Data BPS menunjukkan, kemiskinan di perdesaan lebih tinggi ketimbang kemiskinan di perkotaan. Tahun 2021, sebanyak 7,6 persen penduduk perkotaan jatuh dalam kategori miskin, di perdesaan angkanya adalah 12,52 persen.
Oleh
SIWI NUGRAHENI
·4 menit baca
Salah satu tantangan pembangunan sumber daya manusia Indonesia, termasuk di perdesaan, adalah mengatasi stunting atau tengkes. Data menunjukkan prevalensi stunting di Indonesia pada 2021 adalah 24,4 persen, masih di atas angka acuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 20 persen.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi, infeksi berulang, dan tidak mendapat cukup stimulasi psikososial sejak mereka berada dalam kandungan sampai 1.000 hari pertama kehidupannya. Stunting tidak hanya berakibat pada rendahnya kualitas kesehatan fisik, tetapi juga terganggunya perkembangan intelektual ketika anak-anak tersebut dewasa. Pendeknya, stunting berdampak negatif pada kualitas sumber daya manusia.
Penanggulangan tengkes merupakan salah satu prioritas Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) yang tecermin dalam penggunaan dana desa untuk mengatasi tengkes sejak 2018. Kemendesa PDTT juga menerbitkan beberapa buku saku pedoman mengatasi tengkes yang berisi daftar kegiatan dan indikator keberhasilan program penanganannya dengan cukup rinci.
Kemampuan dan pengetahuan
Secara garis besar ada tiga penyebab tengkes, yaitu ketidakmampuan, ketidaktahuan, dan ketidakmauan. Ketidakmampuan penduduk biasanya dikaitkan dengan kemiskinan. Penduduk miskin tidak mampu menyediakan makanan bergizi bagi ibu hamil dan anak-anak balita mereka serta tidak mampu menyediakan fasilitas sanitasi yang memadai sehingga rentan pada penyakit, yang ujungnya adalah tengkes.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, kemiskinan di wilayah perdesaan lebih tinggi ketimbang kemiskinan di wilayah perkotaan. Tahun 2021, sebanyak 7,6 persen penduduk perkotaan jatuh dalam kategori miskin, sementara di perdesaan angkanya adalah 12,52 persen. Data indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan juga menunjukkan bahwa kondisi di perdesaan lebih intensif dibandingkan dengan kondisi di perkotaan.
Berbagai program untuk mengangkat kesejahteraan penduduk akan berkaitan dengan penanggulangan tengkes yang disebabkan oleh ketidakmampuan secara ekonomi. Selain itu, intervensi pemerintah desa dilakukan dalam bentuk penyediaan makanan bergizi dan vitamin pada waktu-waktu tertentu untuk ibu hamil dan anak balita. Semua kegiatan tertera di buku panduan Kemendesa PDTT yang sedang dan sudah dijalankan.
Penyebab kedua adalah ketidaktahuan. Untuk mencegah tengkes diperlukan makanan dengan gizi seimbang, tidak hanya karbohidrat, tetapi juga protein, vitamin, dan mineral. Dalam hal konsumsi protein, misalnya, data dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS tahun 2021 menunjukkan, rata-rata konsumsi protein orang Indonesia (semua usia) adalah 22 gram per hari (setara dengan 237 kkal).
Ini jika diasumsikan sumber protein adalah ikan dan makanan laut lain, susu dan telur, daging, serta kacang-kacangan. Jika dilihat berdasarkan wilayah perkotaan dan perdesaan, angkanya adalah 257 kkal (perkotaan) dan 211 kkal (perdesaan).
Tingkat konsumsi sebesar 22 gram per hari hanya ideal untuk memenuhi kebutuhan protein kelompok anak usia 4-6 tahun. Kebutuhan akan protein meningkat seiring meningkatnya usia. Orang dewasa pada usia produktif (19-65 tahun) memerlukan 60 gram sampai 65 gram per hari. Dari angka-angka tersebut dapat disimpulkan bahwa kebutuhan protein untuk anak-anak balita, terutama anak balita di perdesaan, jauh di bawah angka ideal.
Untuk meningkatkan pengetahuan akan makanan dengan gizi seimbang, pemerintah desa melakukan intervensi lewat pelatihan dan konseling bagi penduduk yang menjadi target: ibu hamil dan orangtua yang memiliki anak balita. Barangkali perlu pula digalakkan kampanye tentang makanan bergizi, seperti kampanye ”makan ikan” ketika Susi Pudjiastuti menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Kemauan
Berbagai kebijakan mengatasi tengkes sudah dan sedang dilakukan. Meskipun demikian, perlu dipikirkan keberlanjutan kebijakan tersebut dalam jangka panjang ketika semua intervensi pemerintah sudah dicabut. Artinya, penduduk akan bersedia melakukan upaya-upaya mencegah tengkes secara mandiri dan sukarela.
Ketika pola hidup sehat dalam jangkauan penghasilan penduduk, dan pengetahuan mereka akan pola hidup sehat juga memadai, maka keberlanjutan upaya-upaya mencegah tengkes bergantung pada kemauan penduduk. Barangkali tahap inilah yang justru paling menantang: menanamkan pemikiran bahwa pencegahan tengkes adalah kebutuhan penduduk dan oleh karena itu mereka akan melakukan segala upaya untuk mencapainya. Menyadarkan bahwa mencegah tengkes adalah kebutuhan penduduk dan bukan kepentingan pemerintah memerlukan kepiawaian para kader pembangunan manusia (KPM) di desa-desa dalam melakukan pendampingan.
Kesediaan penduduk melakukan upaya-upaya pencegahan tengkes juga dipengaruhi oleh tingkat kemudahan untuk melakukannya. Ketercukupan gizi makanan, misalnya, akan makin mudah dan murah dilakukan jika menggunakan sumber pangan lokal wilayah mereka. Jika Pak Kobayashi (tokoh kepala sekolah dalam buku Totto-chan) menggambarkan bahwa makanan yang seimbang gizinya adalah kombinasi antara yang berasal dari laut dan yang diambil dari gunung, dalam hal sumber makanan bergizi penduduk desa justru sebaliknya, sedapat mungkin dapat dipenuhi secara lokal.
Di wilayah pantai, sumber protein laut dari laut; tetapi di wilayah darat dan pegunungan, yang jauh dari pantai, perlu digali sumber protein nabati dan hewani yang dapat diproduksi secara lokal. Di sini, pengetahuan tentang kandungan gizi dari berbagai sumber pangan diperlukan. Mengatasi tengkes memang memerlukan kerja sama berbagai pihak.