Hidup Kolektif di Balik Pentas, Siapa Takut...
Hidup mereka berputar di markas teater, mulai makan, tidur, latihan, sampai beranak pinak. Tidak semua seniman sanggup menjalani kehidupan semacam itu karena ada konsekuensinya, yakni bisa terseret dalam kemiskinan.
Zaman telah berubah. Tetapi masih ada pelakon dan orang-orang panggung yang berhasrat menjalani hidup bersama dalam suka dan duka, dalam luka serta derita. Apa yang mereka cari?
Senin (15/8/2022), keringat tumpah di ruang latihan Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI) Dance Company di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan. Sejak pagi, belasan penari berulang-ulang melatih koreografi untuk pentas musikal tari Ken Dedes yang akan digelar Minggu (21/8/2022) malam di Ciputra Artpreneur, Jakarta. Pentas itu merupakan bagian dari Festival Musikal Indonesia pada 20–21 Agustus 2022.
Latihan baru selesai ketika jam makan siang tiba. Dari, ruang latihan, sebagian penari melangkah ke ruang makan atau kamar pribadi mereka yang sempit dan bercahaya redup. Esok hari, mereka menjalani lagi rutinitas yang kurang lebih sama: latihan, makan, istirahat, menikmati waktu luang, latihan lagi, dan pentas.
Tidak terasa, Gede Juliantara (51) sudah 26 tahun menjalani rutinitas seperti itu bersama penari lain di EKI Dance—sebuah perusahaan seni musikal tari yang didirikan Rusdy Rukmarata (60) pada 1996. Gede termasuk penari EKI Dance paling senior yang masih tinggal di asrama bersama 15 penari lainnya.
Gede, yang berasal dari Bali, bergabung dengan EKI Dance lewat sebuah audisi. Sejak saat itu, ia menjalani rutinitas keseharian dengan disiplin ketat di markas EKI Dance. Setiap hari, mereka berlatih 8-10 jam dalam lima sesi yang terdiri dari latihan tari, koreografi, dialog, hingga belajar teori. Pukul 23.00, para penari harus sudah tidur.
”Kalau jam segitu masih ada yang berisik, Mas Rusdy akan cek ke kamar,” kenang alumnus Jurusan Seni Rupa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Udayana di Singaraja itu.
Saat itu, lanjut Gede, para penari yang berjumlah 16 orang tinggal di satu ruangan. Tempat tidur penari laki-laki dan perempuan hanya dipisah dengan sekat. Pada 1999, barulah dibangun kamar-kamar untuk para penari yang ditinggali hingga saat ini.
Di kamar yang sempit dan bercahaya redup itulah, para penari menjalani keseharian selama bertahun-tahun dengan aneka aturan, termasuk melarang penari berpacaran satu sama lain. Beruntung larangan berpacaran kini sudah dicabut.
Jalan hidup seperti itu tidak selalu bisa dipahami oleh keluarga para penari. ”Sampai sekarang orangtua saya masih mengharapkan saya pulang dan bekerja di Bali. Tetapi, saya tetap memilih di sini karena bagi saya EKI Dance juga sebuah keluarga,” tutur Gede.
Yuliani, penari yang bergabung dengan EKI Dance tahun 1999, juga pernah menghadapi persoalan serupa. Kedua orangtuanya yang tinggal di Pluit. Jakarta Utara, tidak menghendaki anaknya tinggal di asrama EKI Dance. ”Sampai lima tahun kemudian, orangtua masih belum setuju, tetapi pada akhirnya hati mereka luluh juga,” tutur Yuliani yang kini telah menikah dan memilih tinggal di luar asrama.
Hidup bersama juga dijalani anggota Komunitas Celah Celah Langit (CCL) yang didirikan aktor Iman Soleh pada 22 Mei 1998. Mereka tinggal di kamar kos-kosan yang terletak di sebuah gang sempit di belakang Terminal Ledeng di kawasan Jalan Setiabudi, Bandung. Di tempat itu terdapat saung tempat komunitas CCL berlatih.
