Bosan dengan Pekerjaanmu Saat Ini? Hati-hati 'Boreout'
Bosan dengan pekerjaanmu saat ini? Merasa tidak mendapat apa-apa selain lelah saat bekerja? Hati-hati, kamu bisa mengalami 'boreout', kebosanan kronis. Meski berdampak besar bagi perusahaan, 'boreout' masih terabaikan.
Read in English: Beware of Suffering from Boreout
Jenuh dengan rutinitas kerja yang berulang? Kurang tertantang dengan pekerjaan yang ditekuni saat ini? Atau, merasa tidak menghasilkan apa-apa setelah lelah seharian bekerja? Hati-hati, kebosanan kronis di tempat kerja alias boreout tak hanya mengurangi produktivitas, tetapi juga berdampak pada kesehatan mulai dari gangguan tidur, sakit kepala berulang, hingga depresi.
Boreout atau kebosanan kronis adalah saudara kandung dan paradoks dari burnout, keletihan akut. Keduanya menunjukkan gejala yang sama, tetapi penyebabnya berbeda bahkan berkebalikan. Jika burnout dipicu oleh beban dan target kerja yang berlebihan, maka seperti ditulis di DW, 1 April 2020, boreout justru dipicu kebosanan dan kurangnya tantangan kerja.
Baik boreout maupun burnout merupakan persoalan psikologi di tempat kerja. Gejalanya pun mirip, seperti apatis, tak semangat, cemas, mudah marah, sensitif, dan mudah meledak emosinya. Mereka juga cenderung menarik diri dari interaksi sosial baik dengan teman atau orang yang dicintai. Dalam kondisi ekstrem, boreout mudah memicu stres dan depresi.
Gangguan psikis itu umumnya merembet ke gangguan fisik, seperti kesulitan tidur atau insomnia, telinga berdenging atau tinitus, sering pusing atau sakit kepala, gampang sakit perut, hingga melemahnya sistem kekebalan tubuh yang memicu mudahnya terserang penyakit infeksi.
Istilah boreout pertama kali dikenalkan oleh konsultan perusahaan Peter R Werder dan Philippe Rothlin pada tahun 2007. Boreout disebabkan oleh tantangan kerja yang terlalu ringan, rendahnya minat terhadap pekerjaan yang dijalani, dan kebosanan di tempat kerja. Ketiga elemen pemicu boreout itu saling berkaitan dan saling memengaruhi.
"Karyawan yang secara permanen tidak diberi tantangan kerja akan merasa bosan dengan pekerjaannya. Jika kebosanan yang timbul bersifat permanen, minat terhadap hal yang mereka kerjakan juga akan lenyap," tulis Werder dan Rothlin dibukunya Diagnose Boreout (2007).
Hal senada diungkapkan Ruth Stock-Homburg, profesor manajemen sumber daya manusia di Universitas Teknik Darmstadt, Jerman seperti dikutip BBC, 5 Juli 2021. Selain bosan, ciri utama boreout adalah menghadapi krisis pertumbuhan dan krisis makna dalam bekerja.
Ahli perilaku organisasi dari Sekolah Bisnis EM Lyon, Perancis, Lotta Harju menambahkan selain kurangnya tantangan bekerja dalam waktu lama, boreout juga bisa dipicu oleh lingkungan kerja yang menurunkan moral pekerja. Mereka yang boreout umumnya menjalani pekerjaan tanpa memiliki tujuan alias hanya bekerja untuk menyelesaikan kewajiban demi gajian di awal atau akhir bulan.
Dalam banyak kasus, boreout memang mudah ditemukan pada pekerja dengan karakter pekerjaan yang kurang menantang, repetitif, dan tidak ada tanggung jawab baru. Kebosanan juga mudah timbul pada pekerjaan dengan kualifikasi pekerja terlalu tinggi (overqualified) atau pekerja yang karirnya tidak berkembang.
Namun, boreout nyatanya juga bisa terjadi akibat lingkungan atau organisasi perusahaan yang justru menurunkan minat dan motivasi bekerja. Bagaimanapun, karyawan adalah manusia yang tetap memiliki kebutuhan untuk dihargai dan diapresiasi oleh manajemen perusahaan atau pemberi kerja.
Menegakkan diagnosis
Sebenarnya, wajar sesekali merasa bosan dengan pekerjaan yang dijalani. Namun jika rasa bosan itu berlangsung lama atau kronis, maka perlu diwaspadai. Studi 11.000 pekerja di 87 perusahaan Finlandia pada 2014 menunjukkan boreout meningkatkan risiko pergantian karyawan, pensiun dini, serta kesehatan mental khususnya penilaian diri yang buruk dan stres.
