Anak-anak yang lahir dari ibu remaja yang kekurangan gizi berisiko lebih tinggi mengalami perkembangan yang buruk.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Anak-anak yang lahir dari ibu remaja kekurangan gizi berisiko lebih tinggi mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang buruk. Konsekuensinya menyebabkan anak menjadi tengkes atau stunting. Memberdayakan remaja sebagai agen perubahan diharapkan dapat mencegah kejadian tengkes sejak dini.
”Kami ingin memutus rantai itu. Jika remaja teredukasi mengenai stunting, harapannya dapat mengurangi angka stunting,” kata Wakil Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI) Nani Nurhaeni dalam acara Bincang Bareng Pengabdi di UI Depok, Jawa Barat, Kamis (3/11/2022).
Ia memaparkan hasil penelitian saat pengabdian dan pemberdayaan masyarakat di Desa Batu Nampar Selatan, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Penelitian tersebut dilatarbelakangi angka prevalensi tengkes di Desa Batu Nampar Selatan yang melewati angka prevalensi tengkes nasional, yaitu 39,34 persen. Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia tahun 2021 yang dilaksanakan Kementerian Kesehatan, angka prevalensi tengkes di Indonesia pada 2021 sebesar 24,4 persen.
Ibu-ibu yang masak nasi, ikan goreng, dan sayur bisa menghaluskan makanan tersebut untuk anak balitanya. Kami menyesuaikan dengan bahan lokal yang ada di sana, seperti ikan dan kangkung.
Nani bersama timnya juga melakukan penelitian dengan meningkatkan kapabilitas remaja dalam mencegah tengkes melalui Remaja Laskar CegahStunting (Rela Ceting). Penelitian dilakukan pada remaja perempuan usia 10-18 tahun karena pernikahan dini di desa dengan luas 2,99 kilometer persegi itu cukup tinggi, yaitu sejak usia 12 tahun.
Penelitian dilakukan dengan memeriksa hemoglobin (Hb) pada remaja perempuan berjumlah 22 orang. Dari hasil pemeriksaan Hb tersebut terdapat remaja dengan hasil normal, di bawah normal, dan di bawah batas normal. Pemeriksaan Hb dilakukan karena banyak remaja yang tidak sadar dengan kadar Hb di dalam darahnya sehingga menyebabkan anemia. Selain itu, edukasi mengenai Hb pada remaja dilakukan karena nantinya remaja akan menjadi ibu sehingga tengkes dapat dicegah sejak remaja.
”Kalau Hb-nya tidak normal, akan berpengaruh pada peredaran darah sehingga menyebabkan anemia dan kekurangan gizi. Ke depan akan memengaruhi perkembangan janin sehingga dapat dicegah sejak dini,” ucap Nani.
Selain pemeriksaan, tambah Nani, terdapat pengenalan mengenai tengkes, penyebab, dampak, dan pencegahan tengkes, serta peran remaja Rela Ceting. Lalu penelitian itu juga menghasilkan prototipe aplikasi Rela Ceting. Di dalam aplikasi tersebut terdapat penjelasan mengenai tengkes, hubungan remaja dengan tengkes, dan pemeriksaan mengenai anemia.
Remaja yang datang juga diminta komitmennya dengan penandatanganan komitmen Rela Ceting. ”Mereka jadi agen perubahan dan harus menularkan ilmu yang didapat kepada remaja lainnya,” ujarnya.
Makanan
Anggota tim peneliti lainnya, La Ode Abd Rahman, mengatakan, selain memeriksa remaja, peneliti FIK UI juga melakukan edukasi terhadap ibu yang memiliki anak balita di Desa Batu Nampar Selatan. Edukasi dilakukan dengan tujuan mengubah paradigma makanan pendamping ASI. Tim peneliti melakukan demonstrasi membuat makanan pendamping ASI bernama rempah lombok.
Rahman menyebutkan, masyarakat di sana banyak yang tidak mengetahui bahwa makanan yang ada di rumah bisa menjadi pendamping ASI. Ibu-ibu menganggap makanan pendamping ASI harus dibeli atau membuat makanan baru. Selain itu, banyak ibu yang memberikan makanan pendamping ASI yang instan. Padahal, makanan pendamping ASI tersebut tidak terpenuhi gizinya. Ibu-ibu tidak perlu ribet karena bisa memanfaatkan makanan yang ada di rumah sehingga bisa masak satu kali untuk sekeluarga.
”Ibu-ibu yang masak nasi, ikan goreng, dan sayur bisa menghaluskan makanan tersebut untuk anak balitanya. Kami menyesuaikan dengan bahan lokal yang ada di sana, seperti ikan dan kangkung,” katanya mencontohkan.
Pakar nutrisi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Rina Agustina, mengungkapkan, tingginya angka tengkes di Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh perilaku makan, di samping pola asuh serta pola hidup bersih dan sehat. Di dalam tubuh manusia terdapat saluran pencernaan yang fungsinya bisa terganggu akibat makan makanan yang tidak sehat, infeksi, peradangan, dan sebagainya.
Hal itu membuat Rina memberikan pendidikan intervensi probiotik dan mikronutrien untuk kesehatan, pertumbuhan, dan perkembangan otak. Edukasi dilakukan dengan mengubah perilaku ibu lewat permainan, aplikasi, dan pendekatan ke masyarakat seperti ibu hamil, ibu menyusui anak, dan anak balita.
Ia membuat modul yang dibagikan khusus untuk ibu hamil dan menyusui dengan usia anak hingga 24 bulan. Dalam modul tersebut diberitahukan bagaimana seharusnya makanan yang sehat. Kemudian ketika menyusui apa yang harus dimakan dan harus diperhatikan untuk melakukan pola asuh terhadap anak.
”Mereka tidak makan dua kali lipat, tetapi harus ada penambahan protein, energi, kalori, dan zat gizi mikro. Yang terpenting stimulasi psikososial karena makan saja kalau ditingkatkan, tidak cukup agar anaknya cerdas. Anak bagus tumbuhnya, kalau tidak cerdas sangat disayangkan,” katanya.
Selain itu, penyampaian informasi mengenai gizi ke masyarakat harus simpel. Ia menjelaskan, penyampaian dapat berupa permainan puzzle yang di dalamnya ada informasi mengenai makanan sehat. Selain itu, bisa dengan drama, orangtua dan guru terlibat menceritakan dan anak yang memperagakan.
”Yang terpenting adalah lingkungan makanannya, kita bisa menyediakan makanan sehat. Kita sering kasih edukasi, tetapi makanan sehatnya tidak tersedia. Seperti Jakarta susah cari makanan sehat. Seharusnya pemerintah mulai melakukan program subsidi UMKM atau produsen yang mau mengembangkan makanan sehat,” ujarnya.