Rehabilitasi Mangrove di Sumut Terkendala Anggaran, Alih Fungsi Masih Masif
Rehabilitasi hutan mangrove terkendala keterbatasan anggaran, perambahan, dan alih fungsi. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove menargetkan rehabilitasi 13.357 hektar di Sumut pada 2022, realisasinya hanya 373 hektar.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Rehabilitasi hutan mangrove masih terkendala keterbatasan anggaran, banyaknya lahan yang tidak bersih secara hukum, dan meluasnya perambahan dan alih fungsi. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove menargetkan rehabilitasi 13.357 hektar mangrove di Sumut pada 2022, tetapi realisasinya hanya 373 hektar.
”Anggaran tahun 2022 yang tersedia untuk rehabilitasi mangrove di Sumut Rp 4,3 miliar untuk 373 hektar,” kata Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono saat meninjau rehabilitasi mangrove di Desa Tanjung Rejo, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Selasa (8/11/2022).
Di Sumatera Utara, hutan mangrove sudah banyak yang rusak karena dialihfungsikan menjadi tambak ikan dan perkebunan sawit dalam belasan tahun terakhir. Tanaman bakau juga banyak yang ditebang untuk membuat arang. Alih fungsi hutan mangrove tidak hanya dilakukan masyarakat, tetapi juga perusahaan perkebunan dan tambak.
Kerusakan mangrove juga disebabkan oleh abrasi yang semakin meluas karena rusaknya mangrove di pinggir pantai dan pengerukan pasir yang masif. ”Informasi yang kami dapat, pasir dikeruk untuk reklamasi pulau di negara tetangga dan untuk pembangunan bandara,” kata Hartono.
Menurut data BRGM, luas hutan mangrove yang tersisa di Sumut saat ini 57.490 hektar. Sementara mangrove potensial atau yang rusak sebanyak 29.417 hektar. Mangrove potensial ini terdiri dari tanah timbul (16.883 hektar), tambak (9.418 hektar), lahan terbuka (2.891 hektar), mangrove terabrasi (153 hektar), dan area terabrasi (72 hektar).
Percepatan rehabilitas
BRGM pun menyusun target indikatif percepatan rehabilitasi mangrove di Sumut dengan total 50.674 hektar pada 2021-2024. Ekosistem mangrove yang ada saat ini pun perlu direhabilitasi karena terdiri dari mangrove jarang dan mangrove sedang.
Hartono menyebut, BRGM telah merealisasikan anggaran Rp 97 miliar untuk rehabilitasi mangrove seluas 7.400 hektar pada 2021 di Sumut. Kemudian pada 2022 sebesar Rp 4,3 miliar untuk rehabilitasi 373 hektar.
BRGM pun menyebut membutuhkan penguatan anggaran untuk Sumut pada 2023 dan 2024 untuk merehabilitasi 7.900 hektar hutan mangrove. ”Anggaran yang akan disediakan untuk Sumut lebih dari Rp 150 miliar. Ini tidak hanya untuk penanaman mangrove, tetapi juga untuk pemberdayaan masyarakat,” katanya.
Hartono mengatakan, prinsip rehabilitasi mengrove yang dilakukan harus sejalan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat. ”Kalau tidak, mangrove yang ditanam pasti akan rusak lagi. Masyarakat harus mendapat fungsi konservasi sekaligus ekonomi,” katanya.
Oleh karena itu, rehabilitasi pun dilakukan dengan konsep silvofishery dengan dua model, yakni tambak tumpang sari (empang parit) dan tambak selang-seling.
Hasil tangkapan nelayan semakin lama semakin berkurang. Udang dan kepiting pun sangat sulit didapat karena mangrove sudah rusak.
Di Desa Tanjung Rejo, tampak hutan mangrove sudah sangat banyak dialihfungsikan menjadi tambak ikan. Beberapa di antaranya pun mulai direhabilitasi dengan model empang parit. Tumbuhan jenis bakau dan api-api ditanam di tengah tambak dan disisakan lahan sekitar 20 persen sebagai empang di sekelilingnya.
Miswat (50), Ketua Kelompok Tani Hutan Pantai Panglima, di Desa Tanjung Rejo, mengatakan, masyarakat mulai menyadari dampak dari kerusakan hutan mangrove yang cukup masif di desa mereka. ”Hasil tangkapan nelayan semakin lama semakin berkurang. Udang dan kepiting pun sangat sulit didapat karena mangrove sudah rusak,” katanya.
Miswat menyebut kelompok tani hutan yang mereka kelola memiliki 20 anggota dan mulai menerapkan sistem empang parit. Mereka juga membuka saluran dari dan menuju laut sehingga berbagai jenis udang dan kepiting tetap masuk secara alami ke tambak mereka. Selain itu, mereka juga menambahkan bibit udang dan kepiting ke tambak.
”Dari kepiting saja, setiap anggota kami rata-rata bisa mendapat Rp 3 juta per bulan. Ini selain hasil dari budidaya ikan yang kami panen sekali enam bulan,” kata Miswat.
Tantangan terbesar dalam rehabilitasi mangrove, kata Miswat, adalah bagaimana meyakinkan bahwa kelestarian mangrove bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Masyarakat lebih suka menebang mangrove untuk dijual sebagai arang atau membuat tambak ikan secara penuh.
Kepala Dinas Kehutanan Sumut Herianto menyebut, penegakan hukum juga dilakukan terhadap para perambah hutan mangrove seperti yang terjadi di kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading di Kabupaten Langkat.
Herianto menyebut, Kejaksaan Tinggi sudah memproses hukum kasus perambahan hutan mengrove yang dialihfungsikan menjadi kebun sawit itu.