Komitmen Negara Melindungi Lingkungan Dinilai Mengalami Kemunduran
Pengajuan PK oleh pemerintah atas putusan MA yang memenangkan gugatan warga negara dinilai merupakan langkah kemunduran perlindungan lingkungan.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengajukan peninjauan kembali atas putusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan warga negara. Langkah ini dinilai sebagai kemunduran upaya perlindungan lingkungan, khususnya pada kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Merujuk pada dokumen resmi MA, pengajuan PK diterima pada 3 Agustus 2022 dengan Nomor 980 PK/PDT/2022. Adapun pemohon PK I terdiri dari Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Dalam Negeri cq Gubernur Kalimantan Tengah. Kemudian Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai pemohon PK II. Untuk pemohon PK III terdiri dari Negara RI cq Presiden RI.
”Selain karena kalah pada tingkat I, banding dan kasasi, PK kami ajukan juga karena upaya penanganan kebakaran hutan dan lahan atau karhutla, menurut kami, sudah maksimal,” kata Kepala Subbagian Advokasi Hukum Perdata Biro Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Yudi Ariyanto di kantor KLHK, Jakarta, Senin (7/11/2022).
Yudi mengatakan, dalam PK yang diajukan terdapat novum atau bukti baru berupa informasi bahwa pada tahun 2015 terjadi El Nino yang kuat sehingga karhutla tidak dapat dihindari. Hal ini dilakukan mengingat pengajuan PK tanpa dilengkapi dengan bukti baru sulit untuk dimenangkan.
Berdasarkan laporan NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) terkait El Nino, indeksnya 0,6 mild El Nino hingga 2,6 strong El Nino. ”Jadi, kebakaran hutan pada waktu itu disebabkan oleh faktor alam,” ujarnya.
Selaras dengan itu, penelitian yang dilakukan Ardila Yananto dan Saraswati Dewi terkait analisis El Nino menemukan data Southern Oscillation Index (SOI) selama tahun 2015 hingga awal 2016 relatif bernilai minus. SOI tersebut konstan bernilai kurang dari -10 pada bulan Mei hingga Oktober 2015.
Penelitian tersebut menyimpulkan pada tahun 2015 telah terjadi fenomena El Nino pada level kuat. Oleh karena itu, lahan gambut, terutama di Sumatera dan Kalimantan, rentan terbakar. Sebagai informasi, El Nino merupakan kenaikan suhu muka air laut di atas kondisi normal. Kenaikan suhu tersebut menyebabkan berkurangnya curah hujan di Indonesia.
Dalam hal penilaian masyarakat, Yudi tidak mempermasalahkan terkait kemunduran upaya perlindungan lingkungan dari pemerintah. Jalur hukum akan terus ditempuh karena upaya untuk menyenangkan seluruh pihak tidak mungkin dilakukan.
Campaigner Pantau Gambut, Wahyu A Perdana, menilai upaya hukum yang ditempuh oleh pemerintah merupakan bukti ketidakseriusan dalam menangani karhutla. Padahal, gugatan warga negara itu tidak menuntut ganti rugi, hanya berupa perbaikan kebijakan terkait penanggulangan karhutla.
”Kemenangan gugatan rakyat seharusnya tidak dipahami sebagai kekalahan negara. Perlu upaya bersama dari berbagai pihak untuk meningkatkan kewaspadaan dan persiapan dalam menghadapi ancaman karhutla,” katanya, di Jakarta.
Berdasarkan data KLHK tentang karhutla di Indonesia, dalam periode lima tahun (2015-2019), kebakaran paling besar terjadi pada tahun 2015 dan tahun 2019. Pada 2015 membakar sekitar 2,6 juta hektar dan 2019 sekitar 1,6 juta hektar hutan dan lahan yang ada di Indonesia. Ini juga didukung oleh kondisi musim kemarau berkepanjangan dan El Nino yang terjadi di Indonesia.
Kemenangan gugatan rakyat seharusnya tidak dipahami sebagai kekalahan negara. Perlu upaya bersama dari berbagai pihak untuk meningkatkan kewaspadaan dan persiapan dalam menghadapi ancaman karhutla.
Analisis Bank Dunia pada kebakaran hutan di Indonesia tahun 2019 menemukan asap tebal menyelimuti sedikitnya delapan provinsi dan berdampak pada aktivitas ekonomi lokal dan luar negeri. Selain itu, lebih dari 900.000 orang mengalami gangguan pernapasan serta ratusan sekolah di Indonesia, Malaysia, dan Singapura ditutup sementara.
Kerugian ekonomi pada Juni-Oktober 2019 ditaksir sekitar 5,2 miliar dollar AS atau Rp 71,7 triliun merujuk kurs tahun 2015 (1 dollar AS sama dengan Rp 13.795). Jumlah itu setara dengan 0,5 persen dari nilai produk domestik bruto Indonesia. ”Masyarakat mempertanyakan apa alasan sebenarnya pemerintah melakukan PK. Terutama dalam waktu dekat akan dilaksanakan konferensi iklim atau COP27,” ujarnya.
Melalui Menteri LHK Siti Nurbaya, Indonesia menyuarakan berbagai aksi, strategi, inovasi, dan capaiannya sebagai wujud nyata memimpin aksi iklim mencegah kenaikan suhu global pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP27). Selain itu, Paviliun Indonesia menampilkan kebijakan dan hasil nyata kerja sebelumnya.
”Diperlukan tindakan multilateral, kolektif, dan terpadu sebagai satu-satunya cara mengatasi ancaman global yang sesungguhnya. Kita harus menjaga bersama semangat kolaborasi di COP27,” ujar Siti dalam keterangan resminya, Minggu (6/11/2022).