Studi lain terhadap 186 pegawai pemerintah Turki pada 2021 juga menunjukkan pekerja yang merasakan kebosanan kronis juga mengalami stres, kecemasan tingkat tinggi, hingga depresi. Repotnya, dampak depresi tidak hanya terlihat di tempat kerja, tetapi hingga di luar lingkungan kerja, khususnya rumah, yang ditandai dengan munculnya berbagai penyakit fisik.
Sejak pandemi Covid-19, kebosanan kronis memunculkan kesadaran baru tentang makna hidup dan bekerja. Kesadaran itu muncul seiring merebaknya keletihan akut dari sistem kerja hibrida, daring dan luring. Namun, ketika itu yang lebih mengemuka dan menjadi perhatian adalah burnout, sedangkan boreout kurang terperhatikan.
Jika burnout telah memiliki batasan yang jelas dalam International Classification of Diseases (ICD) 11 terbitan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), boreout belum ada standar diagnosisnya. Namun jika dianalisis secara mendalam, burnout dan boreout mudah dibedakan.
Dalam banyak kasus, banyak orang mengaku burnout, tetapi setelah dianalisis lebih lanjut oleh psikolog, yang terjadi sesungguhnya adalah boreout. Karena gejalanya sama, banyak karyawan boreout secara sadar menunjukkan dirinya sedang burnout. Boreout sulit dikenali karyawan karena mereka sudah terlalu terbiasa dengan kebosanan yang dialaminya dalam waktu lama.
Pekerja boreout biasanya tetap masuk bekerja seperti biasa, tetapi tidak memiliki semangat kerja. Akibatnya, mereka bisa menghabiskan waktunya berlama-lama di meja kerja atau di depan layar monitor untuk melakukan cyberloafing atau menggunakan komputer untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, mulai dari belanja daring, mengakses media sosial, atau bermain gim.
Selain itu, mereka juga banyak menghabiskan waktu kerjanya untuk mengobrol dan bergosip dengan teman kerja hingga merencanakan kegiatan lain yang juga tidak ada kaitannya dengan pekerjaan. "Semua tindakan itu dilakukan bukan karena mereka malas, tetapi sebagai mekanisme koping (untuk mengatasi kebosanan)," kata Harju.
Baca juga: Bekerja demi Kebahagiaan
Mengatasi kebosanan
Meski demikian, karyawan yang bosan kronis sejatinya menyadari apa yang mereka lakukan saat bekerja sesungguhnya sangat tidak menyenangkan. Mereka lelah berpura-pura burnout, capek berusaha menunjukkan bahwa mereka bekerja dengan beban berat. Tindakan paradoks itu sengaja dilakukan untuk menyembunyikan penderitaan akibat kebosanannya.
"Tidak melakukan apa-apa saat bekerja dalam jangka panjang adalah horor. Setiap hari, mereka harus melakukan tipuan seolah-olah sibuk bekerja. Jika itu dilakukan dalam waktu lama, maka akan terasa sangat menegangkan," tulis Wetder dan Rothlin.
Namun, mencari solusi atas masalah itu juga tidak mudah. Karyawan yang boreout umumnya enggan melaporkan masalahnya kepada pimpinan atau bagian pengembangan sumber daya manusia. Terlebih, banyak budaya organisasi perusahaan memang tidak akomodatif terhadap kebutuhan karyawan.
Jika melaporkan kebosanan yang dialami, pekerja takut justru akan dibebani dengan pekerjaan tambahan yang membuat mereka makin terikat. Bahkan, bisa jadi mereka akan diminta mengundurkan diri atau dipecat karena dianggap sudah tidak produktif atau hanya membebani perusahaan.
Karena itu, karyawan yang menyadari kebosanan kronis tetapi memiliki hambatan melaporkan ke pimpinan perusahaannya, bisa mengambil jeda sejenak. Jangan ragu cuti, meluangkan waktu untuk sendiri, agar stres dan kecemasan reda. Selain itu, mempelajari keterampilan baru, memperoleh perspektif berbeda, bahkan memulai bisnis bisa dipertimbangkan. Bagaimanapun, kesehatan fisik dan mental pekerja adalah yang utama.
Namun dalam kasus boreout parah, butuh tindakan radikal untuk mengatasinya. Komunikasikan kebosanan yang dialami dengan tim, kolega, senior atau manajer untuk membicarakan perasaan, ambisi profesional, dan mencari solusinya. Kurangnya komunikasi membuat pimpinan tidak tahu apa yang sebenarnya dialami mitra kerjanya.
Perusahaan seharusnya tidak alergi membicarakan isu kesehatan mental di tempat kerja.
Setiap pekerja juga berhak mengajukan peninjauan ulang atas beban kerja dan pengembangan karir kepada pimpinan. Jika diperlukan, tawarkan bantuan kepada rekan kerja untuk membantu pekerjaan mereka atau mengusulkan proyek baru. Sikap proaktif akan membuat anda lebih mudah dipercaya orang lain.
