Romantika di Balik Panggung Wayang Orang Bharata
Di balik panggung WO Bharata yang penuh cahaya, pelakon dan krunya hidup sederhana di rumah atau kamar-kamar darurat seadanya.
Lorong gang Jalan Barata I, Kamis (18/8/2022) siang itu, terasa lengang. Sinar matahari yang hampir berada di atas ubun-ubun terasa terik menyengat. Di salah satu sudut gang tampak beberapa perempuan usia jelang 30 tahunan sibuk memasak sesuatu di atas kompor gas.
Kompor itu berada di atas meja kayu panjang di pinggiran gang, seolah menjadi semacam dapur darurat, yang digunakan juga oleh sebuah warung kecil penjual mi instan. Di antara para perempuan muda tadi tampak Mulyani (67), salah seorang pesinden dan penari senior generasi pertama kelompok kesenian Wayang Orang (WO) Bharata.
Sementara itu, di sudut gang lain, sejumlah pria muda duduk-duduk santai sambil mengobrol. Di dekat mereka terparkir rapi sejumlah sepeda motor dalam posisi paralel. Sambil asyik merokok, Teguh Ampiranto alias Kenthus, Ketua Paguyuban WO Bharata, ikut nimbrung.
”Kalau lihat sekarang sudah banyak lagi (sepeda) motor parkir begini, rasanya seneng sekali, Mas. Kemarin dari awal pandemi pemandangan begini sempat hilang. Banyak sepeda motor ditarik leasing karena banyak yang menunggak cicilan. Habis mau bagaimana? Pentas dilarang dan pemasukan lain juga enggak ada. Sekarang sudah punya lagi walau bekas,” ujar Kenthus membuka cerita.
Selain mengandalkan pementasan rutin, yang kini tinggal setiap akhir pekan, para warga WO Bharata bekerja serabutan. Ada yang mengajar les privat, menjadi penari ”cabutan” di sanggar atau event lain, atau mengerjakan pekerjaan yang tak ada kaitannya dengan berkesenian, seperti menjadi tenaga satuan pengamanan (satpam).
Awalnya, di kawasan yang juga dikenal sebagai Padepokan WO Bharata itu terdapat 68 bangunan rumah sederhana berukuran 21 meter persegi yang terdiri atas dua kamar. Rumah-rumah itu dibangun sekitar empat dekade lalu pada masa pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Lahannya merupakan sumbangan dari seorang pengusaha kaya dermawan yang peduli kepada para seniman dan kru WO Bharata.
Sang pengusaha menyumbangkan tanahnya di kawasan Sunter, Jakarta Utara, berupa tanah kosong bekas area persawahan. Proses pembangunannya dimulai tahun 1972. Menurut Kenthus, para kru dan pemain WO Bharata diminta mencicil setiap bulan sebesar Rp 1.500 ke Bank Tabungan Negara (BTN) selama 15 tahun. Cicilan itu tergolong ringan saat itu. Setelah lunas, uangnya dikembalikan dan rumah menjadi hak milik.
Baca juga : Hidup Kolektif di Balik Pentas, Siapa Takut?
Kenthus bersama istri dan empat anaknya tinggal di salah satu rumah yang diwariskan dari kakek hingga ayah mertuanya. Mertua dan kakek mertua Kenthus adalah para pemain senior generasi pertama WO Bharata. Sang istri dahulu adalah salah seorang penari primadona, sementara Kenthus baru resmi bergabung tahun 1991.
Kisah lebih kurang sama disampaikan Moch Wahyudi (52), yang juga penari dan pemain utama WO Bharata seangkatan Kenthus. Keduanya bercerita sambil duduk santai lesehan dan mengopi di lantai ruang tamu rumah Kenthus yang tanpa kursi dan meja tamu.
Di bagian dinding ruang tamu Kenthus tampak ramai dipajang sejumlah pigura berisikan foto-foto Kenthus saat berpentas atau menerima penghargaan. Di meja dan lemari pajang juga berderet beberapa piala penghargaan, baik untuk dirinya maupun WO Bharata.
Sejumlah pigura berisi kliping pemberitaan media cetak. Salah satunya surat kabar The Hindustan, saat WO Bharata berpentas di India tahun 2005. Nama Kenthus pun sempat terkenal saat sering tampil di acara hiburan televisi swasta Ketoprak Humor pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an.
