Halloween, Ketakutan yang Menyenangkan
Perayaan Halloween, film horor, wahana rumah hantu, atau konten seram di media sosial menimbulkan ketakutan dan kecemasan bagi yang menontonnya. Namun, ketakutan dan kecemasan terkontrol itu ternyata bisa menyenangkan.
Pesta Halloween, rumah hantu, film horor, hingga konten-konten seram meneror siapa pun yang menontonnya. Meski menimbulkan ketakutan, kecemasan, atau kengerian saat melihatnya, perasaan senang justru muncul sesudah menyaksikannya. Nyatanya, hal-hal yang menyeramkan tak selalu menimbulkan ketakutan, tetapi juga bisa menyenangkan.
Tak heran meski menuai pro-kontra, sebagian orang Indonesia tetap mengadakan perayaan Halloween yang dilaksanakan tiap tanggal 31 Oktober. Pesta dengan dandanan unik, memakai kostum hantu atau karakter seram lain, serta bertamu ke rumah tetangga dengan mengharap permen sebagai imbalan menjadi perayaan yang ditunggu-tunggu anak-anak Amerika Serikat.
Festival itu juga dirayakan di banyak negara. Namun, perayaan Halloween di Korea Selatan tahun ini berakhir tragis. Sedikitnya 153 orang tewas dan 133 orang luka akibat saling impit dan injak dalam pesta Halloween di Itaewon, yang diikuti ribuan orang, termasuk turis dari berbagai negara (Kompas, 31/10/2022).
Perasaan aman atau bebas risiko saat menonton film horor atau merayakan Halloween itu membuat manusia justru bisa menikmati pengalaman menyeramkan.
Meski tidak akrab dengan Halloween, masyarakat Indonesia sebenarnya sangat dekat dengan berbagai tontonan yang menyeramkan. Horor menjadi genre film yang tak pernah lekang oleh zaman. Aneka film horor lokal silih berganti memasuki bioskop Indonesia.
Bahkan film KKN di Desa Penari yang tayang akhir April 2022, dikutip dari Kompas, 7 Agustus 2022, menjadi film Indonesia terlaris sepanjang sejarah. Film yang kehadirannya juga ditunggu oleh penggemar film horor di Malaysia dan Singapura itu mampu menarik penonton 9,2 juta orang di Indonesia dan mengalahkan jumlah penonton film-film Hollywood.
Tak hanya di bioskop, masyarakat Indonesia juga akrab dengan wahana rumah hantu, baik yang ada di pasar malam di perkampungan hingga di taman-taman hiburan modern dan mal mewah Jakarta. Video horor atau lelucon (prank) hantu di media sosial juga menjadi konten yang banyak diminati warganet.
Hampir semua orang suka dengan sesuatu yang menakutkan, menyeramkan, hingga membuat cemas. Tak pandang tingkat pendidikan, kelompok ekonomi, maupun budaya mereka, nyatanya siapa pun bisa menikmati ketakutan hingga menjadikannya kesenangan.
Baca juga: Rasa Saling Takut sebagai Dasar Negara
Ketakutan adalah emosi atau perasaan yang disebabkan oleh ancaman bahaya atau bahaya yang sudah dirasakan. Katherine Brownlowe, psikiater dan ahli perilaku kesehatan di Wexner Medical Center, Universitas Negeri Ohio, AS di The Huffington Post, 27 Oktober 2016, menyebut kesukaan manusia atas hal-hal yang menakutkan itu bersumber dari amigdala, sisa otak binatang yang ada pada otak manusia.
Saat muncul rangsangan yang menakutkan, amigdala yang ada di otak bagian belakang akan mengirimkan sinyal ketakutan ke bagian otak lain dan seluruh tubuh. Detak jantung menjadi lebih cepat, otot-otot menegang, perut kram, darah mengalir dari bagian perut ke otot, dan otak menjadi waspada. Sinyal ketakutan itu membuat tubuh manusia waspada, bersiap memberi respons atas bahaya yang muncul, apakah melawan (fight), kabur (flight), atau justru diam membeku (freeze).
Otak manusia akan memindai lingkungan sekitar secara terus-menerus untuk menentukan risiko atau bahaya. Proses ini untuk memastikan apakah tongkat kecoklatan yang mereka injak hanya kayu biasa atau ular, apakah tanah yang kita jejak stabil atau perangkap, serta apakah motor yang berseliweran di dekat kita akan menabrak kita atau tidak. Perilaku waspada akan ketakutan itu diwariskan manusia lintas generasi.
Namun, saat amigdala rusak, perasaan takut menjadi berkurang. Kondisi ini justru berbahaya karena alarm tanda bahaya menjadi tidak berfungsi sehingga memaparkan binatang atau manusia dalam sejumlah tindakan berisiko. Rasa takut yang dimiliki manusia sejatinya bukan tanda kelemahan seseorang, melainkan emosi yang justru melindungi manusia saat menghadapi situasi berbahaya.
Baca juga: Melawan Ketakutan
Meski demikian, lanjut Katherine, ketakutan dan kecemasan pada manusia nyatanya juga dipengaruhi oleh kognitif atau cara berpikirnya, kondisi yang tidak ditemukan pada binatang. Manusia menakutkan dan mencemaskan hal-hal yang jauh lebih kompleks dari hewan.