Jika nyatanya peluang untuk maju di perusahaan terbatas, saatnya dirimu menilai pencapaian apa yang telah kamu peroleh di perusahaan dan mempertimbangkan perubahan karir secara nyata. Hal-hal yang mendorong komitmenmu di tempat kerja, seperti kemandirian, kerja tim dan fleksibilitas bisa menjadi bekal untuk menuju posisi atau mencari pekerjaan baru sesuai kompetensi dan kepribadianmu.
Boreout juga bisa dipicu oleh kondisi lingkungan kerja. Beberapa jenis pekerjaan memang membosankan dan sulit untuk dibuat tantangan baru. Untuk karakter pekerjaan seperti itu, memperbaiki lingkungan kerja bisa membantu mengurangi kebosanan, seperti membangun relasi antarpekerja yang menyenangkan, pimpinan menghargai karyawan, atau memberi makna baru pada pekerjaan yang dilakukan.
"Ada banyak cara untuk membuat pekerja merasa waktu yang mereka habiskan di tempat kerja berharga dan dihargai," tambah Harju.
Pandemi telah memunculkan kesadaran baru tentang norma kerja yang lebih kuat. Bekerja seharusnya dengan sepenuh hati dan ketertarikan tertinggi terhadap bidang pekerjaannya atau generasi Z menyebutnya sebagai bekerja dengan passion.
Peran perusahaan
Perusahaan seharusnya memiliki inisiatif tinggi membantu karyawannya mengatasi boreout. Bagaimanapun, karyawan adalah aset dan investasi perusahaan. Sementara kebosanan kronis yang dialami karyawan bisa dipicu oleh karakter kepemimpinan dan kebijakan perusahaan.
"Memberi makna pada pekerjaan bukan hanya tanggung jawab karyawan, tetapi juga manajemen perusahaan untuk menciptakan budaya kerja yang membuat setiap orang di kantor merasa berharga," kata Fahri Ozsungur, profesor ekonomi di Universitas Mersin, Turki.
Meski belum ada data pasti tentang prevalensi pekerja yang mengalami kebosanan kronis, tetapi sejumlah studi seperti disebut di situs Sekolah Bisnis EDHEC yang memiliki kampus di Perancis, Inggris dan Singapura, menunjukkan 60 persen karyawan di Perancis boreout.
Kerugian ekonomi akibat boreout juga belum ada. Namun, kerugian akibat burnout, saudara boreout, di Amerika Serikat seperti dikutip dari Forbes, 29 Mei 2019, mencapai 125 miliar sampai 190 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.875 triliun sampai Rp 2.850 triliun per tahun dengan kurs Rp 15.000 per dollar. Itupun hanya kerugian akibat biaya perawatan kesehatan saja, belum menghitung soal hilangnya produktivitas.
Beberapa tindakan cepat yang bisa dilakukan perusahaan untuk karyawan yang boreout adalah memberi pekerjaan yang lebih menarik dan menantang atau dengan sedikit mengubah tugas untuk karyawan. Namun, pemberian pekerjaan baru ini perlu disertai tujuan jelas dan inspirasi, bukan sekadar menambah beban kerja.
"Apapun yang membuat pekerjaan terasa membosankan, buatlah menyenangkan," tambah Harju. Sayangnya, studi Harju pada 2016 menemukan pekerja yang boreout justru cenderung tidak dilibatkan dalam kegiatan konstruktif untuk menumbuhkan semangat baru. Cap malas terlanjur dilekatkan pada mereka hingga melibatkan pekerja boreout justru dianggap beban.
Pimpinan perusahaan perlu meluangkan waktu untuk berkomunikasi langsung dengan karyawannya. Dialog pimpinan dan karyawan ini penting untuk membahas sasaran masing-masing pekerja, bukan malah menagih hasil kerja atau pencapaian target.
Inisiatif ini untuk menunjukkan kepada setiap karyawan bahwa apa yang mereka lakukan dihargai dan berharga. Upaya ini seharusnya dibarengi dengan skema penghargaan terhadap karyawan yang lebih baik, termasuk soal jenjang karir.
Untuk itu, perusahaan seharusnya tidak alergi membicarakan isu kesehatan mental di tempat kerja. Keletihan akut, kebosanan kronis, tingkat kehadiran, keseimbangan antara bekerja dengan kehidupan pribadi, hingga isu ketidaksetaraan di tempat kerja bisa dibicarakan lebih terbuka.
Baca juga: Tetap Sehat Tanpa ”Burnout” di Tengah Pandemi dengan Berolahraga
"Kita membutuhkan perubahan pemikiran tentang kesejahteraan karyawan," kata Harju. Hanya dari karyawan yang sejahtera lahir dan batin, perusahaan bisa mewujudkan visi dan misinya hingga menjaga keberlanjutan usahanya. Karena itu, karyawan dan perusahaan seharusnya bisa maju sama-sama dan saling menguntungkan.