Di tengah gempuran budaya asing dan melesatnya kemajuan teknologi, kekayaan budaya bangsa seperti wayang masih relevan dalam merawat nilai-nilai kebaikan melalui pesan moral dalam setiap ceritanya.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Eksistensi budaya tradisional sering dibenturkan dengan kemajuan teknologi. Padahal, keduanya sangat mungkin beriringan. Dalang dari generasi Z membuktikannya dengan melestarikan wayang tanpa ketinggalan menikmati permainan gim daring yang sedang tren.
Akhir pementasan wayang dengan lakon ”Babad Wanamarta” disambut tepuk tangan penonton di halaman Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Jakarta, Jumat (4/11/2022) sore. Sang dalang, Danesworo Rafi Ramadhan (15), berdiri membungkukkan badan, tanda hormat membalas apresiasi penonton.
Sore itu, Rafi menunjukkan kematangannya. Meski masih remaja, ia tidak gugup saat lampu di panggung padam di tengah pementasan. Salah satu stopkontak rusak sehingga memutus aliran listrik.
Kedua tangannya cekatan menggerakkan wayang kulit mengikuti lakon yang dibawakan. Sabetannya bervariasi, mulai dari sekadar menggerakkan bagian tubuh wayang hingga melempar dan menangkapnya kembali.
”Selain menonton wayang langsung, saya juga belajar mendalang dari Youtube,” ujarnya.
Siswa kelas IX SMP, Miftahul Ulum, Kota Depok, Jawa Barat, tersebut tidak menghafal lakon ”Babad Wanamarta” yang dibawakan. Ia membacanya dari catatan. Lakon itu mengisahkan riwayat berdirinya negara Amarta (Ngamarta) oleh Pandawa Lima yang terdiri dari Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa.
Pementasan wayang selama dua jam itu diiringi beragam alat musik tradisional, seperti saron, bonang, demung, gong, kempul, gambang, gendang, rebab, selentem, dan gender. Selain itu, juga dilengkapi penampilan sinden serta wirasuara.
Rafi mengenal wayang saat berusia tiga tahun. Ketika itu, kakeknya, Sumaryoto, sering mengajaknya menonton pementasan wayang di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.
Sepulang dari TMII, kakeknya membelikannya wayang. Di rumah, wayang itu dimainkan oleh Rafi setiap hari. Ketertarikan itu dilihat oleh Sumaryoto yang kemudian membimbing cucunya mendalang.
”Waktu kelas II SD, saya ditawari kakek jadi dalang di Gombong (Jawa Tengah). Itu jadi pentas pertama kali,” ujarnya.
Rafi belajar mendalang dari kakeknya seminggu sekali. Selebihnya, ia belajar dari mana saja, termasuk Youtube.
Budaya itu fleksibel, termasuk bisa berdampingan dengan perkembangan zaman. Yang jelas, kita tidak meninggalkan pakem.
Akan tetapi, ketertarikan pada wayang tak membuatnya terasing dari dunia anak-anak seusianya. Ia juga suka bermain gim daring.
”Ya, tetap main gim online biar enggak ketinggalan zaman. Paling suka main (gim) Mobile Legends,” katanya.
Dulu, tak jarang ia dicibir teman-temannya karena sibuk mendalang. Kini, beberapa teman sekolahnya justru minta diajari mendalang.
Rafi tidak tahu sampai kapan akan terus mendalang. Namun, ia senang turut melestarikan wayang yang ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 2003.
”Prosesnya mengalir saja. Sekarang masih melatih supaya terbiasa mengisahkan lakonnya,” ucapnya.
Rafi bukan satu-satunya remaja dalang yang tampil. Pada sesi malam, giliran kakaknya, Herjuno Pramariza Fadlansyah (17), membawakan lakon ”Dewa Ruci”.
Lakon tersebut mengisahkan kebijaksanaan seorang guru terhadap para murid-muridnya tanpa membeda-bedakan satu dengan lainnya. Nilai-nilai dalam lakon menjadi pelajaran penting untuk menempah karakter generasi muda.
Wiraswara dalam pementasan lakon ”Babad Wanamarta”, Axl Antora Abimanyu (29), mengatakan, setiap lakon wayang mempunyai nilai-nilai moral. Lakon ”Babad Wanamarta”, misalnya, mengajarkan kegigihan dan pantang menyerah.
Dalam lakon itu, Bima atau Brotoseno mengalami beberapa kali kegagalan setelah Pandawa terusir dari Istana Astina (Ngastina). ”Namun, para Pandawa tidak menyerah dan memantapkan niatnya lagi. Mereka punya tekad kuat dan keukeuh,” katanya.
Fleksibel
Kemajuan teknologi bukanlah ancaman kebudayaan. Namun, tak sedikit generasi muda mulai menjauhi budayanya dan lebih mengakrabi kemajuan teknologi.
”Jangan sampai seiring perkembangan zaman orang-orang jadi meninggalkan wayang. Intinya, harus bisa menyesuaikan,” ujar Abimanyu.
Dosen Teknik Informatika Universitas Indraprasta (Unindra) itu mengatakan, sejumlah orang kurang tertarik menonton wayang karena tidak memahami bahasa yang digunakan. Menurut dia, sesekali pementasan wayang perlu memakai bahasa Indonesia sehingga dapat dimengerti lebih banyak orang.
”Budaya itu fleksibel, termasuk bisa berdampingan dengan perkembangan zaman. Yang jelas, kita tidak meninggalkan pakem,” ujarnya.
Ketertarikan seseorang pada budaya memang tidak perlu dipaksakan. Namun, keragaman budaya merupakan kekayaan bangsa yang wajib dilestarikan dengan mengenalkannya kepada generasi muda.
”Kami ingin wayang menjadi salah satu budaya bangsa yang disadari dan diketahui oleh para anak muda,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Budaya, dan Prestasi Olahraga Kemenko PMK, Didik Suhardi.
Pementasan wayang tersebut digelar dalam memperingati Hari Wayang Nasional (7 November), Sumpah Pemuda (28 Oktober), dan menyambut Hari Pahlawan (10 November). Menurut Didik, pementasan wayang masih relevan sebagai medium menyampaikan pesan moral yang telah berlangsung sejak lama.
”Kalau dikaitkan dengan revolusi mental, banyak sekali di dalamnya terkandung nilai etos kerja, gotong royong, dan integritas,” jelasnya.
Didik berharap, melalui pementasan wayang, masyarakat semakin merasa memiliki dan mencintai kebudayaan tradisional Indonesia. Dengan begitu, filosofi dalam cerita wayang, seperti karakter integritas, dapat ditanamkan pada generasi muda.
Di tengah gempuran budaya asing dan melesatnya kemajuan teknologi, kekayaan budaya bangsa seperti wayang masih relevan dalam merawat nilai-nilai kebaikan melalui pesan moral dalam setiap ceritanya. Perkembangan zaman akan terus bergulir, tetapi upaya melestarikan budaya tak boleh berakhir.