Para anggota komunitas datang dari Samosir, Malang, Bali, Garut, Tasikmalaya, serta kota-kota di Indonesia. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang luntang-lantung di Bandung tanpa pekerjaan atau kegiatan yang jelas. Mereka lantas ditampung di kos-kosan milik orangtua Iman. ”Bahkan makan minum juga dijamin, ha-ha-ha,” ujar Iman, Jumat (19/8/2022).
Sekarang, setidaknya masih ada 7-10 orang yang menetap di kos-kosan itu. ”Saya tidak hafal siapa mereka karena mereka datang dan pergi,” ujar aktor yang pernah ”nyantrik” selama 4 tahun di Teater Kecil pimpinan Arifin C Noer.
Iman mewajibkan anggota CCL sekolah dan berlatih teater agar bisa menghayati makna kehidupan. Latihan teater digelar tiga hari dalam seminggu. Saat ada pentas, latihan digelar setiap hari.
Berjejalan
Kelompok Wayang Orang (WO) Bharata, yang tahun ini merayakan ulang tahun ke-50, juga masih menjalani hidup bersama. Sebagian besar dari 148 anggotanya masih tinggal di Padepokan WO Bharata yang berupa perkampungan sederhana dengan 68 rumah ukuran 21 meter persegi di Sunter, Jakarta Utara.
Rumah-rumah itu dibangun sekitar empat dekade lalu kala pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 1972. Namun, saat ini yang ditempati anggota WO Bharata tinggal 21 rumah. Sisanya telah berpindah ke tangan orang lain. ”Yang rumahnya dijual biasanya karena memang sudah sepuh dan tidak lagi aktif tampil berpentas,” ujar Teguh Ampiranto alias Kenthus, Ketua Paguyuban WO Bharata.
Anggota yang tidak memiliki rumah, tinggal di aula latihan di Padepokan WO Bharata. Aula itu didirikan pada 1988 di masa Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto sebagai tempat berlatih sebelum WO Bharata pentas di gedung pertunjukan di Jalan Kalilio, dekat Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Beberapa tahun yang lalu, aula itu berubah fungsi menjadi tempat tinggal kru dan pemain. Bagian dalam aula disekat-sekat menjadi kamar-kamar darurat berukuran 3 meter x 3 meter. Ada 27 kamar darurat yang ditinggali sekitar 30 keluarga.
Salah satu penghuninya adalah Imam Purnomo (52), kru dekorasi panggung WO Bharata. Di ruang sesempit itu, ia tinggal berjejalan dengan lima anaknya. Sering kali, Imam tidur di luar kamar, di atas kursi panjang di samping luar aula. Kamar yang ditinggali keluarga Imam sebelumnya dihuni ibunya, generasi kedua anggota WO Bharata. Dahulu, ia bersama enam saudaranya juga tinggal berjejalan di sana.
Di masa jayanya, pentas WO Bharata bisa pentas setiap hari di Jalan Kalilio. Pada hari libur besar, grup ini bisa tampil tiga kali dalam sehari. Dari situ, uang mengalir ke kocek-kocek pemain dan kru pendukung. Kini, pentas-pentas seperti itu tinggal kenangan. Untuk bertahan hidup, sebagian anggota WO Bharata mencari penghasilan dari mengajar tari, jadi petugas satpam, hingga bekerja serabutan.
Kehangatan
Tinggal bersama di satu tempat dulu lazim dilakoni kelompok-kelompok kesenian dan dan teater. Sutradara dan aktor teater Genthong HAS (77) mengatakan, tinggal bersama dijalani sebagai bagian dari lelaku hidup seorang seniman dan cermin totalitas dalam berkesenian. Hidup mereka berputar di markas teater mulai makan, tidur, latihan, sampai beranak pinak. Tidak semua seniman sanggup menjalani kehidupan semacam itu karena ada konsekuensinya, yakni bisa terseret dalam kemiskinan.
