Masa-masa bersandiwara dan hidup berkumpul dalam satu atap seperti era Dardanella, Miss Tjitjih, Teater Kecil, Bengkel Teater Rendra, dan Teater Populer sudah memudar.
Oleh
NAWA TUNGGAL, ELSA EMIRIA LEBA, PUTU FAJAR ARCANA, MOHAMMAD HILMI FAIQ
·6 menit baca
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Komedian Cak Lontong (memakai masker) bersama sejumlah pemain lain tampil dalam pentas bertajuk Tabib Suci, Minggu (20/2/2022), di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, Kota Yogyakarta. Pentas itu merupakan bagian dari seri pertunjukan Indonesia Kita yang digagas oleh seniman Butet Kartaredjasa dan Agus Noor. Pentas Tabib Suci menjadi pentas perdana Indonesia Kita setelah dua tahun absen karena pandemi Covid-19.
Cara para pelaku seni pertunjukan menyikapi proses kerja di atas panggung terus berevolusi. Masa-masa bersandiwara dan hidup berkumpul dalam satu atap seperti era Dardanella, Miss Tjitjih, Teater Kecil, Bengkel Teater Rendra, dan Teater Populer sudah memudar. Kini, para pelaku teater baru bertemu sesaat menjelang pementasan.
Pentas-pentas Indonesia Kita dan Teater Koma didukung oleh para pemain yang tinggal di sejumlah wilayah. Mereka baru berkumpul untuk berlatih beberapa bulan atau bahkan beberapa hari sebelum pentas. Secara lebih spesifik, Titimangsa, yang didirikan aktris Happy Salma, hampir selalu meminta sutradara dan aktor-aktor dari kelompok berbeda.
”Kami bukan sanggar, melainkan manajemen penyelenggara pentas seni,” kata Happy Salma. Pendekatan manajemen, katanya, setidaknya menjadi siasat yang tepat untuk menyikapi memudarnya ”kebiasaan” hidup dalam satu sanggar, serta kesulitan berkumpul karena problem jarak dan waktu.
Di markas Teater Koma di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, selain keluarga Nano Riantiarno, pendiri kelompok teater tersebut, sekarang hanya ada satu orang yang tinggal di sana. Kesibukan di sanggar baru terlihat minimal sebulan sebelum pementasan.
”Teater Koma memang tidak pernah merancang para pemainnya untuk tinggal di asrama meskipun sejak awal pendirian 45 tahun silam banyak pula dari mereka yang belum menikah tinggal di sanggar,” ujar Nano Riantiarno, Jumat (19/8/2022).
KOMPAS/RIZA FATHONI
Adegan dalam gladi bersih pementasan teater Sampek Engtay karya Nano Riantiarno di Ciputra Artpreneur, Jakarta, Jumat (4/3/2022). Teater Koma akhirnya memenuhi janji untuk menggelar pertunjukan lakon Sampek Engtay setelah tertunda hampir dua tahun lamanya karena pandemi. Pertunjukan ini berlangsung pada 5 sampai 6 Maret 2022 di Ciputra Artpreneur Theatre, Jakarta. Sampek Engtay diselenggarakan dengan tetap menjalankan protokol kesehatan yang ketat.
Nano mengingat-ingat, pada masa awal Teater Koma bermarkas di rumah mertua di bilangan Setia Budi, Jakarta Selatan. Di situ tidak ada asrama, tetapi tersedia ruang kosong yang sering ditinggali sekitar 10 pemain Teater Koma yang masih lajang.
Ketika markas Teater Koma pindah ke Bintaro tahun 1995, di situ juga tidak pernah dirancang seperti asrama. Hanya tersedia ruang kosong yang pada akhirnya banyak digunakan untuk tinggal oleh beberapa pemain yang masih lajang.
”Tempat itu pada akhirnya menjadi seperti asrama. Kami tinggal bersama dan makan pun bersama,” ujar Nano, yang kini sedang mempersiapkan pementasan lakon Rara Djonggrang, 15-17 Oktober 2022, di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
Nano menceritakan, banyak di antara aktornya kemudian ”menetap” di markas teater. Bahkan, beberapa dari mereka tidak pulang ke rumah orangtua masing-masing saat Lebaran.
”Selama mereka berada di sanggar, intensitas pertemuan saya dengan mereka itu sungguh luar biasa. Di luar jadwal latihan, kami selalu memperbincangkan dunia teater,” ujar Nano, yang menaruh buku pribadi di tiga lemari di sanggar.
Kini, musim romantika berteater dan hidup bersama di satu atap sudah memudar. Banyak hal yang bisa dicatat sebagai penyebabnya. Salah satunya, kehidupan berumah tangga di antara para pelakunya.
”Di sanggar ada ketentuan, bagi yang sudah menikah, tidak boleh tinggal. Setelah latihan atau mengurus suatu keperluan di sanggar, mereka harus pulang ke rumah masing-masing,” ujar Nano.
ARSIP ANGELIKA HUBER
Pegiat Opera Batak saat tampil di luar negeri.
