Cacar Monyet Bisa Ditularkan sebelum Muncul Gejala
Sebuah penelitian terbaru di Inggris mengungkapkan bukti bahwa cacar monyet bisa ditularkan sebelum gejala muncul atau terdeteksi, sebagaimana terjadi pada virus penyebab Covid-19.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penelitian terbaru di Inggris mengungkapkan bukti bahwa cacar monyet bisa ditularkan sebelum gejala muncul atau terdeteksi. Dengan adanya penularan pada fase pra-gejala, penularan cacar monyet menjadi lebih sulit dicegah jika hanya mengandalkan isolasi setelah munculnya gejala.
Penelitian yang ditulis Thomas Ward dari UK Health Security Agency, London dan tim di jurnal The BMJ pada Rabu (2/11/2022), menyebutkan, penularan cacar monyet terdeteksi hingga maksimal empat hari sebelum timbulnya gejala, dan para peneliti memperkirakan lebih dari setengah atau 53 persen penularan terjadi pada fase pra-gejala. Hal ini berarti bahwa banyak infeksi tidak dapat dicegah dengan meminta individu untuk mengisolasi setelah mereka menyadari gejalanya.
Sejak wabah cacar monyet (monkeypox) ditemukan di luar daerah endemik di Afrika pada Mei 2022, lebih dari 70.000 kasus telah dicatat secara global, dengan lebih dari 3.500 kasus di Inggris. Ward menulis, meskipun jumlah kasus sekarang menurun, tetap penting untuk memahami ”dinamika penularan” virus. Hal itu, misalnya, terkait cara penyebarannya dari satu orang ke orang lain dan seberapa cepat gejala muncul untuk membantu menginformasikan keputusan kebijakan dan intervensi di masa depan.
Berdasarkan surveilans
Temuan Ward dan tim ini didasarkan pada surveilans rutin dan data pelacakan kontak untuk 2.746 orang yang dites positif terkena virus cacar monyet di Inggris antara 6 Mei dan 1 Agustus 2022. Usia rata-rata mereka 38 tahun dan 95 persen dilaporkan sebagai gay, biseksual, atau pria yang berhubungan seks dengan laki-laki.
Strategi pelacakan kontak mundur (melacak dari siapa penyakit menyebar) harus memperhitungkan periode infeksi pra-gejala ketika mencoba menemukan kontak dari kasus yang dikonfirmasi.
Dua ukuran utama yang menarik bagi para peneliti adalah interval serial (waktu dari timbulnya gejala pada pasien kasus primer sampai timbulnya gejala pada kontak sekunder) dan masa inkubasi (waktu dari paparan sampai timbulnya gejala). Untuk memperkirakan ini, mereka menghubungkan informasi tentang paparan dan tanggal timbulnya gejala dari orang-orang ini ke kontak mereka melalui kuesioner kasus pelacakan kontak.
Hasil kuesioner itu kemudian mereka analisis menggunakan dua model statistik. Model disesuaikan untuk beberapa bias yang umum terjadi pada wabah virus, seperti perubahan tingkat infeksi dari waktu ke waktu, yang jika tidak akan memengaruhi hasil.
Masa inkubasi rata-rata diperkirakan 7,6 hari dalam satu model dan 7,8 hari pada model lainnya, sedangkan perkiraan interval serial rata-rata 8 hari dalam satu model dan 9,5 hari pada model lainnya. Untuk kedua model, interval serial median antara 0,3 dan 1,7 hari lebih pendek dari periode inkubasi rata-rata, terlihat penularan yang cukup besar sebelum munculnya atau deteksi gejala.
Analisis data pasien tingkat individu yang dikumpulkan dari subset pasien dengan informasi yang lebih rinci tampaknya mengonfirmasi penjelasan ini. Sebanyak 10 dari 13 pasangan pasien kontak kasus melaporkan penularan pra-gejala.
Empat hari adalah waktu maksimum penularan terdeteksi sebelum gejala muncul. Berdasarkan hasil ini, para peneliti mengatakan periode isolasi 16-23 hari akan diperlukan untuk mendeteksi 95 persen orang dengan potensi infeksi.
Ini adalah temuan observasional, dan para peneliti menunjukkan beberapa keterbatasan, seperti mengandalkan pelacakan kontak untuk mengidentifikasi pasangan kasus-kontak yang benar dan data yang dilaporkan sendiri pada tanggal timbulnya gejala. Terlebih lagi, hasilnya mungkin tidak langsung berlaku untuk populasi lain dengan pola penularan yang berbeda.
Namun, ini adalah penelitian besar yang menggunakan metode yang kuat dan menyesuaikan bias utama yang ada dalam data, memberikan kepercayaan yang lebih besar pada kesimpulan. Temuan ini memiliki implikasi penting untuk isolasi dan kebijakan pelacakan kontak. Menurut para peneliti, strategi pelacakan kontak mundur (melacak dari siapa penyakit menyebar) harus memperhitungkan periode infeksi pra-gejala ketika mencoba menemukan kontak dari kasus yang dikonfirmasi.
Darurat kesehatan
Pada hari yang sama, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan pembaruan status dan menyatakan wabah cacar monyet masih sebagai keadaan darurat kesehatan global, yang merupakan tingkat kewaspadaan tertinggi. Status darurat kesehatan global untuk cacar monyet telah dikeluarkan sejak Juli 2022.
Label WHO, ”darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional (PHEIC)”, dirancang untuk memicu respons internasional yang terkoordinasi dan dapat membuka pendanaan untuk berkolaborasi dalam berbagi vaksin dan perawatan.
Dalam editorial di The BMJ, para peneliti juga berpendapat bahwa vaksinasi pra-pajanan dan kesetaraan vaksin sangat dibutuhkan di seluruh dunia untuk mengatasi cacar monyet. Vaksinasi dinilai lebih hemat biaya daripada mengelola konsekuensi dari infeksi yang dapat dicegah, termasuk rawat inap di rumah sakit, kehilangan pendapatan selama isolasi, dan komplikasi jangka panjang.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sebelumnya telah mengumumkan satu warga negara Indonesia terkonfirmasi menderita cacar monyet. Pasien tersebut merupakan seorang pria berusia 27 tahun dengan riwayat perjalanan ke luar negeri sebelum tertular.
Pasien mulai mengalami gejala awal monkeypox pada 11 Agustus 2022 dan masuk ke salah satu rumah sakit milik Kemenkes pada 18 Agustus dan hasil test PCR pasien terkonfirmasi positif pada 19 Agustus. Setelah menjalani perawatan dan isolasi sekitar dua minggu, pasien dinyatakan sembuh. Sejak itu, belum ada lagi laporan mengenai penyebaran cacar monyet di Indonesia.