Jangan Lagi Ada Stunting
Indonesia adalah negara dengan kasus stunting terbesar ke empat dunia. Dengan prevalensi 36 persen, di seluruh Indonesia 8,8 juta anak balita menderita stunting.
Gizi Masyarakat
Jangan Lagi Ada Stunting
Duduk di samping ibunya, matanya menatap orang-orang yang lalu lalang di ruangan terbatas itu. Senyumnya mengembang ketika ditanya namanya. “Bahar,” jawabnya lantang.
Nama lengkapnya Bahar Sihabbudin. Ia kelahiran Jakarta, 13 Juni 2018. Ketika ikut pemeriksaan di posyandu, April 2022, tinggi badannya 93,5 cm dan berat badannya 11,7 kg. Di bawah standar normal anak usia empat tahun. Maka Bahar pun masuk golongan stunting atau tengkes, sehingga perlu mendapat perlakuan khusus. Stunting adalah suatu kondisi kurang gizi kronis, ditandai dengan tubuh pendek dan berat badan kurang dari standar Kementerian Kesehatan, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan.
Dari total 116 anak usia balita di RW 8, terjaring 22 anak yang tergolong stunting. Bulan April lalu, memang program mengatasi anak stunting mulai berlangsung di RW 08, Kelurahan Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Bekerja sama dengan PT Indonesia Power Priok POMU (Power Generation, Operation and Maintenance), kawasan itu mengaktifkan upaya penanggulangan stunting menyeluruh: melibatkan RT, RW, kader, puskesmas, hingga RSUD Koja.
Maka Bahar dan 21 anak usia balita lainnya, dirujuk ke RSUD Koja. Mereka harus datang tiga kali, setiap dua minggu sekali. Usai diperiksa dokter anak, mereka mendapat susu, vitamin, dan zat besi. Namun, meski untuk ke RSUD Koja cukup 10 menit naik motor, banyak warga enggan menjalaninya. “Kami bisa seharian di rumah sakit mulai dari ambil tiket, antre periksa dokter, sampai nunggu obat dan susu. Kayak saya ini, jadinya terpaksa enggak jualan,” tutur Lia Trisnawati (32). Anak ketiganya, Rayhan (4 tahun) juga tergolong stunting.
Dari pukul 08.00 hingga 17.00, Lia menjual kopi di kolong tol. Sementara suaminya keliling menjual galon kosong. “Rayhan dua bulan dapat ASI. Enggak bisa lama-lama, saya kan harus cari duit ,” kata Lia.
Kondisi Bahar tak jauh beda. Di rumah kontrakan sekitar 3x6 meter persegi, dengan kasa nyamuk yang lepas sebagian di pintu, Bahar mendapat tiga bulan ASI. “Bahar enggak suka makan, dia tahan enggak makan seharian. Maunya fried chicken doang,” kata Eka Mariani (26), ibunya. Ayah Bahar, bekerja di bagian distribusi gudang.
Setelah tiga kali ke RSUD, mereka balik ke posyandu di puskemas. Setiap kali habis pemeriksaan, anak-anak mendapat susu dan telur.
Pertengahan Agustus 2022, Bahar Sihabuddin dan Rayhan Hadi Pratama, menerima penghargaan lulus stunting. Berat badan Bahar menjadi 12,72 kg dan tinggi badannya 95,7 cm. Rayhan juga naik tinggi dan berat badannya. Dari 12,8 kg dan 96 cm, menjadi 13,6 kg dan 97,5 cm.
Keduanya duduk manis sejak pagi di kantor RW 08, yang sekaligus menjadi kantor Program Ketahanan Pangan Keluarga Usir Stunting (Ketapang Kuning). Maklum, ruangan itu disesaki para tamu dan x-banner tentang stunting. Namun, saat bertemu lagi siangnya, mereka sungguh aktif. Berkejaran di ruang tamu, memanjat kursi, dan sibuk mengeksplorasi tempat baru. Suara dan tawa mereka memecah keheningan.
