Ikhtiar Melepaskan Diri dari Batubara
Komitmen mengurangi emisi dengan menekan pemakaian energi fosil pada pembangkit listrik terus digaungkan. Namun, pemakaiannya masih dominan, termasuk batubara yang dituding sebagai sumber energi kotor.
Dorongan untuk memanfaatkan energi terbarukan disertai komitmen mengurangi emisi gas rumah kaca terus menggaung di tingkat global. Namun, kenyataan bahwa batubara, bahan bakar fosil, masih dominan belum tergantikan dalam pemenuhan energi tidaklah terelakkan. Akan tetapi, pengurangannya diupayakan, seperti dengan memanfaatkan biomassa di pembangkit listrik.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga akhir 2021, dari total kapasitas pembangkit listrik 73.736 megawatt (MW), kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) masih dominan, yakni mencapai sekitar 50 persen. Pada bauran energi, penyediaan listrik dengan batubara juga dominan, yakni lebih dari 65 persen.
Data PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) pun demikian. Dari semua pembangkit listrik PLN, porsi batubara mencapai sekitar 62 persen, lalu diikuti gas 20 persen, diesel 4 persen, dan energi terbarukan 14 persen. Akan tetapi, secara bertahap nantinya PLTU akan dipensiunkan dan pembangkit listrik tenaga surya skala besar terus dikembangkan (Kompas.id, 3/6/2022).
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, dalam menyediakan energi primer, PLN memang masih sangat banyak menggunakan batubara. Batubara akan berkait dengan kontrak terhadap korporasi. Namun, seiring bumi yang kian memanas, berbagai upaya mutlak diperlukan, salah satunya kolaborasi dalam mengurangi emisi karbon.
”Dalam setiap kWh (kilowatt hour) listrik ada emisi karbonnya. Dari batubara sekitar 1 kilogram per kWh. Aset kami (PLN) banyak, maka opsi pertama ya aset-aset itu kami pensiundinikan. Namun, ada opsi titik tengah, yakni mengganti batubara dengan biomassa. Aset tetap berjalan dan emisinya dikurangi,” kata Darmawan dalam acara pengembangan ekosistem bioenergi co firing, yang disiarkan secara daring, Kamis (30/6/2022).
Pembakaran biomassa bercampur batubara pada PLTU atau dikenal dengan metode co-firing adalah salah satu jenis energi terbarukan yang telah dikembangkan. Diperlukan keandalan pasokan bahan baku seperti pelet kayu untuk biomassa.
Menurut Darmawan, jika batubara berkait dengan bisnis secara korporasi, biomassa berkait dengan ekonomi kerakyatan. Ia mencontohkan, ada banyak lahan tandus di Indonesia yang tak mendukung perekonomian jika hanya ditanam palawija. PLN melihat ada peluang lahan tandus ditanam tanaman seperti kaliandra atau tanaman lainnya untuk biomassa.
Baca juga: Indonesia Surganya Sumber Energi Terbarukan
Ia menambahkan, di Pulau Jawa ada sekitar 800.000 hektar tanah kering yang bisa dimanfaatkan untuk energi biomassa. Jika dikembangkan optimal, di lahan itu akan terbangun ekonomi baru dan kekuatan rakyat untuk peningkatan produksi energi. Selain lingkungan menjadi terjaga, langkah itu juga diyakini bakal menciptakan lapangan kerja baru.
PLN berencana menerapkan teknologi co-firing pada 52 PLTU dengan total kapasitas 18 gigawatt (GW). Kebutuhan pasokan bahan bakar biomassa yang akan menyubstitusi sebagian batubara pada tahun 2025 sebesar 10,2 juta ton per tahun. Melalui program ini, PLN dapat menurunkan emisi karbon sampai 11 juta ton CO2.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menuturkan, pemanfaatan biomassa pada PLTU ialah salah satu langkah strategis untuk mengurangi emisi karbon. Ia pun yakin teknologi co-firing dapat menjadi tumpuan utama, terlebih Indonesia merupakan negara agraris.
Target pengurangan emisi karbon juga tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam Pembangunan Nasional.
Adapun targetNationally Determined Contribution (NDC) adalah pengurangan emisi GRK 29 persen pada 2030 jika dengan usaha sendiri atau hingga 41 persen jika dilakukan dengan kerja sama internasional. Upaya lainnya dengan carbon offset, perdagangan karbon, hingga carbon tax. Untuk jangka panjang ada target emisi nol bersih (NZE) pada 2060.