Semakin berkurang
Saat ini, jumlah rumah yang masih ditinggali penghuni asli warga WO Bharata atau keturunannya semakin berkurang. Pada 2015, Kompas pernah menulis kehidupan para pemain dan kru kelompok kesenian ini di tempat tinggalnya. Kala itu tercatat jumlah rumah yang ditinggali sebanyak 38 rumah. Saat ini, total tinggal 21 rumah yang ditinggali 28 keluarga.
Banyak rumah sudah berpindah kepemilikan lantaran dijual. Cara menandainya mudah, biasanya rumah yang sudah dijual bentuknya sudah jauh lebih bagus. Sebagian bertingkat dan tampak wah lantaran pembelinya orang yang mampu secara finansial.
”Yang rumahnya dijual biasanya karena memang sudah sepuh dan tidak lagi aktif tampil berpentas. Mereka memilih boyongan bersama keluarga dan pindah ke kampung halaman. Hidup di Jakarta sangat berat sehingga mereka lebih memilih pulang kampung saja, Mas,” ujar Kenthus.
Kelompok kesenian WO Bharata baru saja berulang tahun ke-50, yang ditandai pementasan besar di gedung pertunjukan mereka di Jalan Kalilio, dekat Pasar Senen, Jakarta Pusat. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan turut hadir menonton sekaligus mengumumkan proses renovasi gedung pertunjukan yang akan dimulai akhir Agustus ini.
Praktis dengan begitu, tambah Kenthus, untuk setidaknya empat bulan ke depan mereka tak bisa menggelar pementasan alias menganggur. Walau begitu, mereka juga bersyukur gedung pertunjukan bakal direnovasi menjadi lebih baik dan diharapkan akan bisa menarik lebih banyak penonton baru.
Upaya menarik penonton baru juga dilakukan dengan cara mengadaptasi naskah cerita jadi berdurasi lebih pendek. Dulu, pementasan bisa berlangsung lima hingga tujuh jam. Walau berdurasi panjang, di masa jayanya para penonton selalu membeludak. Para calo tiket bahkan ikut mengais rezeki.
Baca juga : Evolusi di Balik Panggung Pertunjukan
”Kalau dulu setiap tampil penontonnya selalu ramai. Malah pentas bisa hampir setiap hari. Pada hari libur besar, WO Bharata bahkan tampil sampai tiga kali dalam sehari,” kenang Mulyani yang bergabung pertama kali sejak masih berusia 16 tahun dan menemukan tambatan hatinya, seorang pemain gamelan, di sana.
Kini, total kru dan pemain WO Bharata mencapai 148 orang. Tak semua tertampung tinggal di sisa 21 rumah yang ada. Sebagian memilih mengontrak di luar area kawasan Padepokan WO Bharata. Sebagian lagi tinggal di gedung aula yang juga ada di kawasan tersebut.
Aula itu dulu didirikan dan diresmikan tahun 1988 pada masa Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto. Gedung itu pernah berfungsi sebagai tempat berlatih para pemain wayang orang sebelum berpentas di gedung pertunjukan di Jalan Kalilio.
Beberapa tahun terakhir, gedung itu berubah fungsi menjadi tempat tinggal kru dan pemain. Di bagian dalamnya dibangun kamar-kamar darurat dengan sekat-sekat papan dan tiang kayu berpintu. Ukurannya rata-rata 3 meter x 3 meter. Setiap kamar umumnya dihuni satu keluarga dengan beberapa anak. Saat ini, di dalam gedung aula itu setidaknya terdapat 27 kamar darurat yang ditinggali hampir 30 keluarga.
Salah satu penghuninya adalah Imam Purnomo (52), salah seorang kru dekorasi panggung, yang kini tinggal bersama lima anaknya. Saat ditemui siang itu, Iman sedang duduk-duduk mempersiapkan alat pancingnya bersama yuniornya di WO Bharata, Arya Sentika (26).
Mereka sering memancing di Danau Sunter untuk sekadar mencari tambahan lauk. Sekali-sekali jika ada uang mereka juga mengadu peruntungan ikut lomba memancing di mana saja yang biaya pendaftarannya terjangkau.
Tinggal berdesak-desakan di lokasi itu sungguh tidak mudah. Saat jam tidur tiba, Imam sering kali memilih tidur di luar, di atas kursi kayu panjang di samping aula.
