Dari Panti Asuhan Meraih Kesuksesan
Hidup sebagai anak panti asuhan tidak menjadi penghalang bagi sejumlah anak untuk belajar keras dan meraih pendidikan tinggi. Perjuangan dan jerih payah mereka berujung pada kesuksesan.
Panti asuhan bukan hanya menjadi tempat berlindung anak-anak yang tidak memiliki orangtua, tapi juga jembatan bagi anak-anak dari keluarga miskin untuk mendapatkan pendidikan. Di panti asuhan, sejumlah anak menaruh tekad dan memupuk semangat belajar, dengan rajin bersekolah, berprestasi, meraih pendidikan tertinggi, hingga akhirnya mendapat pekerjaan layak.
Akhmad Mundolin (50), warga Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah membuktikan bahwa dengan pendidikan dia bisa mengubah hidupnya, bahkan mendapatkan pekerjaan mapan bahkan saat ini dia menjadi pemimpin tertinggi di sebuah bank daerah.
Semua yang diraih Mundolin berawal ketika dia rela hidup terpisah dengan keluarganya dan tinggal di Panti Asuhan Muhammadiyah Sutejo, Kendal. "Ibu dan kakak-kakak saya tidak keberatan kalau saya tinggal di panti asuhan. Justru, penolakan muncul dari pakdhe saya yang khawatir kalau saya tinggal di panti asuhan nanti ibu saya dianggap tidak bisa mengurus anak," cerita Mundolin, Jumat (28/10/2022).
Mundolin mulai tinggal di panti asuhan setelah lulus SD. Ketika itu ada tetangga menyarankan jika ingin melanjutkan sekolah sebaiknya tinggal di panti asuhan. Panti Asuhan Muhammadiyah Sutejo menjadi pilihan keluarganya.
Mundolin akhirnya bisa melanjutkan sekolah ke SMP Negeri 1 Patebon. Hanya saja, setiap mau ujian semester, ujian kenaikan kelas atau ujian kelulusan, dia harus menghadap kepala sekolahnya meminta dispensasi tidak membayar biaya sekolah.
Kendati harus selalu meminta surat dispensasi agar tidak perlu membayar biaya sekolah, Mundolin tidak minder. Sebaliknya, dia bertekad belajar dengan baik supaya bisa memperbaiki nasib keluarganya.
Setelah tamat SMP, ia melanjutkan pendidikan ke SMA Muhammadiyah Weleri, Kendal. Karena jarak panti asuhan dengan sekolahnya cukup jauh Mundolin dititipkan di panti asuhan lain di sekitar sekolah tersebut. Lulus SMA dia keluar panti asuhan, karena panti asuhan hanya bisa membantu biaya sampai SMA.
Baca juga : Panti Asuhan, Tumpuan Anak-anak Miskin
Sadar bahwa dirinya belum punya banyak keterampilan, Mundolin memutuskan mengikuti kursus komputer selama satu tahun, hingga mendapatkan sertifikat kompetensi. Dia kemudian melamar pekerjaan di sebuah bank daerah di wilayahnya yakni, Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan atau BPR BKK (Perseroda) Kendal. "Lamaran saya kala itu diterima. Saya langsung bekerja sebagai petugas pos yang melayani nasabah di desa-desa," ucapnya.
Saat sudah mulai mendapatkan uang dari bekerja di bank, Mundolin lantas melanjutkan pendidikannya dan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas 17 Agustus 1945 Semarang. Setelah lulus S1, Mundolin naik jabatan sebagai kepala seksi di BPR BKK (Perseroda) Kendal. Kondisi perekonomian keluarganya mulai membaik sejak saat itu.
Tekad belajar yang tak pernah pupus, mendorongnya melanjutkan pendidikan pasca-sarjana di Universitas Stikubank Semarang. Bekal pendidikannya membawanya pada jabatan tertinggi di tempatnya bekerja. Sejak tahun 2007 dia diangkat menjadi Direktur Utama BPR BKK (Perseroda) Kendal hingga saat ini.