Baca juga: Batubara, Dibenci Sekaligus Dibutuhkan
Langkah strategis
Dadan, saat menjawab pertanyaan tertulis Kompas, beberapa waktu lalu, menyebutkan, pada akhir 2021, kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi nasional mencapai 12,16 persen. Pada tahun 2025, kontribusinya ditargetkan mencapai 23 persen. Dalam rangka mendukung target itu, sejumlah langkah strategis dilakukan oleh pemerintah.
Pertama adalah dengan mendorong tercapainya pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan on grid yang berbasis Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 agar selesai sesuai target yang ditetapkan. Hingga 2025, target penambahan kapasitas PLT energi terbarukan dalam RUPTL PLN sebesar 10,5 GW.
Upaya berikutnya, meningkatkan partisipasi publik melalui implementasi PLTS atap secara masif. ”Lebih dari 5.500 pelanggan telah memasang PLTS atap. Kami berharap jumlah ini bertambah jauh lebih besar dan lebih cepat dengan penyesuaian regulasi PLTS atap, diikuti harga panel surya yang semakin efisien," kata Dadan.
Penggunaan bahan bakar nabati pada solar (biodiesel) dengan tingkat campuran 30 persen atau disebut B30 juga didorong. Pada 2021, realisasi penjualan biodiesel mencapai 9,3 juta kiloliter. Jumlah itu dinilai mampu mengurangi impor bahan bakar minyak dan menghemat devisa Rp 66 triliun. Selain itu, pemerintah juga mendorong pemanfaatan bahan bakar nabati lain, seperti bioavtur dan bio-CNG (gas alam terkompresi).
Sejumlah langkah lain yang ditempuh adalah peningkatan pemanfaatan biomassa melalui program co-firing, penguatan posisi energi terbarukan lewat penyusunan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan sebagai inisiatif DPR, serta peningkatan permintaan listrik melalui penerapan kendaraan listrik dan kompor induksi.
Potensi besar
Data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, baru 0,3 persen dari total potensi sebesar 3.686 gigawatt energi terbarukan yang telah dimanfaatkan Indonesia. Menurut Dadan, pengembangan energi surya menjadi prioritas. Kendati demikian, pemanfaatan semua sumber energi terbarukan akan dioptimalkan.
”Pembangkit listrik energi terbarukan yang andal dan dapat dimanfaatkan sebagai baseload adalah panas bumi dengan capacity factor tinggi. Kemampuan beroperasinya juga 24 jam tanpa menggunakan baterai,” ujar Dadan.
Baca juga: PLN Kejar Emisi Nol Bersih pada Tahun 2060
Hal yang tak kalah penting adalah knowledge sharing dan diskusi publik untuk memitigasi isu sosial. Berbagai program itu diharapkan turut memacu masyarakat untuk ikut andil dan berkontribusi serta menjadi bagian dalam pengembangan energi terbarukan. Selain itu, hal lain yang juga penting adalah mendorong aplikasi inovasi teknologi dan mengatasi masalah teknis pembangkit energi terbarukan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengemukakan, pada 2020-2021 atau memasuki masa pandemi Covid-19, pertumbuhan kapasitas energi terbarukan tergolong rendah. Ia pesimistis pada tahun 2022 akan ada pertumbuhan lebih dari 1.000 MW per tahun karena kenyataannya masih banyak kendala yang mesti dihadapi. Salah satunya terkait regulasi dan kebijakan.
Ada ketidakpastian regulasi sehingga berisiko dan (proyek) tidak bankable.
”Khususnya mengenai harga jual energi terbarukan kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) karena Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 membuat proyek-proyek energi terbarukan tidak bankable. Peraturan presiden (tentang tarif tenaga listrik dari energi terbarukan) juga dua tahun belum selesai (disahkan). Ada ketidakpastian regulasi sehingga berisiko dan (proyek) tidak bankable,” ujar Fabby.
Dalam pengembangan itu, untuk skala besar, Indonesia bergantung pada PLN yang merupakan single offtaker. Artinya, semua proses ada di PLN, termasuk mengenai tender ataupun kemampuan PLN membeli listrik yang dihasilkan. Di sisi lain, masalah kelebihan pasokan listrik juga turut menghambat pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Dalam skenario yang ada saat ini, untuk mencapai target 23 persen porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada 2025, setidaknya dibutuhkan 13.000-14.000 MW hingga 2025. Sementara PLN merencanakan penambahan 10.000 MW hingga 2025 sehingga akan ada gap berkisar 3.000-4.000 MW.
Menurut Fabby, untuk penambahan selisih sebesar 3.000-4.000 MW ini, jika ingin dibangun cepat, maka dengan PLTS atap. Namun, saat ini PLN pun membatasi pemanfaatan PLTS atap hingga 15 persen dari kapasitas terpasang. Hal itu diyakini akan berdampak pada pencapaian target bauran energi terbarukan ke depan.