Untuk memasok 107 unit PLTU yang menerapkan ”co-firing” 10 persen, dibutuhkan sebanyak 10,23 juta ton biomassa dari pelet kayu per tahun.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan biomassa melalui metode pembakaran bersama atau co-firing dengan batubara di pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU menjadi salah satu upaya Indonesia dalam mengejar target bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen pada 2025. Namun, pemenuhan bahan baku co-firing tersebut diupaykan agar tidak malah menyebabkan perambahan hutan.
Per Mei 2022, penerapan co-firing biomassa telah dilakukan di 33 lokasi PLTU. Pemerintah berencana memperluasnya ke 52 lokasi dengan 107 unit PLTU di seluruh Indonesia per 2025. Penerapan co-firing ini dengan cara mencampur biomassa, seperti pelet kayu, cangkang sawit, atau sekam padi bersama batubara di PLTU.
Co-firing dilakukan dengan cara mencampur 90-95 persen batubara dengan biomassa, salah satunya pelet kayu sebanyak 1-10 persen sebagai bahan baku pembakaran pada PLTU batubara. Peneliti Trend Asia, Mumu Muhajir, mengemukakan, hasil perhitungan Trend Asia untuk memasok 107 unit PLTU yang menerapkan co-firing 10 persen, dibutuhkan 10.23 juta ton biomassa dari pelet kayu per tahun.
Meskipun pada saat dibakar mengeluarkan emisi karbon, tetap jumlah yang diemisikan sama dengan jumlah emisi pada saat pembentukan biomassa tersebut, baik yang terjadi di hutan maupun di kebun.
Jumlah sebanyak itu hanya mungkin terpenuhi dari perkebunan kayu berskala besar semacam hutan tanaman energi (HTE). ”Luasnya lahan konsesi yang dibutuhkan untuk HTE ini memunculkan kekhawatiran karena akan terjadinya pembukaan hutan alam atau deforestasi,” ujarnya saat diskusi publik dan peluncuran riset Co-Firing Biomassa: Membajak Hutan untuk Listrik Bersih?, di Jakarta, Selasa (8/11/2022).
Peluncuran riset ini bertajuk ”Ancaman Deforestasi Tanaman Energi”, sebagai seri kedua dari rangkaian riset ”Membajak Transisi Energi”. Menurut Mumu, untuk menghitung kebutuhan pelet kayu, penelitian ini memakai asumsi efisiensi rata-rata PLTU sebesar 33 persen. Setelah dihitung, kebutuhan pelet kayu untuk menghasilkan 1 megawatt jam sebanyak 620,4 kilogram.
”Untuk memenuhi kebutuhan pelet kayu sebesar itu, butuh setidaknya 2,33 juta hektar hutan tanaman energi,” ucapnya.
Juru kampanye biomassa Trend Asia, Meike Inda Erlina, mengatakan, pembangunan HTE untuk memenuhi suplai bahan baku biomassa pelet kayu hanya akan memperkeruh, bukan mengatasi masalah. Proyek energi skala besar ini hanya akan berujung pada ketimpangan penguasaan lahan karena tata kelola lahan yang tidak transparan dan cenderung dikuasai oleh segelintir orang.
Sementara itu, Guru Besar Institut Pertanian Bogor Sudarsono Soedomo menilai tanah dan iklim di Indonesia itu paling produktif dalam menghasilkan biomassa. Karena itu, ia mendorong Indonesia memfungsikan diri sebagai produsen biomassa ketimbang sebagai gudang penyimpanan biomassa.
Menurut Sudarsono, hutan tanaman ini tidak mesti dikelola oleh perusahaan, tetapi bisa digunakan oleh masyarakat setempat. ”Misal hutan di Pulau Jawa, masyarakat sudah berkali-kali dalam menebang dan menanam hutannya, dan itu menguntungkan bagi mereka,” tuturnya.
Kurangi konsumsi batubara
Dihubungi secara terpisah, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menuturkan, biomassa itu sebagai salah satu jenis EBT. Teknologi co-firing ini juga menjadi upaya strategis dalam mengurangi emisi karbon.
”Meskipun pada saat dibakar mengeluarkan emisi karbon, jumlah yang diemisikan sama dengan jumlah emisi pada saat pembentukan biomassa tersebut, baik yang terjadi di hutan maupun di kebun. Co-firing ini untuk menggantikan sebagian batubara, jadi pasti mengurangi konsumsi batubara,” katanya.
Dalam pemberitaan Kompas.id(3/7/2022), Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara Darmawan Prasodjo mengatakan, pembakaran biomassa bercampur batubara pada PLTU atau dikenal dengan metode co-firing adalah salah satu jenis energi terbarukan yang telah dikembangkan. Diperlukan keandalan pasokan bahan baku seperti pelet kayu untuk biomassa.
”Pulau Jawa ada sekitar 800.000 hektar tanah kering yang bisa dimanfaatkan untuk energi biomassa. Jika dikembangkan optimal, di lahan itu akan terbangun ekonomi baru dan kekuatan rakyat untuk peningkatan produksi energi. Langkah itu juga diyakini bakal menciptakan lapangan kerja baru,” tuturnya.
PLN berencana menerapkan teknologi co-firing pada 52 PLTU dengan total kapasitas 18 gigawatt (GW). Kebutuhan pasokan bahan bakar biomassa yang akan menyubstitusi sebagian batubara pada tahun 2025 sebesar 10,2 juta ton per tahun. Melalui program ini, PLN dapat menurunkan emisi karbon sampai 11 juta ton karbon dioksida.