Usaha mengurangi emisi dari pembakaran batubara pada PLTU yang dioperasikan PLN terus digiatkan. Pencampuran batubara dengan pelet kayu menjadi salah satu alternatif.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) memperbanyak pemakaian biomassa sebagai campuran bahan bakar pada pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU. Metode pencampuran yang dikenal dengan istilah co-firing ini sudah diterapkan di 26 PLTU milik PLN. Selain mengurangi pemakaian batubara, sejumlah pembangkit listrik tenaga diesel bakal diganti dengan sumber energi terbarukan.
Bahan biomassa yang dipakai umumnya berasal dari serbuk kayu yang diolah menjadi pelet. Kadar campurannya rata-rata sebesar 3-5 persen. Sejauh ini, PLN menyebut tidak ada masalah dalam operasional pembangkit yang berbahan bakar batubara tersebut. Hingga 2024 mendatang, PLTU yang menerapkan metode co-firing ditargetkan menjadi sebanyak 52 unit.
“Metode co-firing adalah salah satu cara kami untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Itu sejalan dengan target PLN meningkatkan kapasitas pembangkit dengan sumber energi terbarukan sebesar 16.000 megawatt di 2024 nanti,” ujar Executive Vice President Corporate Communications & CSR PLN Agung Murdifi saat dihubungi, Jumat (26/2/2021).
PLN juga berencana mengganti pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dengan pembangkit listrik yang bersumber dari energi terbarukan. Tercatat ada sekitar 5.000 PLTD yang tersebar di 2.130 lokasi di seluruh Indonesia dengan kapasitas terpasang mencapai 2.000 megawatt (MW). Pertumbuhan pembangkit listrik dari energi terbarukan diupayakan dua kali lipat lebih tinggi.
“Hingga Januari 2021, kapasitas terpasang pembangkit listrik energi terbarukan yang dikelola PLN mencapai 7.955 MW,” kata Agung.
Hingga 2024 mendatang, PLTU yang menerapkan metode co-firing ditargetkan menjadi sebanyak 52 unit.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan, pelet kayu sebagai campuran batubara dengan metode co-firing harus bisa memastikan keandalan pasokannya. Produksi pelet kayu sebaiknya tidak menyebabkan perambahan hutan untuk diambil kayunya. Namun, metode ini memang bisa mengurangi pemakaian batubara sebagai bahan bakar pada PLTU.
”Selain soal ketersediaan bahan baku palet kayu, jarak antara lokasi stok palet dengan PLTU harus menjadi pertimbangan. Sebab, apabila jaraknya di atas 100 kilometer, akan menyebabkan pembengkakan biaya operasional. Metode co-firing juga bisa menjadi metode transisi untuk meninggalkan batubara,” kata Fabby.
Sementara itu, menurut Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana, metode co-firing sekaligus bermanfaat dalam hal ekonomi sirkural (circular economy). Masyarakat bisa berpartisipasi dalam pemanfaatan sampah sebagai sumber bahan baku co-firing. Selain bermanfaat mengurangi sampah, co-firing juga dapat mengurangi dampak gas rumah kaca yang ditimbulkan dari asap pembuangan PLTU.
Sebelumnya, untuk menekan emisi yang dihasilkan dari pembakaran batubara pada operasional PLTU, PLN bakal menerapkan pemakaian teknologi bernama carbon capture storage (CCS). Teknologi ini bisa menurunkan emisi yang dihasilkan PLTU hingga 90 persen. PLN bakal menerapkan teknologi tersebut pada PLTU Jawa 7 di Serang, Banten, mulai 2025 dan PLTU Sumatera Selatan 6 di 2027 mendatang.
Masyarakat bisa berpartisipasi dalam pemanfaatan sampah sebagai sumber bahan baku co-firing.
Koordinator Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan (KP3) Teknologi Eksploitasi pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) Usman Pasarai menambahkan, kendati teknologi CCS dikenal sebagai solusi penurunan emisi, pemanfaatannya belum seperti yang diharapkan. Di seluruh dunia, hingga 2020, baru ada 21 proyek yang memanfaatkan teknologi tersebut. Sebagian besar adalah proyek hulu minyak dan gas bumi.
“Proyek yang sudah menerapkan teknologi CCS untuk pembangkit listrik baru ada dua di dunia, yaitu proyek Petra Nova di Texas, AS, dan Boundary Dam di Kanada. Keduanya bisa berjalan dengan mendapat dukungan insentif dari pemerintah setempat,” ucap Usman.
Usman membenarkan bahwa berdasar kajian Lemigas dan Bank Dunia, penerapan teknologi CCS menyebabkan naiknya biaya produksi listrik. Oleh karena itu, dukungan insentif dari pemerintah dalam penerapan teknologi ini sangat diperlukan. Di sisi lain, karbon yang berhasil disimpan dengan teknologi CCS bisa diperjualbelikan.