"Saya bisa sampai seperti sekarang itu semuanya karena saya tinggal di panti asuhan. Di tempat itu, saya belajar menguatkan mental, kedisiplinan, serta kemandirian," tutur Mundolin.
Kini, meskipun Mundolin sudah hidup jauh lebih mapan, ia tak mau menjadi kacang yang lupa akan kulitnya. Hingga kini tetap terlibat dalam kegiatan di panti asuhan. Bahkan menjadi salah satu pengurus di panti asuhan tempat yang menjadi gerbang awalnya meraih kesuksesan.
Ia membantu anak-anak panti asuhan di Kendal yang kesulitan melanjutkan pendidikan, dengan mencarikan beasiswa. Sejumlah kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan juga dilakukan oleh BPR BKK (Perseroda) Kendal di panti-panti asuhan, terutama yang ada di pelosok.
Memilih untuk tidak menyerah dengan keadaan juga ditunjukkan Merry Elizabeth (21) anak asuh Panti Asuhan Rumah Kasih, Lembang, Jawa Barat. Meskipun sepanjang umurnya dia hidup di panti asuhan, tidak menyurutkan tekad Elizabeth untuk bersekolah dan meraih pendidikan hingga perguruan tinggi.
Hingga kini, Elizabeth tak pernah tahu siapa orangtuanya. Satu-satunya informasi yang dia tahu adalah ibunya menyerahkan dirinya di Panti Asuhan Rumah Kasih, pada 21 tahun silam, saat dia masih bayi berumur tiga hari.
“Katanya mama saya Jawa dan papa keturunan Tionghoa. Hanya sebatas itu informasi yang saya tahu. Meskipun kadang hati terasa sakit, tapi akhirnya saya belajar menerima keadaanku,” katanya.
Dulu setiap ulang tahun Elizabeth mengaku selalu bermimpi ketemu orangtua. Namun, saat usia 20 tahun dia memutuskan berhenti berharap. “Kalau makin berharap aku nanti semakin kecewa. Kalau pun suatu saat mereka datang, aku terima dan berusaha memaafkan. Semua hal yang terjadi dalam hidup aku, mungkin bukan kesalahan mereka. Cuma perasaan kepo (ingin tahu saja), tapi kalau merasakan sakit hati sudah enggak ada, kalau pun ketemu ya puji Tuhan,” paparnya.
Saya bisa sampai seperti sekarang itu semuanya karena saya tinggal di panti asuhan. Di tempat itu, saya belajar menguatkan mental, kedisiplinan, serta kemandirian. (Akhmad Mundolin)
Meski tahu siapa orangtuanya, tak menyurutkan Elizabeth untuk belajar. Sejak kecil dia disekolahkan Panti Asuhan Rumah Kasih.
Dia pun belajar keras, hingga sampai kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pasundan, Bandung. Ia mengambil jurusan Hubungan Internasional, karena bercita-cita ingin bekerja di organisasi internasional yang bergerak di bidang kemanusiaan, seperti palang merah internasional (ICRC).
“Sejak SMP saya ikut Palang Merah Remaja Dan Palang Merah Indonesia. Saya suka soal isu kemanusiaan, hukum humaniter. Makanya saya ingin satu saat bisa bekerja di ICRC atau kerja di kedutaan besar,” ujar Elizabeth yang lulus kuliah hanya dalam waktu 3,5 tahun, dan diwisuda pada Juni 2022 lalu itu.
Baca juga : Mereka Menaruh Asa untuk Masa Depan di Panti Asuhan
Tak ingin menyerah dengan keadaan, sambil kuliah Elizabeth juga sempat bekerja sebagai tenaga administrasi di Klinik Sespim Polri di Lembang. Ia juga belajar bahasa Perancis.