Kadang kala, kebutuhan untuk bisa tinggal bersama itu, selain terkendala dana, juga karena faktor geografis. Ini, misalnya, dialami Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) yang dipelopori Thompson Hs dan didukung Barbara Brouwer, Lena Simanjuntak, dan mendiang Sitor Situmorang. Pegiat PLOt tersebar di Sumatera Utara, mulai dari Medan, Pematang Siantar, Balige, sampai Tarutung. Tatkala hendak pentas, sering kali mereka latihan berdasarkan daerah. Baru kemudian berkumpul di satu tempat untuk kemudian manggung. PLOt berulang kali manggung di luar negeri. Akhir 2017 hingga awal 2018, mereka tampil di Jerman, Belanda, dan Spanyol.
”Waktu hendak ke luar negeri, kami kadang menyewa tempat di Medan untuk latihan bersama, tetapi ini jarang. Lebih sering latihan di tempat masing-masing,” kata Thompson.
Bagi Thompson, strategi tersebut masih efektif mengingat PLOt ini semacam organisme yang terus tumbuh.
Manajemen modern
Salah satu penggagas program seni Indonesia Kita, Agus Noor, mengungkapkan, Indonesia Kita bukanlah kelompok teater. Indonesia Kita itu suatu program dengan sistem manajemen modern agar operasional berjalan secara efektif dan efisien.
”Di sini tidak ada otoritas tunggal sebagai pengambil keputusan layaknya kelompok teater konvensional,” ujar Agus Noor, yang kerap menulis naskah untuk pementasan-pementasan Indonesia Kita.
ARSIP TITIMANGSA FOUNDATION
Debat antara penguasa Banda Naira Kloosterhuis (Willem Bevers) dan Sjahrir (Reza Rahadian) dalam lakon Mereka yang Menunggu di Banda Naira, Kamis (13/1/2022)
Agus lebih leluasa mengajak seniman multidisiplin dari berbagai kota untuk berkolaborasi. Ada nama Sujiwo Tejo, Happy Salma, Didi Petet, atau Wulan Guritno yang pernah diajak berkolaborasi untuk suatu pentas. Kemudian pernah juga mengajak komunitas seni pertunjukan dari Bandung, Surabaya, Makassar, Padang, dan Aceh.
”Indonesia Kita tidak menerapkan konsep tinggal bersama dalam jangka panjang bagi para pemain. Itu masih konsep sanggar,” ujar Agus Noor.
Dengan manajemen modern itulah, para pemain Indonesia Kita bisa latihan di mana saja. Kemudian di saat tertentu berkomitmen untuk bertemu menjelang pentas bersama.
Indonesia Kita memiliki markas di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Namun, markas ini lebih banyak digunakan sebagai kantor untuk kerja administrasi, promosi, dan desain. Pentas Indonesia Kita biasanya minimal empat kali dalam setahun. Produksi satu lakon biasanya memakan waktu selama dua hingga tiga bulan.
”Di saat forum ini mendapat gedung untuk pentas, proses produksi pun dimulai dan menentukan para pemain untuk diajak berkolaborasi,” ujar Agus.
Pihak manajemen Indonesia Kita kemudian menjelaskan butir-butir kesepakatan, di antaranya terkait bayaran dan fasilitas kepada para pemain, seperti konsumsi dan transportasi. Jika sepakat, kerja sama berlanjut.
”Istilahnya, para pemain menjadi semacam pekerja kontrak kalau di dunia korporat,” ujar Agus.
Indonesia Kita menerapkan sistem latihan parsial atau terpisah-pisah. Seperti studio tari untuk para penari, studio musik untuk para penyanyi dan pemusik yang berbeda lokasi.
Adegan teatrikal pun disusun sedemikian rupa sehingga semua pemainnya tidak terikat harus bertemu satu sama lain. Pemain dan pasangan dialog berlatih sendiri dengan menyesuaikan keperluan.
”Nanti, mereka semua baru bertemu saat latihan gabungan yang dimulai empat hari sebelum pentas. Ini semua agar biaya produksi tidak membengkak,” ujar Agus.
Para pemain akan mendapat fasilitas hotel di sekitar tempat pementasan. Lokasinya harus dekat supaya tidak lelah untuk menjangkau lokasi pentas. Mereka juga harus melakukan gladi bersih sebelum pementasan.
”Keputusan untuk tidak menerapkan konsep tinggal bersama tidak berdampak pada kualitas produksi. Nyatanya, pertunjukan Indonesia Kita selalu full house, dipenuhi penonton,” kata Agus.
Penerapan seperti sistem kerja kontrak Indonesia Kita ini terbukti efektif. Para pemainnya tetap menunjukkan sikap profesional lantaran hak serta kewajiban mereka jelas.
”Setiap kelompok teater mencoba membangun sistem mereka sendiri. Namun, saya kira, sekarang jarang ada yang tinggal bareng. Sistem yang kami terapkan kami anggap ideal karena ongkos produksinya juga menjadi lebih ringan,” tutur Agus.
Ketika harus tinggal bersama, tidak tahu siapa yang akan memberi makan setiap hari. Juga siapa yang harus menanggung kebutuhan tinggal dan biaya hidup per bulan, apalagi ketika tidak ada pentas.
”Saya pribadi juga mempertanyakan, kalau tinggal di satu tempat, saya akan mendapatkan apa? Saya juga punya kebutuhan hidup yang lain,” kata Agus.