Panti asuhan tidak hanya menjadi rumah bagi anak-anak yatim piatu. Kemiskinan membuat anak-anak dari keluarga tak mampu di pelosok Lampung rela hidup di panti asuhan demi mendapat pendidikan yang lebih layak.
Oleh
VINA OKTAVIA
·4 menit baca
Nuraini (21) masih berusia sembilan tahun saat mulai tinggal di Panti Asuhan Pelita Harapan Bangsa yang terletak di salah satu sudut Kota Bandar Lampung pada 2010 silam. Saat itu, anak ketiga dari lima bersaudara itu masih duduk di kelas empat sekolah dasar.
Lahir sebagai anak dari keluarga miskin di pelosok Desa Merbau Mataram, Kecamatan Merbau Mataram , Kabupaten Lampung Selatan, membuat Nuraini menyadari sulitnya bisa meraih pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. Jangankan untuk sekolah, uang untuk kebutuhan makan sehari-hari saja masih sulit.
Ayah Nuraini yang bekerja sebagai buruh serabutan tidak selalu mendapat uang untuk makan sehari-hari. Saat tak ada pemasukan, ibunya kerap menjual perabotan rumah tangga untuk biaya makan keluarganya.
Potret pendidikan anak-anak perempuan di desanya juga memprihatinkan. Sebagian besar anak-anak perempuan hanya sekolah sampai lulus SD. Setelah itu, mereka biasanya menikah dan menjadi ibu rumah tangga.
“Saya ingin kuliah dan membanggakan kedua orangtua. Keinginan itu yang membuat saya memilih tinggal di panti asuhan ini,” kata Nuraini saat ditemui di Panti Asuhan Pelita Harapan Bangsa, Jumat (28/10/2022).
Pertemuan Nuraini dengan Amir Hamzah selaku Ketua Yayasan Pelita Harapan Bangsa berawal dari sebuah majelis pengajian. Amir adalah guru mengaji sekaligus ayah asuh bagi sejumlah anak-anak desa yang putus sekolah.
Selain Nuraini, saat itu ada 15 anak-anak lain yang ikut tinggal di panti asuhan yang didirikan Amir. Sebelum menempati rumah permanen milik yayasan sekarang ini, mereka pernah tinggal berpindah-pindah di rumah kontrakan.
Suka duka hidup di panti asuhan justru semakin melecut semangat Nuraini untuk belajar. Perjuangannya selama ini terbayar setelah ia mendapat beasiswa kuliah pada Jurusan D3 Teknik Gigi di Politeknik Kesehatan Tanjung Karang, Bandar Lampung. Ia baru saja wisuda dua bulan lalu.
“Saya senang karena bisa membuktikan pada kedua orangtua kalau saya bisa kuliah. Saya juga ingin menjadi contoh untuk adik-adik yang ada di panti ini agar terus semangat belajar,” ucapnya.
Selama tinggal di panti asuhan, Nuraini juga diajarkan mengelola usaha penjualan gas elpiji, galon, hingga papan bunga. Ia juga terlibat sebagai pengurus panti asuhan dan membantu mengelola panti tersebut.
“Saya tetap semangat karena merasa tidak sendirian. Ternyata ada banyak anak-anak yang nasibnya seperti saya,” tambahnya lagi.
Semangat untuk bisa sekolah hingga perguruan tinggi juga membuat Putri Seleste Lopez (12) dan Fransisko Junior Lopez (13) memilih tinggal di panti asuhan. Mereka diserahkan oleh ibunya sejak kelas 4 SD.
Kakak beradik ini tinggal di panti setelah ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat hendak bekerja sebagai buruh migran. Sementara ibu kandungnya harus merawat neneknya yang sakit-sakitan sembari bekerja sebagai buruh cuci.
Ekonomi keluarga tidak memungkinkan Putri dan Fransisko sekolah jika tetap tinggal bersama ibunya. Karena itulah, pihak keluarga menyerahkan mereka ke Panti Asuhan Pelita Harapan Bangsa.
Ketua Yayasan Pelita Harapan Bangsa, Amir Hamzah menuturkan, jumlah anak asuh di panti asuhan itu sebanyak 50 anak, terdiri dari 20 anak perempuan dan 30 anak laki-laki. Mereka tinggal terpisah di dua lokasi gedung panti asuhan tersebut.
Menurut dia, sebagian anak-anak yang tinggal di panti asuhan itu memang masih memiliki orangtua lengkap. Mereka berasal dari keluarga miskin yang punya tekad kuat untuk tetap bisa sekolah dan mengubah kehidupan keluarganya menjadi lebih baik.
Selain itu, ada juga anak-anak panti asuhan yang dititipkan karena menjadi korban perceraian kedua orangtuanya. Ada pula yang orangtuanya masih hidup, tapi tidak diketahui keberadaannya.
Panti asuhan hadir sebagai rumah dan lembaga pengasuhan alternatif bagi anak-anak yang lahir dari keluarga miskin.
Selama ini, sebagian besar panti asuhan masih bergantung pada donatur umum yang tidak mengikat. Sebagian panti asuhan mulai membuka usaha untuk membantu mencukupi kebutuhan operasional panti asuhan.
Di Panti Asuhan Raudatul Aitam, Rina Eliana (18), juga menjaga mimpinya untuk bisa lulus kuliah. Tahun ini, ia baru mendapat beasiswa untuk kuliah di Jurusan Pendidikan Guru Bahasa Inggris di Universitas Bandar Lampung.
Rina yang berasal dari pelosok Kabupaten Tanggamus, tepatnya di Desa Sukapadang, Kecamatan Cukuh Balak. Anak kedua dari empat bersaudara ini memilih tinggal di panti asuhan di Bandar Lampung demi bisa kuliah.
Nuraini, Putri, Fransisko, dan Rina adalah sekelumit potret anak-anak dari pelosok Lampung yang berjuang untuk mendapat pendidikan yang lebih baik. Panti asuhan hadir sebagai rumah dan lembaga pengasuhan alternatif bagi anak-anak yang lahir dari keluarga miskin.