Beberapa bulan lalu, saat ada tamu komunitas persekutuan doa dari Singapura berkunjung ke panti asuhan, Elizabeth ditawari untuk bekerja di Singapura.“Di singapura saya akan bekerja sebagai staf adiministrasi di restoran. Semua sudah diurus, kontrak kerja dan lainnya. Pekerjaannya memang jauh dari bidang ilmu saya, tapi saya ingin perdalam bahasa Inggris saya. Pekerjaan ini sebagai batu lonjatan untuk bekerja nanti sesuai bidang saya,” ujarnya.
Kemiskinan juga membuat Nuraini (21) rela hidup di panti asuhan demi mendapat pendidikan yang lebih layak. Sejak berusia sembilan tahun, dia tinggal di Panti Asuhan Pelita Harapan Bangsa, Kota Bandar Lampung. Saat itu, anak ketiga dari lima bersaudara itu masih duduk di kelas empat SD.
Lahir sebagai anak dari keluarga miskin di pelosok Desa Merbau Mataram, Kecamatan Merbau Mataram, Kabupaten Lampung Selatan, membuat Nuraini menyadari sulit untuk bisa meraih pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. Jangankan untuk sekolah, uang untuk kebutuhan makan sehari-hari saja masih sulit.
Ayah Nuraini yang bekerja sebagai buruh serabutan. Saat tak ada pemasukan, ibunya kerap menjual perabotan rumah tangga untuk biaya makan keluarganya. “Saya ingin kuliah dan membanggakan kedua orangtua. Keinginan itu yang membuat saya memilih tinggal di panti asuhan ini,” kata Nuraini.
Nuraini pun belajar keras, hingga akhirnya ia lulus SMA dan mendapat beasiswa kuliah pada Jurusan D3 Teknik Gigi di Politeknik Kesehatan Tanjung Karang, Bandar Lampung. Ia baru saja wisuda dua bulan lalu.
“Saya senang karena bisa membuktikan pada kedua orangtua kalau saya bisa kuliah. Saya juga ingin menjadi contoh untuk adik-adik yang ada di panti ini agar terus semangat belajar,” ucapnya.
Di Panti Asuhan Raudatul Aitam, Bandar Lampung, Rina Eliana (18), juga menaruh mimpi untuk kuliah dengan belajar keras. Perjuangannya anak kedua dari empat bersaudara yang berasal dari salah satu desa di pelosok Kabupaten Tanggamus,tak sia-sia, tahun ini ia mendapat beasiswa untuk kuliah di Jurusan Pendidikan Guru Bahasa Inggris di Universitas Bandar Lampung.
Mundolin, Elizabeth, Nuraini, dan Rina adalah potret kecil anak-anak panti asuhan yang berjuang untuk mendapat pendidikan yang lebih baik, demi meraih sukses dan mengubah hidupnya. Mereka juga membuktikan panti asuhan, bisa menjadi solusi bagi keluarga yang tidak mampu membiayai anaknya, supaya anaknya tidak perlu putus sekolah. Tidak perlu malu jika memang perlu tinggal di panti asuhan.
Alumni anak panti asuhan meraih sukses juga ada di Panti Asuhan Yatim (PAY) Putra Muhammadiyah Yogyakarta. Di panti asuhan yang sudah berusia 101 tahun itu, anak-anak tidak sekedar menuntaskan pendidikan di jenjang SMA/SMK. Sebagian anak asuh dari PAY meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi dan berhasil mendapatkan pekerjaan yang cukup menjanjikan.
“Sejumlah alumni anak-anak asuh kami, ada yang kini menjadi rektor di Universitas Muhammadiyah Bengkulu, ada yang menjadi camat di Kabupaten Wonosobo, dan ada pula yang berhasil menjadi pengusaha sukses,” ujarnya Ketua Bidang I LKSA PAY Putra Muhammadiyah Yogyakarta, Heru Suroso.
Setiap tahun, selalu ada anak asuh PAY Muhammadiyah yang kuliah. Tahun 2022, ada tujuh orang lolos masuk PT. Kebanyakan dari mereka melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi Muhammadiyah.