Babat Hutan untuk "Food Estate" Ikut Memicu Krisis Iklim
”Food estate” dinilai merupakan solusi bermasalah krisis pangan, bahkan menjadi penyumbang krisis iklim. Setidaknya 760 hektar hutan hujan diubah menjadi kebun singkong, sedangkan 16.000 hektar ladang jadi cetak sawah.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
KUALA KURUN, KOMPAS — Program food estate di Kalimantan Tengah dinilai jadi penyumbang krisis iklim karena pembukaan hutan yang berujung pada kerusakan alam. Setidaknya kawasan hutan seluas 760 hektar dibuka dan menjadi kebun singkong.
Pada Kamis (10/11/2022), sejumlah aktivis lingkungan dari Greenpeace Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Save Our Borneo (SOB), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Palangkaraya menggelar aksi untuk menyatakan sikapnya pada program strategis nasional di Indonesia.
Aksi itu dilakukan dengan membentangkan sebuah spanduk berukuran 30 meter x 15 meter yang di dalam spanduk bertuliskan ”Food Estate Feeding Climate Crisis” yang dibentangkan di tengah lahan kebun singkong, di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Wilayah aksi itu merupakan lokasi penanaman program food estate atau lumbung pangan nasional dengan komoditas singkong. Untuk ke lokasi dari Kota Palangkaraya menempuh jarak lebih kurang 120 kilometer. Sebelum memasuki kawasan lumbung pangan itu, pengunjung lokasi harus melewati jalan perkebunan kelapa sawit.
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas mengungkapkan, aksi ini dilakukan untuk menyampaikan pesan kepada banyak pihak mulai dari pemerintah, pemimpin dunia, dan tentunya masyarakat bahwa proyek lumbung pangan ini merupakan bagian dari perusakan hutan. Kawasan yang sudah dibuka seluas 760 hektar untuk kebun singkong itu sebelumnya merupakan hutan hujan tropis yang mengikat jutaan karbon.
”Pesan ini kami sampaikan dari lokasi food estate yang gagal ini, khususnya pemimpin-pemimpin dunia yang bakal datang ke Bali untuk mengikuti G20,” kata Arie Rompas.
Food estate, lanjut Arie, dengan model skala luas ini membuka kawasan hutan yang sebelumnya merupakan sumber pangan dan melepas banyak karbon ke udara. Hal itu membuat pihaknya mengambil kesimpulan bahwa food estate bukan merupakan solusi krisis pangan seperti tujuannya, melainkan penyumbang krisis iklim.
”Program ini terjadi juga karena kepentingan banyak elite politik yang mendapatkan keuntungan dari krisis iklim. Food estate yang ada di seluruh Indonesia itu mengancam iklim, masyarakat adat, dan biodiversitas, proyek ini harus dihentikan,” tutur Arie.
Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia Syahrul Fitra mengungkapkan, pihaknya menghitung berapa banyak karbon yang dilepas ke udara dari hasil analisis karbon. Dari aktivitas pembersihan lahan 760 hektar hutan dengan segala tegakannya di kawasan singkong itu, didapatkan hasil setidaknya 283.208,93 ton CO2e (Carbon dioxide equivalent) dilepas ke udara sehingga turut menyebabkan pemanasan global. Jumlah itu hanya tahap awal ancaman nyata ketika 31.000 hektar hutan bakal dibuka dan ditukar untuk kebun singkong yang jadi target lumbung pangan.
”Proyek ini menjadi penyumbang kian panasnya suhu bumi dan perlu dilihat bahwa sekitar kawasan kebun singkong ini merupakan habitat orangutan,” kata Syahrul
Pantauan Kompas di lokasi, hamparan kebun singkong ditanami tak merata masih begitu banyak bagian tanah yang belum ditanami. Tanah yang sebelumnya ditumbuhi berbagai jenis pohon kini terlihat gersang dan berubah menjadi kerangas atau tanah berpasir putih.
Ini sangat tidak cocok (untuk singkong), tanah seperti ini cocoknya untuk konservasi, kalau untuk tanaman, tidak memberikan hasil. (Siti Maimunah)
Di beberapa bagian, petak-petak singkong tumbuh kerdil meski program ini sudah berjalan lebih dari dua tahun. Bahkan, terlihat singkong yang tumbuh di atas tanah, bukan di bagian dalam.
”Jenis yang digunakan yang bisa kami lihat di lokasi hanya jenis singkong casicarva. Singkong jenis ini tidak bisa dikonsumsi langsung, harus melalui proses industri,” kata Syahrul.
Sebelumnya, Siti Maimunah, dosen dan peneliti dari Institut Pertanian Yogyakarta, Senin (29/8/2022), di Palangkaraya, mengatakan, lokasi ini sebenarnya tidak cocok untuk tanaman pangan karena tanah berpasir atau biasa disebut kerangas. ”Ini sangat tidak cocok (untuk singkong), tanah seperti ini cocoknya untuk konservasi, kalau untuk tanaman tidak memberikan hasil,” ucapnya.
Sekretaris Daerah Kabupaten Gunung Mas Yansiterson saat dihubungi melalui telepon pintar enggan berkomentar. “No comment, karena saya tidak terlibat banyak di dalamnya,” ujar Yansiterson.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (TPHP) Provinsi Kalimantan Tengah Sunarti pun mengungkapkan hal yang sama. ”Kami sudah lost contact,” ujarnya.
Menanggapi pernyataan para aktivis lingkungan, Sunarti mengaku tidak setuju karena proses panjang yang dilakukan sebelum membuka lahan, khususnya program food estate dengan komoditas padi.
Sunarti menjelaskan, luas program ekstensifikasi atau cetak sawah baru di Kalteng mencapai 16.000 hektar dan baru lebih kurang 5.000 hektar yang dimanfaatkan karena tinggi muka air di atas 20 sentimeter. ”Ini juga terjadi karena Kementerian PUPR belum membangun saluran irigasi,” kata Sunarti.
Kompas pun berusaha mengonfirmasi hal tersebut ke kantor Badan Cadangan Logistik Strategis (BCLS) Kementerian Pertahanan yang merupakan leading sektor program singkong di Kalteng. Namun, sejak dua hari belakangan, tidak ada satu petugas pun muncul di kantor yang terletak di dalam kawasan kantor Dinas TPHP Provinsi Kalteng.