pasti menyongsong masa depan.”
Di bagian akhir upacara, Wapres Amin dan Ibu Wury Ma’ruf Amin menaburkan bunga di beberapa pusara tokoh nasional seperti BJ Habibie, Ainun Habibie, Ani Yudhoyono, Umar Wirahadikusumah, Soedarmono, Adam Malik, para Pahlawan Revolusi, serta para Pahlawan Pangkat Terendah dan Pahlawan Tidak Dikenal.
Pertempuran Surabaya
Presiden pertama RI Ir Soekarno, dalam otobiografi yang ditulis Cindy Adams berjudul Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, menggambarkan suasana pertempuran 10 November di Surabaya yang disebutnya sebagai pertempuran sengit. Heroisme para pejuang digambarkannya dengan, ”Bila seorang prajurit kami tertembak, dua datang untuk menggantikan mereka. Dua gugur, empat orang maju sebagai gantinya.”
Bung Karno melanjutkan pengisahannya bahwa hanya mereka yang berada di garis depan memiliki senjata. Saat lelah, mereka pun mundur dan menyerahkan senjatanya kepada pasukan di belakang yang bergerak maju menggantikannya. ”Siaran radio yang menyerukan kepada penduduk Tionghoa untuk membentuk pasukan pertahanan mereka sangat membantu,” kata Bung Karno di bukunya.
Gambaran penderitaan di saat perang mempertahankan kemerdekaan pun terabadikan dalam memori Bung Karno ketika dia mengisahkan para penduduk Surabaya yang mulai mengungsi. ”Di jalan-jalan perempuan dan anak-anak dibom, orang-orang yang tua dihujani tembakan. Jalan ke luar kota tertutup oleh timbunan mayat dan mereka tidak bisa dikuburkan karena hujan bom terus berlangsung selama berhari-hari,” ujar Bung Karno.
Dari pertumpahan darah ini, di mana banyak saudara-saudaraku menjadi korban, terbukti bahwa Indonesia tidak pernah menyerah. Kami tidak pernah mau mengalah terhadap kolonialisme. TIDAK! (Bung Karno)
Dibakar oleh semangat yang tak kunjung padam untuk kemerdekaan, kata Bung Karno, penduduk Surabaya bertahan dengan gagah berani hingga 30 November. ”Dari pertumpahan darah ini, di mana banyak saudara-saudaraku menjadi korban, terbukti bahwa Indonesia tidak pernah menyerah. Kami tidak pernah mau mengalah terhadap kolonialisme. TIDAK!” kata Bung Karno yang gelora semangatnya tergambar dengan huruf kapital di akhir seruannya.