Kamar tempat Imam dan anak-anaknya tinggal sebelumnya juga dihuni ibunya, yang merupakan generasi kedua di WO Bharata. Dulu, dia bersama enam saudara kandungnya juga tinggal bersama kedua orangtuanya. Para penghuni aula juga harus bergantian untuk mandi-cuci-kakus karena hanya tersedia satu tempat.
Dalam kondisi seperti itu, para penghuni berusaha mempertahankan keguyuban dan sikap saling bantu. Termasuk, misalnya, saat tiba waktunya membayar sejumlah kewajiban, seperti iuran listrik dan air bersih. Iuran listrik berupa token biasanya akan dibayar bergantian lantaran satu instalasi meteran dipakai dua hingga tiga keluarga.
”Biasanya gantian saja, kalau beli token giliran pertama saya, nanti berikutnya yang lain. Tapi juga kalau misalnya saya atau dia sedang tak ada pemasukan, yang sedang punya rezeki diharapkan membayari. Pokoknya saling bantu saja, yang berpunya membantu yang enggak ada. Soalnya enggak semua juga punya pekerjaan atau pemasukan tambahan di luar,” tutur Imam, yang baru saja kehilangan pekerjaan sebagai petugas satpam apartemen.
Cerita Imam dibenarkan Arya, salah satu dari lima putra Wahyudi. Arya juga sudah berkeluarga dan kini masih berbagi tempat tinggal dengan orangtuanya. Arya, orangtua, dan keempat adiknya tinggal berdesakan di salah satu dari 21 rumah lama yang kini masih ditinggali.
Arya mengaku masih beruntung lantaran dirinya juga masih bisa bekerja di tempat lain, seperti manggung sebagai penari cabutan bersama beberapa rekannya sesama penari dari WO Bharata. Dia juga mengajar pencak silat untuk anak-anak walau belum dilakukan secara komersial.
”Ya, kalau lagi ada rezeki saya coba sedikit bantu-bantu, semisal membelikan token listrik buat Pak Imam. Atau juga kasih uang jajan untuk anak-anak. Kita semua saling pengertian saja,” tambahnya.
Lewat paguyuban
Hidup bersama dalam kondisi berdesak-desakkan kadang memicu konflik juga. Biasanya konflik yang muncul terkait pekerjaan atau hal yang bersifat pribadi. Untuk urusan seperti itu, baik Kenthus maupun Wahyudi menyebut biasanya mereka akan menyelesaikannya secara kekeluargaan dan keguyuban.
Kecemburuan dalam hal pekerjaan memang sangat mungkin terjadi ketika salah satu sering kebagian job di luar lewat WO Bharata, sementara yang lain tidak. Mereka lantas merasa dianaktirikan.
Kenthus mengatakan, tak bisa semua pemain atau kru diajak ketika ada pekerjaan pementasan di luar. Namun, pihak paguyuban punya kebijakan, yaitu honor yang didapat dari pementasan di luar akan dibagi secara adil, termasuk kepada mereka yang kali itu tak kebagian penugasan. Tak hanya itu, bahkan para senior yang sudah tak lagi produktif tampil di atas panggung lantaran kondisi kesehatan dan usia tua juga tetap diurus dan diperhatikan oleh paguyuban.
Para anggota sepuh diusahakan masih mendapat bagian honor walau tidak seberapa. Hal itu, menurut Kenthus, mau tak mau harus diupayakan mengingat para pemain senior tidak lagi dapat mengandalkan pendapatan rutin dari berpentas.
”Kasihan juga, kan, mereka tidak punya pensiun. Memang makin ke sini orang-orang yang akan diberi bagian jadinya semakin banyak karena jumlah pemain dan kru WO Bharata bertambah. Tapi, diupayakan semua dapat bagian secara adil. Malah kami di kepengurusan setiap Lebaran berusaha keras bagaimana caranya agar masih ada yang bisa dibagi-bagi untuk THR walau seadanya,” ujar Kenthus dengan nada suara prihatin.
Setiap pemain mendapat honor per pementasan di gedung pertunjukan WO Bharata. Besarannya beragam, mulai dari Rp 50.000 untuk kategori magang, Rp 100.000 untuk anggota muda, hingga Rp 200.000 untuk yang sudah senior. Nilai honor akan dievaluasi dan ditingkatkan levelnya oleh pihak paguyuban jika memang dinilai si pemain sudah semakin terampil dan tampil baik.
