Konsumsi Alkohol Sedang hingga Berat Meningkatkan Risiko Stroke
Sebuah studi global menemukan bahwa mengonsumsi alkohol pada tingkat sedang hingga tinggi dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
Sebuah studi global, yang dipimpin oleh peneliti dari University of Galway, menemukan bahwa konsumsi alkohol pada tingkat sedang hingga tinggi dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke. Konsumsi bir yang dominan dikaitkan dengan peningkatan 21 persen risiko stroke dan secara signifikan lebih tinggi atau 73 persen memicu perdarahan intraserebral.
Temuan ini telah dipublikasikan di jurnal Neurology dan dirilis pada Kamis (27/10/2022). Sebanyak 26.000 orang dari berbagai latar belakang etnis di 27 negara yang diteliti melalui proyek yang dinamai ”Interstroke” ini, seperempatnya merupakan peminum alkohol hingga saat ini.
Profesor kedokteran neurovaskular di Universitas Galway dan konsultan dokter stroke di Rumah Sakit Universitas Galway, Martin O’Donnell, memimpin studi internasional ini berkolaborasi dengan Salim Yusuf dari Institut Penelitian Kesehatan Populasi di Universitas McMaster, Kanada.
Di seluruh dunia ada perbedaan asupan alkohol berdasarkan jenis kelamin, usia, kelas sosial, pendidikan dan pekerjaan, serta perbedaan jenis alkohol yang dikonsumsi dan pola minum.
Menurut O’Donnell, stroke merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan secara global. Setiap tahun, sekitar 7.500 orang Irlandia mengalami stroke dan sekitar 2.000 orang di antaranya meninggal. Akibatnya, diperkirakan 30.000 orang di Irlandia hidup dengan disabilitas akibat stroke.
”Studi Interstroke dirancang untuk melihat faktor risiko utama stroke di berbagai wilayah di duni, untuk menginformasikan pendekatan pencegahan tingkat populasi. Dalam makalah ini, kami berfokus pada peran asupan alkohol dan risiko stroke,” katanya.
Berbagai laporan sebelumnya menemukan, asupan alkohol yang tinggi telah diketahui meningkatkan risiko stroke. ”Di sisi lain, ada beberapa ketidakpastian tentang apakah asupan alkohol rendah-sedang memengaruhi risiko stroke dan apakah hubungan asupan alkohol dengan stroke bervariasi menurut wilayah dan populasi,” katanya.
Beberapa temuan dari kajian ini di antaranya peminum saat ini dikaitkan dengan peningkatan 14 persen dalam kemungkinan semua stroke dan 50 persen peningkatan kemungkinan perdarahan intraserebral (stroke karena perdarahan), tetapi tidak ada peningkatan risiko stroke iskemik (stroke karena pembekuan).
Episodik berat atau yang disebut ”peminum pesta” dalam kajian ini didefinisikan sebagai lebih dari 5 gelas minuman beralkohol dalam satu hari, setidaknya sebulan sekali, dikaitkan dengan peningkatan 39 persen pada semua stroke, 29 persen peningkatan stroke iskemik, dan 76 persen peningkatan perdarahan intraserebral.
Sementara asupan alkohol yang tinggi didefinisikan sebagai lebih dari 14 minuman beralkohol per minggu untuk wanita dan lebih dari 21 minuman beralkohol per minggu untuk pria dikaitkan dengan peningkatan 57 persen pada stroke.
Jenis alkohol
Andrew Smyth, profesor epidemiologi klinis di Universitas Galway, yang turut dalam kajian ini, mengatakan, stroke dapat terjadi karena bekuan darah (iskemik) atau perdarahan (perdarahan intraserebral). ”Secara keseluruhan, temuan kami menunjukkan bahwa asupan alkohol yang tinggi dan sedang dikaitkan dengan peningkatan kemungkinan stroke, sementara kami tidak menemukan hubungan yang meyakinkan antara asupan rendah dan stroke,” katanya.
Smyth menambahkan, efek dari asupan alkohol sangat kompleks karena terkait dengan faktor sosial ekonomi, seperti pendidikan dan banyak faktor gaya hidup, termasuk merokok, pola makan, dan aktivitas fisik. ”Potensi dampak dari apa yang umumnya digolongkan sebagai ’peminum berlebihan’ penting untuk dipertimbangkan. Risiko buruk minum tujuh gelas satu hari per minggu cenderung lebih besar daripada minum satu gelas setiap hari per minggu,” katanya.
Dalam penelitian ini, para peneliti juga melihat perbedaan di antara jenis alkohol. Konsumsi bir yang dominan dikaitkan dengan peningkatan 21 persen risiko stroke ini secara signifikan lebih tinggi (73 persen) untuk perdarahan intraserebral. Konsumsi anggur yang dominan tidak dikaitkan dengan risiko stroke, dalam artian tidak ada peningkatan atau penurunan.
”Ini mungkin mencerminkan perbedaan risiko menurut jenis alkohol atau mungkin mencerminkan perbedaan dalam konteks sosial dari pola konsumsi,” katanya.
Termasuk dalam penelitian Intersroke yaitu analisis terhadap orang-orang yang sebelumnya pernah menjadi peminum tetapi telah berhenti. Studi ini menemukan bahwa mereka tidak mengalami peningkatan risiko stroke.
Sebaran peminum
Michelle Canavan, profesor kesehatan orang dewasa dan konsultan geriatri, yang juga terlibat dalam kajian, menambahkan, sebagian besar penelitian sebelumnya dilakukan di negara-negara berpenghasilan tinggi dengan keragaman budaya yang terbatas. Studi Interstroke global mengambil pendekatan yang berbeda dengan memasukkan peserta dari kelas atas, menengah, dan bawah di negara berpenghasilan dengan berbagai tingkat pendidikan dan profil risiko kardiovaskular.
”Di seluruh dunia ada perbedaan asupan alkohol berdasarkan jenis kelamin, usia, kelas sosial, pendidikan dan pekerjaan, serta perbedaan jenis alkohol yang dikonsumsi dan pola minum,” katanya.
Penelitian juga menemukan, terjadi penurunan risiko stroke akibat minuman di Eropa Barat dan Amerika Utara, tetapi peningkatan risiko stroke di India dan Amerika Selatan. Peningkatan terbesar dalam risiko stroke terlihat untuk peminum pesta di Amerika Selatan, Afrika, dan India serta dengan mereka yang memiliki tingkat konsumsi alkohol yang tinggi di China dan Asia Tenggara.