”Saya hidup 50-an tahun di teater, duit saya mestinya bisa jadi rumah atau mobil. Tapi semuanya habis untuk teater. Enggak punya duit ya biasa saja. Herannya saya enggak pernah enggak bisa makan tiga kali sehari,” ujar Genthong yang malang melintang di dunia teater sejak tahun 1960-an. Dalam rentang waktu itu, sebagian hidupnya dijalani bersama di markas-markas teater.
Kekuatan dalam model hidup bersama semacam itu adalah kolektivitas. Pahit manis kehidupan ditanggung bersama. Para penghuni bilik-bilik sempit di aula Padepokan WO Bharata biasa bergotong royong membayar iuran listrik dan air bersih. ”Biasanya bayar gantian saja. Kalau saya kena giliran pertama beli token listrik, berikutnya yang lain. Tapi kalau saya atau lainnya sedang tidak ada pemasukan, yang sedang punya rezeki diharapkan membayari,” ujar Imam.
Keguyuban semacam itu yang membuat anggota komunitas kesenian sanggup menjalani hidup bersama selama bertahun-tahun. Gede mengatakan, di EKI Dance, hampir setiap malam Rusdy Rukmarata dan istrinya, Aiko Seno Soenoto, mendatangi dan mengajak ngobrol para penari di ruang istirahat. Kehangatan semacam itu bahkan tidak ia temukan di keluarganya.
Meski begitu, bukan berarti tidak ada konflik yang muncul dalam laku hidup bersama. Nala Amrytha (26), penari EKI Dance, menceritakan, gesekan antaranggota tetap muncul. Pemicunya, antara lain, soal persaingan dalam mendapat peran, asmara, dan cinta segitiga. Persoalan semacam itu bisa mengacaukan hubungan satu sama lain, terutama di saat-saat latihan.
Setiap ada persoalan, Rusdy dan Aiko berusaha membicarakannya secara terbuka agar ditemukan solusinya. Mereka menempatkan diri sebagai orangtua yang bijak. ”Saya selalu menyampaikan tujuan utama mereka sebagai seniman tari dan mengarahkan kembali ke sana,” ujar Rusdy.
Ia mengakui, menjadi figur pengganti orangtua bagi mereka tidaklah mudah. Setiap saat, persoalan muncul silih berganti. Ketika pinjaman online (pinjol) bermunculan, ada anggotanya yang terjerat. Terpaksa manajemen EKI Dance menutupi utang itu.
Selama ini, manajemen EKI Dance memberikan pendapatan bulanan untuk setiap penarinya yang nilainya melebihi UMR DKI Jakarta ditambah beberapa fasilitas. Setiap kali ada pementasan, para penari memperoleh pendapatan lain. Mereka juga diberikan kebebasan mencari tambahan penghasilan dari kerja sampingan, seperti main film atau iklan.
Kehidupan bersama komunitas teater bukan sekadar romantisisme. Iman Soleh, pendiri CCL yang juga dosen ISBI Bandung, menuturkan, banyak masalah dalam hidup yang tidak bisa memecahkan sendiri dan membutuhkan kehadiran orang lain. ”Di sini saya menangani sampai pada hal-hal yang sangat pribadi, termasuk menikahkan para anggota CCL, jadi walinya, dari melamar sampai membuat resepsi pernikahan, ha-ha-ha…,” ujar Iman.
Iman mengatakan ia tidak tahu pasti sampai kapan model hidup bersama dalam kelompok kesenian, terutama teater modern, akan bertahan. Ia tahu pasti, sudah banyak kelompok dengan model serupa yang tidak lagi menerapkan pola yang sama. ”Pokoknya kita jalan saja,” katanya.
Di zaman sekarang ketika kebanyakan orang mengagung-agungkan individualisme, hidup bersama secara kolektif seperti yang dijalani komunitas kesenian dan teater memang terdengar absurd. Siapa takut!