Kasus Terjadi karena Kegagalan Pengawasan
Banyaknya kasus dan korban jiwa akibat gangguan ginjal akut pada anak-anak disebabkan lemahnya pengawasan pascaproduksi produk obat-obatan.
JAKARTA, KOMPAS — Kegagalan pengawasan obat-obatan yang beredar menjadi penyebab banyaknya kasus gangguan ginjal akut yang telah mengakibatkan ratusan anak meninggal dunia. Badan Pengawas Obat dan Makanan serta Kementerian Kesehatan diminta proaktif mengawasi produk obat-obatan paskaproduksi.
”Kami mempertanyakan mengapa otoritas perizinan dan pengawasan dipegang satu institusi di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Di tempat lain, fungsi perizinan dan pengawasan mestinya terpisah. Ini poin untuk penataan ke depan,” kata anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng, dalam diskusi daring yang diselenggarakan Rumah Sehat Rakyat-LaporCovid-19, Minggu (30/10/2022).
Menurut Robert, dalam doktrin kebijakan publik, selalu harus ada orang yang disalahkan dan bertanggung jawab atas suatu masalah. ”Tidak ada tanggung jawab kolektif. Institusi mana dan pejabat mana harus bertanggung jawab. Walaupun saat ini ada wacana pidana ke beberapa perusahaan, tetapi yang juga penting, akuntabilitas kinerja dan administratif ini harus diperbaiki,” katanya.
Robert menegaskan, negara harus hadir untuk melindungi rakyatnya, termasuk keamanan produk yang dikonsumsi. ”Apalagi, salah satu misi BPOM adalah menjamin produk obat dan makanan yang aman. Termasuk juga Kemenkes dalam hal kebijakan,” katanya.
BPOM dan Kementerian Kesehatan seharusnya tidak hanya menunggu pelaporan dari industri. ”Tetapi, harusnya proaktif memeriksa dan mengawasi obat-obatan pascaproduksi. Pengawasan proaktif ini yang jadi kunci, terutama untuk obat-obatan yang berisiko,” katanya.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Siti Nadia Tarmizi mengatakan, berdasarkan riwayat pasien gangguan ginjal akut, sebanyak 90 persen mengonsumsi obat sediaan cair. Namun, ada 10 persen pasien yang tidak mengonsumsi obat sediaan cair. Sebanyak 68,6 persen mengonsumsi parasetamol dan 31,4 persen tidak mengonsumsinya. ”Artinya, ini tidak hanya etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG), walaupun pemeriksaan kita kerucutkan pada dua hal ini untuk menurunkan fatalitas,” katanya.
Berdasarkan informasi kelima BPOM, ada lima produk dari tiga perusahaan yang menunjukkan adanya kandungan cemaran EG melebihi ambang batas aman. Lima produk itu meliputi Termorex Sirup 60 ml dengan kode produksi (batch) AUG22A06, Flurin DMP Sirup, Unibebi Cough Sirup, Unibebi Demam Sirup, dan Unibebi Demam Drops.
Baca juga : Obat yang Tercemar
Menurut Nadia, dari hasil pemeriksaan sampel Pusat Laboratorium Forensik pada pasien di RSUPN Cipto Mangunkusumo, ditemukan 7 dari 10 anak yang diperiksa urine dan darahnya terdeteksi ada etilen glikol dan turunannya. ”Makanya, pada 18 Oktober, untuk sementara kita meminta penghentian penggunaan obat sirop dan cairan,” kata dia.
Nadia menambahkan, saat ini masih investigasi tentang apakah produsen obat ini sengaja menggunakan EG dan DEG yang sesungguhnyas sudah dilarang sebagai pelarut masih dilakukan. ”Saat ini masih diselidiki sumber dari zat yang melebihi ambang tadi. Yang jelas, Kemenkes menemukan pencemaran di darah dan urine. Apakah zat pelarutnya diganti atau pencemaran,” katanya.
Menurut Nadia, sekalipun obat-obatan ini diproduksi di dalam negeri, bahan baku obat-obatan ini diimpor dari sejumlah negara, di antaranya India, China, Taiwan, dan Amerika Serikat.
Masalah data
Siti Nadia mengatakan, saat ini Kemenkes fokus untuk menurunkan kasus dan menangani pasien yang masih dirawat. ”Per 24 Oktober kasus gangguan ginjal mulai mengalami tren penurunan. Jika sebelumnya kasus harian ada 12, 10, 8, 4, sekarang tidak ada lagi kasus harian, adanya kasus baru dilaporkan,” katanya.