Untuk memberi motivasi, sebagai ketua paguyuban, Kenthus beserta sejumlah pemain senior kerap berbagi pengalaman dan memberi wejangan. Dari pengalaman Kenthus, penampilan terbaik serta kerja keras yang dilakukan saat tampil bersama WO Bharata bisa dijadikan semacam etalase pribadi dari setiap pemain.
Dari sana, orang luar akan melihat dan kemudian tertarik mengajak kerja sama di luar, yang akan memberi penghasilan. Hal itu dialami sendiri oleh Kenthus, yang sempat malang melintang terlibat dalam acara televisi terkenal, Ketoprak Humor. Penampilannya sempat menarik perhatian Presiden KH Abdurrahman Wahid di salah satu pementasan yang melibatkan dirinya.
”Beliau saat itu ikut menonton dan tertarik mendengar suara saya. Oleh ajudan beliau, saya dibawa bertemu dan kami sempat mengobrol,” ujar Kenthus.
Dari rekomendasi Gus Dur, dia bersama 70 seniman panggung lain di beberapa daerah direkrut dan diangkat menjadi pegawai negeri sipil walau tak spesifik berkantor di instansi tertentu. Mulai tahun 2000 hingga kini, Kenthus bertugas sebagai aparatur sipil negara (ASN) di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Kawin-mawin
Interaksi intens sesama pemain dan kru WO Bharata yang tinggal di satu kawasan itu membentuk kedekatan. Di antara mereka bahkan terjalin hubungan kekerabatan baru dalam bentuk pernikahan, terutama di antara generasi yang lebih muda. Kenthus dan Wahyudi adalah salah satu contoh produk cinta yang bersemi di lokasi Padepokan WO Bharata. Namun, kawin-mawin di antara anggota WO Bharata pada akhirnya menuntut perhatian dan pertimbangan lain, terutama soal di mana dan bagaimana keluarga baru itu akan tinggal setelahnya.
”Enggak semua dari kami mampu mengontrak di tempat lain. Jika memungkinkan memang akhirnya ikut tinggal bersama dengan keluarga orangtuanya di sini, seperti juga dialami anak tertua saya sekarang,” kata Kenthus.
Dari total 148 pemain dan kru WO Bharata, 80 persen tinggal di area permukiman yang masuk wilayah administrasi RT 012 itu. Meski tidak ada aturan yang memaksa semua pemain dan kru untuk tinggal di satu tempat seperti sekarang, kondisi tersebut dinilai memudahkan dalam hal koordinasi jelang setiap pertunjukan.
Pementasan beberapa tahun terakhir hanya dilakukan setiap akhir pekan. Biasanya, setiap Senin malam, terutama para pemain akan kembali berkumpul membahas rencana pementasan berikutnya, termasuk tahapan bedah naskah.
”Di sini ini banyak kalangan bangsawan, Mas, tapi yang artinya bangsane tangi awan alias biasa bangun siang. Memang biasanya kami-kami ini kalau sudah ngumpul sejak sore itu bisa sampai tengah malam. Makanya, bangun tidur baru siang-siang, ha-ha-ha,” ujar Wahyudi berkelakar.
Jika dihitung sejak angkatan awal pendirian WO Bharata, kini para kru dan pemain sudah masuk kategori angkatan kesembilan. Angkatan terkecil berusia sekitar anak sekolah dasar.
Seperti juga angkatan kakak-kakaknya, banyak dari mereka yang punya kemampuan menari dan memainkan karakter dalam pentas wayang orang. Hal itu terutama karena pengaruh lingkungan dan pengamatan sehari-hari. Darah seni mengalir deras dari generasi ke generasi.
”Yang kami bangga, bahkan mulai dari angkatan ke-7 dan ke-8, mereka adalah anak-anak kelahiran ibu kota Jakarta, yang budaya dan bahasanya sudah ibaratnya lu gue. Tapi, mereka masih mau dan bisa berbahasa Jawa, yang bahkan halus saat pentas, termasuk menguasai gerakan tarian yang sulit. Padahal, tidak ada yang secara resmi diajari atau diwajibkan belajar,” tutur Kenthus.
Hal itu diyakininya terjadi lantaran mereka lahir, tumbuh, dan menjadi remaja lalu dewasa di lingkungan yang kental dengan tradisi berkesenian dan pementasan. Bahkan, saat bermain pun, anak-anak seolah meniru karakter yang biasa mereka tonton, menari dan bergerak sesuai lakon yang dimainkan.