Pengaruh kognitif itu membuat manusia tidak hanya takut pada hal-hal yang bersifat naluriah, seperti takut ketinggian atau binatang buas. Manusia bisa menakutkan peristiwa dan stres yang baru dibayangkan atau diantisipasi, bahaya yang sejatinya tidak ada atau belum terjadi.
Ketakutan atas hal yang belum terjadi itu sering terlihat pada orang yang memiliki trauma. Orang yang pernah jatuh dari motor terkadang akan takut saat melintasi jalan atau dalam situasi yang mirip saat dia pernah jatuh dari motor. Ketakutan akibat kognitif itu juga bisa mengaktifkan amigdala, memunculkan respons fisik, hingga melahirkan perilaku menghindar yang sama dengan ketakutan naluriah.
Pada sebagian orang, respons pada ketakutan baik yang bersifat naluriah atau dari proses kognitif bisa menjadi berlebihan. Ketakutan berlebih itu akhirnya mengganggu rutinitas dan menghalangi mencapai hal-hal baru dalam hidup. Kondisi ini mudah ditemukan pada orang dengan gangguan kecemasan (anxiety disorder), agorafobia (takut atas tempat atau situasi tertentu), atau gangguan stres pascatrauma (PSD/PTSD).
Membuat bahagia
Meski demikian, ketakutan yang muncul itu terkadang tidak membuat cemas atau kekhawatiran, tetapi justru menyenangkan. Menurut Katherine, menonton film horor akan tetap mengaktifkan amigdala dan bisa memunculkan respons fisik ketakutan. Namun, mereka yang menonton secara kognitif sadar bahwa mereka dalam posisi aman atau tidak berisiko karena sumber ketakutannya hanya tontonan.
Baca juga: Mengelola Kecemasan
Christopher Dawyer, dosen Universitas Teknologi Shannon, Athlone, Irlandia, di The Psychology Today, 19 Oktober 2018, menulis perasaan aman atau bebas risiko saat menonton film horor atau merayakan Halloween itu membuat manusia justru bisa menikmati pengalaman menyeramkan. Akibatnya, mereka akan terus mengejar tontonan atau atraksi menyeramkan itu.
”Banyak di antara kita mencari ketakutan atau ketegangan yang terkendali karena tahu itu aman,” katanya.
Rasa senang atas ketakutan itu terjadi karena saat ketakutan tubuh dibanjiri berbagai hormon, mulai dari hormon adrenalin yang membantu menyiapkan manusia untuk fight, flight, atau freeze, hormon endorfin yang menghilangkan rasa sakit, dan dopamin yang meningkatkan rasa senang. Banjir hormon itu menimbulkan euforia.
Saat muncul peringatan di otak bahwa mereka aman, maka ketakutan yang terjadi akan meninggalkan rasa lega yang memuaskan dan membuat sejahtera. Selain itu, debaran jantung, keringat dingin pada telapak tangan, atau perut yang tegang yang muncul sejatinya adalah upaya dinamik dan terkoordinasi oleh otak untuk mengarahkan energi manusia hingga tetap sehat dan hidup.
Ledakan singkat ketakutan saat berada di rumah hantu atau menonton film horor itu akan mengaktifkan sistem saraf simpatik hingga tubuh merespons bahwa stres yang dialami tidak menimbulkan masalah. Karena sejatinya, stres dan kecemasan jangka panjanglah yang dapat mengganggu kesehatan tubuh dan otak.
Ketakutan atas sesuatu yang tidak diketahui adalah salah satu ketakutan paling alamiah dan naluriah manusia. Menguak sesuatu yang tidak diketahui itu juga menjadi salah satu keingintahuan terbesar manusia. Namun, manusia modern suka dengan kejelasan dan segala hal yang masuk akal. Akibatnya, sebagian orang ingin menuntaskan rasa ingin tahunya dengan terlibat dalam hal-hal yang tidak diketahui untuk memahami situasi yang terjadi.
Karena itu, sebagian orang justru suka melakukan hal yang menantang baik untuk mencari sensasi atau menguji seberapa besar ketakutannya bisa ditoleransi. Terlebih, mereka tahu ketakutan yang dialaminya terkendali dan ujung dari ketakutan itu akan menyenangkan.
Baca juga: Teror Baru Film Horor Asia Tenggara
Pada sebagian orang, pemaparan terhadap ketakutan bisa dilakukan sebagai terapi untuk mengurangi kecemasan. Namun, pada mereka yang memiliki kecemasan kognitif, Katherine menyarankan untuk menghindari stimulus yang membuat ketakutan.
Tak hanya untuk terapi, studi John Johnson, profesor emeritus psikologi di Universitas Negeri Pennsylvania, AS, dan rekan yang dikutip dari The Psychology Today, 30 Oktober 2022, menunjukkan orang yang menyukai ketakutan dan kecemasan justru memiliki sedikit tekanan psikologis dan lebih siap saat menghadapi pandemi Covid-19.
Jadi, masih takut menonton film horor, pergi ke rumah hantu, atau melihat konten seram di media sosial? Sepertinya kita perlu memaparkannya sedikit demi sedikit dengan segala ketakutan dan kecemasan terkendali itu sehingga lebih siap menghadapi seramnya kehidupan di dunia nyata.