Berdasarkan data hingga 28 Oktober 2022 telah ditemukan 322 kasus gangguan ginjal akut pada anak. Sebanyak 84 kasus dalam perawatan, 174 kasus meninggal, dan 64 kasus dinyatakan sembuh.
Sebagian besar gejala yang dilaporkan adalah demam, kehilangan nafsu makan, kadang-kadang diikuti gangguan saluran cerna. ”Sebagian besar 46 persen tidak berkemih (kesulitan buang air kecil) karena memang gejalanya kita temukan di rumah sakit. Ini bisa jadi terlambat membawa ke rumah sakit,” kata Nadia.
Robert mengusulkan agar pemerintah menetapkan gangguan gagal ginjal akut ini sebagai kejadian luar biasa (KLB).
Sebanyak 69 persen kasus yang dibawa ke rumah sakit berada dalam stadium 3, stadium 1 sebanyak 23 persen, dan stadium 2 sebanyak 8 persen. Dengan kondisi ini, 54 persen kasus meninggal, 37 persen sedang dalam pengobatan, dan 20 persen dinyatakan sembuh.
Nadia menambahkan, antidot atau penawar racun EG dan DEG sudah tersedia 20 vial fomepizole. Stok di Singapura terbatas sehingga akan didatangkan dari negara lain. Rata-rata satu pasien dengan berat badan 10 kg membutuhkan sekitar 3,5 gram atau 2-3 vial dalam durasi pengobatan tujuh hari. ”Kemarin sudah datang dari Jepang sebanyak 200 vial yang akan segera didistribusikan ke rumah sakit yang masih menangani pasien gangguan ginjal akut ini,” katanya.
Meski demikian, Robert mempertanyakan data kasus gangguan ginjal akut. ”Data kita hari ini berbasis penanganan di rumah sakit dan awalnya dilaporkan oleh IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) sejak Januari. Padahal, yang terjadi bukan hanya yang terlihat di rumah sakit. Banyak juga kejadian yang tidak tertangani. Ini yang luput dari pemerintah. Misalnya, kalau ini terjadi di Indonesia timur dan tidak ditangani tenaga medis, pasti tidak terdata,” katanya.
Oleh karena itu, Robert meminta Kementerian Kesehatan jangan dulu mengklaim penanggulangan efektif dan kasus menurun. ”Kalau benar seperti disampaikan Kemenkes ada kerja investigasi dan surveilans efektif, kasus yang muncul bisa jadi 4-5 kali dari data yang ada. Makanya, kami menyatakan ada malaadministrasi dalam kasus ini,” kata dia.
Menurut Robert, hingga hari ini, Kemenkes belum punya data pokok sebaran kasus di lapangan, selain data yang dilaporkan di fasilitas kesehatan. ”Walaupun ada progres, yaitu ada kesimpulan mengenai penyebab gangguan ginjal akut ini dan bergerak cepat mencari penawar, soal pendataan belum ada perbaikan,” katanya.
Kejadian luar biasa
Untuk memperbaiki penanganan, Robert mengusulkan agar pemerintah menetapkan gangguan gagal ginjal akut ini sebagai kejadian luar biasa (KLB). ”Saat ini, dinas kesehatan di daerah belum banyak bergerak karena instruksi di pusat belum ada. Dinas kesehatan tidak bisa digerakkan oleh Kemenkes atau BPOM saja. Tapi, hanya bisa oleh Kemendagri. Sampai hari ini, Kemendagri tidak terlibat,” katanya.
Menurut Robert, penetapan KLB akan mengonsolidasi dan memobilisasi sumber pendanaan dan sumber daya lain untuk mengatasi kasus ini. ”Kalau masih dengan cara biasa, pada akhirnya Kemenkes dan BPOM akan kewalahan melakukan inspeksi dan pengawasan. Dari substansi kejadian, ini luar biasa. Penanganannya pun harus luar biasa,” katanya.
Baca juga : Menguat, Dugaan Obat Cair dan Sirop Picu Gangguan Ginjal Akut pada Anak
Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, juga sependapat dengan Robert agar pemerintah segera menetapkan status KLB sehingga penanganan kasus gangguan ginjal akut lebih efektif. ”Jika alasannya ini bukan penyakit menular, KLB sebenarnya pernah ditetapkan untuk yang lain. Kita, misalnya, pernah menetapkan masalah gizi buruk sebagai KLB,” katanya.
Siti Nadia menjelaskan, gangguan ginjal akut pada anak hingga saat ini belum ditetapkan KLB karena konsekuensinya akan besar bagi Indonesia. ”Kalau ada status KLB, ada travel warning, dan lain-lain. Padahal, kita saat ini sedang dalam pemulihan setelah Covid-19,” ujarnya.