Banyak tantangan
Kelurahan Warakas tertinggi kasus stuntingnya di Jakarta Utara, 4,09 persen menurut Data Stunting 2021 Jakarta Utara. Namun, dalam penanggulangan stunting nasional, sebenarnya kasus stunting di DKI Jakarta tidak termasuk dalam 12 provinsi prioritas. Kasus stunting terbanyak ada di kawasan Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Barat.
RW 08 Warakas beruntung, karena menjadi “tetangga” terdekat PT Indonesia Power Priok POMU. Masuklah kemudian kawasan ini dalam program pemberdayaan masyarakat perusahaan BUMN tersebut, terkait Program Pemeringkatan Kinerja Lingkungan Perusahaan (Proper) yang setiap tahun diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menanggulangi kasus stunting memang tidak mudah. Di RW 08 Warakas, misalnya, baru dua yang kembali bertumbuh kembang normal. Lainnya belum memenuhi standar pertumbuhan anak balita yang ditetapkan.
Hasil evaluasi PT Indonesia Power Priok POMU menunjukkan, tidak semua dokter spesialis anak paham tata laksana pasien stunting, apalagi masyarakat. Demikian juga dengan BPJS mandiri, yang ternyata tidak mengakomodasi rujukan stunting. Di sisi lain, program pemantauan stunting yang intensif, malah membuat beban kerja kader bertambah.
Kebijakan pemberian makanan tambahan berupa biskuit dari pemerintah tidak mendapat sambutan, karena rasa dan teksturnya tidak disukai anak-anak. Alhasil, biskuit menumpuk hingga kedaluwarsa. Masalah lain adalah sebagian besar penduduk Warakas pendatang. Mereka banyak yang belum memiliki kartu keluarga (KK) sehingga sulit dipantau. Kaderlah yang harus aktif, menyusur setiap gang, membujuk orangtua agar memeriksakan kesehatan anaknya.
General Manager Indonesia Power Priok Pomu, Igan Subawa Putra, memaparkan bahwa permasalahan sosial di Jakarta Utara memang cukup banyak, terutama di Warakas. Karena itu, program dilaksanakan bertahap dari tingkat RW. Dimulai dengan survei, penapisan, pengecekan kesehatan, hingga jadilah Program Ketapang Kuning. Dalam program ini komunitas menanam sayur hidroponik, memelihara lele dan mengolahnya menjadi nugget, baso, stick, dan abon, lalu dijual di Warung Opini (Optimalkan Gizi Sehatkan Generasi) dengan harga murah.
Hasilnya sudah tampak. Tidak ada kasus stunting baru yang muncul di RW 08.
Peran swasta
Dengan target pengentasan semua anak stunting paling lambat 2024, banyak yang harus dikerjakan pemerintah. Seperti yang disampaikan Sri Kusyuniati PhD, Konsultan Wakil Presiden untuk mengatasi stunting, Indonesia adalah negara dengan kasus stunting terbesar ke empat dunia. Dengan prevalensi 36 persen, di seluruh Indonesia 8,8 juta anak balita menderita stunting (UNICEF/WHO/World Bank, 2017).
Maka tahun ini kegiatan percepatan pencegahan stunting diperluas menjadi 514 kabupaten/kota, dari tahun sebelumnya di 360 kabupaten/kota. Ini bukan pekerjaan mudah, mengingat pencegahan stunting mencakup banyak hal: perbaikan asupan gizi, lingkungan sosial, kesehatan, dan permukiman. “Ini yang dalam jangka pendek diimplementasikan dalam bentuk intervensi gizi spesifik dan dalam jangka panjang berupa intervensi gizi sensitif,” jelas Sri Kusyuniati dalam diskusi stunting yang diselenggarakan PT Indonesia Power di Sentul, Kabupaten Bogor, awal Agustus 2022.
