Hutan mangrove di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara, yang rusak akibat dieksploitasi kini hijau dan lestari. Warga menyadari manfaat mangrove dan memakai sebagai pewarna batik.
Oleh
Nikson Sinaga
·4 menit baca
Hutan mangrove di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, yang rusak akibat dieksploitasi kini hijau dan lestari. Belakangan warga menyadari manfaat mangrove dan memakai sebagai pewarna batik.
Suasana di Balai Batik Tanjung Rejo di pesisir timur Deli Serdang terasa sejuk, Sabtu (12/10/2019) pagi. Ketua Kelompok Batik Mangrove Lestari Hamida (35) tiba membawa karung berisi potongan batang mangrove. Ia bersiap merebus batang tanaman itu untuk dijadikan pewarna alami batik.
”Setelah menyadari kerusakan ekosistem mangrove, kami sangat hati-hati. Batang tanaman mangrove kami ambil dari cabang tanaman yang sudah berusia di atas lima tahun atau yang sudah mati secara alami,” katanya.
Membuat batik mangrove menjadi cara warga memanfaatkan hasil hutan tanpa menebang sehingga ekosistem terjaga. Desa tersebut mendirikan Balai Batik Tanjung Rejo dengan bantuan Yayasan Gajah Sumatera (Yagasu), dana desa, dan program kampung keluarga berencana.
Saat ini ada 12 anggota kelompok yang aktif membatik setiap hari. Selain itu, ada 20 ibu rumah tangga sedang belajar membatik. Hamida mengatakan, awalnya tidak ada satu pun warga desa yang pernah membatik. Sebagian besar warga adalah nelayan yang mencari kepiting dan jenis ikan lain di hutan mangrove. Sebelum tahun 2000, saat hutan mangrove masih bagus, nelayan bisa mendapat 10-15 kilogram kepiting per hari. Saat itu harganya Rp 25.000 per kilogram.
Kehadiran sejumlah pabrik arang membuat hutan mangrove dibabat. Warga menebang mangrove dan menjual ke pabrik arang. Pemodal dari luar desa membentengi paluh (jalur air pasang surut dari laut) sehingga tidak ada jalur keluar masuk air ke hutan mangrove. Setelah hutan mangrove kering dan tanaman dibuat arang, lahan dialihfungsikan menjadi kebun sawit atau tambak ikan.
Saat lebih dari setengah hutan mangrove rusak, warga merasakan dampaknya. Pantai terabrasi hingga 100 meter karena tak ada mangrove sebagai benteng penahan ombak. Pendapatan nelayan anjlok karena kepiting yang didapat hanya 1-2 kilogram per hari meski harga naik menjadi Rp 40.000 per kilogram. Hal serupa terjadi di desa-desa di sepanjang pesisir timur Sumut.
Tahun 2010, masyarakat bersama Yagasu membibitkan mangrove lalu menanam di bekas hutan yang gundul. Warga juga membuka paluh yang ditimbun. Sebagian tambak ikan ditanami kembali dengan tanaman mangrove. ”Setelah program penanaman berjalan, kami menyadari, masyarakat harus mendapat hasil dari hutan mangrove. Kami pun mencari cara mendapat hasil ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian mangrove,” kata Hamida.
Kemudian dicoba membuat batik dengan pewarna dari mangrove. Pada 2014, Yagasu memfasilitasi warga Tanjung Rejo dan beberapa desa pesisir untuk pelatihan membatik di Pekalongan, Jawa Tengah. Setelah itu, warga ikut pelatihan intensif di Kantor Yagasu Medan dari pembatik yang didatangkan dari Pekalongan.
Dari percobaan diketahui, warna semakin cerah jika diambil dari cabang yang lebih tinggi.
Hamida mulai membatik dengan pewarna ekstrak batang mangrove. ”Namun, hasilnya tidak diminati pasar karena warnanya monoton dan suram, coklat gelap,” ucapnya. Ia terus mencari variasi warna berdasarkan jenis tanaman, ragam umur tanaman, dan bagian tanaman. Dari percobaan diketahui, warna semakin cerah jika diambil dari cabang yang lebih tinggi.
Untuk mendapat variasi warna, warga memakai ekstrak secang untuk warna merah dan indigo untuk warna biru. Hasilnya, batik semakin diminati pasar. Yagasu membantu penjualan ke luar kota hingga luar negeri. Beberapa organisasi pemerintahan membeli batik mangrove untuk dijadikan seragam.
Batik mangrove dijual Rp 300.000-Rp 2,5 juta per lembar. Balai Batik Tanjung Rejo kini rata-rata menjual 2-5 lembar kain per minggu. Produksi meningkat jika ada kunjungan atau pesanan partai besar. Menurut Suliana (29), anggota Balai Batik Tanjung Rejo, tambahan penghasilan dari membatik sangat membantu. ”Saya biasanya mengobrol dan menonton televisi sepulang mengajar. Sekarang membatik,” katanya.
Batik juga dibuat kerajinan seperti sandal, tas kecil, dan gantungan kunci. Anggota kelompok juga membuat bermacam jenis makanan dari mangrove, seperti keripik dari daun jeruju, sirup dan jus buah berembang, dodol, selai, tepung, permen, dan kue kering. Namun, makanan itu belum bisa dipasarkan secara luas karena belum mendapat izin edar.
Ketua Kelompok Tani Hutan Bakti Nyata Samsul K (35), yang juga suami Hamida, mengatakan, peningkatan penghasilan dari hutan mangrove membuat masyarakat semakin sadar untuk menjaga kelestarian lingkungan. Mereka kini berencana membuat wisata mangrove.
Pemberdayaan masyarakat
Menurut Manajer Penelitian dan Pemonitoran Yagasu Grace Yanti Pandjaitan, peningkatan ekonomi masyarakat merupakan benteng terbaik untuk menyelamatkan ekosistem mangrove.
Program pemberdayaan masyarakat itu merupakan tindak lanjut dari pemulihan ekosistem.
Grace mengatakan, Yagasu bersama masyarakat pesisir telah merestorasi 5.578 hektar hutan mangrove di Sumut dan Aceh pada periode 2011-2018. Sebagian besar kerusakan hutan mangrove karena alih fungsi menjadi kebun sawit dan tambak ikan. Program pemberdayaan masyarakat itu merupakan tindak lanjut dari pemulihan ekosistem.
Penyelamatan hutan mangrove, ujar Grace, tidak hanya menyelamatkan tanamannya, tetapi juga spesies yang sangat beragam di ekosistem itu, seperti ikan, kepiting, ubur-ubur, reptil, dan burung. ”Hutan mangrove juga menjadi penyimpan karbon,” katanya.