Walhi: Pidato Wapres Belum Tunjukkan Dampak Krisis Iklim
Pidato Wakil Presiden Ma'ruf Amin dalam COP-27 Perubahan Iklim dinilai masih terjebak pada skema solusi palsu iklim. Pidato Wapres juga tidak menyinggung dampak krisis iklim yang dialami masyarakat Indonesia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai pidato Wakil Presiden Ma‘ruf Amin saat menghadiri Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-27 di Sharm El Sheikh, Mesir, masih terjebak pada skema solusi palsu iklim. Indonesia juga seharusnya menyinggung berbagai kondisi akibat dampak dari krisis iklim yang terjadi di berbagai wilayah.
Kepala Divisi Kajian dan Hukum Lingkungan Puspa Dewi menyampaikan, pihaknya menyayangkan pidato Wapres lebih banyak menekankan tentang upaya atau skema business as usual dalam mengatasi krisis iklim. Pidato Wapres juga tidak menyinggung kondisi dan situasi dari krisis iklim yang dialami masyarakat Indonesia.
”Pemerintah Indonesia masih mengedepankan ambisinya untuk target penurunan emisi menjadi 31,89 persen dengan usaha sendiri dan 43,20 persen dengan bantuan internasional. Ini merupakan suatu ambisi yang tidak menjawab persoalan yang dialami rakyat Indonesia,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Rabu (9/11/2022).
Kami melihat pidato Wapres masih terjebak dengan menyampaikan solusi iklim palsu yang tidak berkelanjutan.
Indonesia telah menyampaikan pembaruan target penurunan emisi dalam dokumen kontribusi nasional (NDC) pada September. Indonesia meningkatkan target penurunan emisi dari 29 persen menjadi 31,89 persen dengan upaya sendiri. Sementara target penurunan emisi dengan dukungan internasional juga ditingkatkan dari 41 persen ke 43,20 persen.
Menurut Dewi, pembaruan NDC Indonesia perlu disoroti karena basis dari peningkatan angka target penurunan emisi ini tidak jelas. Bahkan, target ini juga dipandang tidak merujuk pada peta jalan penurunan emisi secara adil dan berkelanjutan.
Dewi juga menyoroti tentang pidato Wapres dalam COP 27 terkait dengan pencapaian target di sektor kehutanan dan tata guna lahan lainnya (FoLU Net Sink) 2030. Dalam pencapaian target ini, pemerintah diingatkan untuk tidak terjebak dalam skema carbon offset (pengimbangan karbon) yang hanya menguntungkan salah satu pihak.
”FoLU Net Sink akan semakin berpotensi memperlebar deforestasi bila masih menggunakan skema offset. Seharusnya, upaya ini diletakkan pada skema yang sejalan dengan demokratisasi dan hak asasi manusia atau meletakan rakyat sebagai subyeknya,” ujarnya.
Upaya penurunan emisi Indonesia juga dipandang masih membebankan pada sektor kehutanan. Padahal, masih banyak sektor lainnya yang juga menjadi target tetapi belum dioptimalkan dalam upaya penurunan emisi, termasuk dari aspek transisi energi.
”Dengan semua kondisi ini, kami melihat pidato Wapres masih terjebak dengan menyampaikan solusi iklim palsu yang tidak berkelanjutan. Solusi ini juga masih berdampak terhadap ancaman kerusakan lingkungan dan perampasan hak korban krisis iklim,” tuturnya.
Manajer Kampanye sekaligus Delegasi COP-27 Walhi Parid Ridwanuddin mengatakan, pidato Wapres seharusnya juga menyinggung dampak krisis iklim bagi Indonesia khususnya masyarakat di akar rumput. Bahkan, masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil harus menghadapi ancaman dari dampak krisis iklim seperti abrasi dan gelombang pasang.
”Kondisi ini banyak ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia dengan peningkatan yang signifikan. Selama empat tahun terakhir atau 2017-2020, Walhi mencatat terdapat lebih dari 5.400 desa-desa pesisir yang tenggelam akibat kenaikan air laut,” ujarnya.
Posisi Indonesia
Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi Fanny Tri Jambore menyatakan, Indonesia yang juga memegang presidensi G20 seharusnya memiliki posisi yang kuat dalam COP27. Namun, Fanny menyayangkan tiga tema utama pertemuan G20 juga tidak menunjukkan keberpihakan negara-negara G20 dalam upaya mengatasi krisis iklim.
Sebagai contoh, tema kesehatan global yang dibahas dalam G20 tidak mungkin dapat optimal apabila negara maju masih diperbolehkan melepaskan emisi dan melakukan kegiatan ekstraksi sumber daya alam. Sebab, semua upaya ini akan tetap menghasilkan kerusakan lingkungan dan mendorong penurunan kualitas kesehatan masyarakat.
”Jadi, kami tidak melihat keberanian Indonesia dalam G20 apabila memang diniatkan untuk mendorong perbincangan yang lebih serius dalam mengatasi krisis iklim,” tuturnya.
Sebelumnya, dalam pidato saat menghadiri COP 27, Wapres mengingatkan dunia tengah menghadapi tiga krisis baik perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Kondisi ini sangat mendesak untuk diatasi dengan upaya kolaborasi dari semua pihak.
Wapres juga menyampaikan tentang upaya yang sudah dan terus dilakukan Indonesia dalam mengatasi krisis iklim. Upaya tersebut, antara lain, memperbarui NDC, perluasan konservasi, penerapan pajak karbon, pencapaian target FoLU Net Sink 2030, pengembangan ekosistem kendaraan listrik, hingga inisiasi program biodiesel B40 (Kompas, 8/11/2022).
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar yang hadir dalam COP-27 juga menyampaikan berbagai aksi nyata Indonesia dalam mengatasi krisis iklim. Di sektor kehutanan, Indonesia telah menerima pembayaran berbasis hasil (RBP) dari Pendanaan Iklim Hijau (GCF) dan Program Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan(FCPF Carbon). Upaya ini termasuk komitmen baru dengan Kerajaan Norwegia dan BioCF Carbon Fund.