Gizi spesifik berarti intervensi langsung ke ibu hamil dan anak stunting. Gizi sensitif berarti upaya preventif berupa sosialisasi kesehatan reproduksi, sanitasi dan higiene, serta faktor kultural.
Dengan program yang begitu intensif sekaligus ekstensif, dengan jangkauan wilayah yang amat luas, pemerintah memang sangat membutuhkan peran swasta untuk mencapai targetnya. Apalagi banyak perusahaan yang berbasis di pelosok, di kawasan yang seringkali sulit bagi masyarakat untuk mengakses sarana kesehatan. Di daerah dengan angka stunting tinggi, perusahaan dapat bekerjasama dengan pemerintah setempat untuk mengubah perilaku sekaligus memperbaiki komunikasi dan monitoring.
Salah satunya di Desa Mekarwangi, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung. Tahun 2020, ditemukan 167 anak bermasalah gizi: 128 stunting, 31 gizi kurang, 8 gizi sangat kurang. Kehadiran PT Indonesia Power Kamojang Pomu melahirkan Program Kartini: pelatihan dan kelas pintar untuk calon pengantin. Berkolaborasi dengan Puskesmas Sudi dan 60 kader yang tersebar di 13 RW, terwujud Program Kang Gisman: Kampung Gizi Sehat Mandiri. Cakupannya luas, dari perbaikan gizi ibu hamil dan anak balita, perbaikan sanitasi, hingga pelbagai penyuluhan kesehatan selain Program Kartini.
Hasilnya, setelah satu tahun, 39 anak “lulus”, tidak lagi masuk kategori stunting. Mereka tidak hanya mendapat intervensi gizi berupa biskuit dan taburia (bubuk tabur gizi anak dan multivitamin) tetapi juga pemberian makanan tambahan sebulan dua kali berupa bakso jamur, susu, biskuit, dan buah naga. Jamur dibeli dari program penanaman jamur oleh kelompok disabilitas dan diolah ibu-ibu kader.
Untuk pencegahan, ada Program Kartini. Di sini, para calon pengantin belajar tentang kesehatan reproduksi, gizi ibu hamil dan bayi, hingga pola pengasuhan anak.
Seperti di Warakas, Priok, persoalan stunting di Desa Mekarwangi terkait orangtua yang tidak menerima kalau anaknya tergolong stunting, kurangnya kesadaran memeriksakan kesehatan anak, dan banyak anak balita yang belum imunisasi lengkap. “Persoalan lainnya adalah dana desa yang terbatas, akses layanan kesehatan tidak mudah, dan tidak semua RW memiliki bangunan posyandu,” papar Ibnu Agus Santosa, General Manager Kamojang Pomu.
Hal itu seiring dengan kesimpulan penelitian awal Sodec (Social Development Studies Center), pusat kajian di bawah Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. Bahwa untuk pencegahan stunting perlu inovasi kelembagaan di tingkat lokal, juga pengembangan pangan, pengelolaan lingkungan, dan manajemen kesehatan berbasis masyarakat. Berbasis kesimpulan tersebut, lahirlah program Kang Gisman dan segala turunannya.
Direktur Operasi 1 PT Indonesia Power M Hanafi Nur Rifa’i mencanangkan program pengentasan anak stunting ini di semua wilayah operasi PT Indonesia Power di seluruh Indonesia. Selain Kamojang dan Priok, saat ini PT Indonesia Power di Suralaya, Banten, sudah menjalankan program serupa.
Kusyuniati mengingatkan, persoalan stunting erat kaitannya dengan tingkat pendidikan, pernikahan anak, kematian ibu, dan kemiskinan. Dengan demikian, penanganan stunting harus seiring dengan perbaikan pendidikan, peran perempuan, dan kesejahteraan. Di sinilah swasta bisa berperan serta. (Agnes Aristiarini)