Fasilitasi Anak Muda untuk Peduli dan Terlibat Pengambilan Kebijakan Lingkungan
Keterlibatan anak muda dalam pengambilan kebijakan lingkungan masih belum optimal. Maka dari itu, transparansi dan akses anak muda dalam perumusan kebijakan perlu didorong.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak muda belum terlibat secara optimal dalam pembuatan kebijakan terkait lingkungan. Di sisi lain, terdapat disparitas atau perbedaan pengetahuan dan kepedulian anak muda terhadap kondisi lingkungan. Maka dari itu, perlu beberapa upaya untuk mendorong kepedulian dan pelibatan anak muda, di antaranya, melalui transparansi kebijakan dan pendidikan yang kontekstual.
Kepala Departemen Lingkungan Hidup Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) 2022 Kevin Wisnumurthi dalam bincang-bincang dan konferensi pers Youth Festival yang diadakan oleh Greenpeace Indonesia, Jumat (28/10/2022), menyebutkan, ketiadaan peran anak muda dalam pembuatan kebijakan lingkungan karena minimnya transparansi yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam acara yang diadakan di Kuningan, transparansi yang dimaksud Kevin tidak hanya dalam pembuatan kebijakan, tetapi juga terkait data yang dimiliki pemerintah.
”Sering kali ada pandangan menyepelekan ketika mahasiswa mengajak pemerintah untuk berdiskusi langsung terkait masalah kebijakan lingkungan. Mereka menganggap kami tidak tahu apa-apa, padahal diskusi ini merupakan bentuk pertanyaan kita atas kondisi yang terjadi. Selain itu, kami juga membawa kertas kajian mengenai kebijakan terkait. Justru, kadang dokumen atau data yang mendukung pembuatan kebijakan lingkungan ini tidak dimiliki oleh pemerintah atau datanya tidak lengkap,” kata Kevin.
Kevin mengakui, kegiatan diskusi dengan pemerintah daerah atau pusat seperti ini umumnya diinisiasi mahasiswa. Namun, inisiasi ini sering tidak mendapat tanggapan lebih lanjut kepada pemerintah pusat melalui kementerian terkait, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Kevin menekankan perlunya pelibatan dan partisipasi anak muda dalam pengambilan kebijakan terkait lingkungan. Pelibatan bermakna yang dimaksud ialah mendengarkan pendapat anak muda sejak awal hingga implementasi kebijakan serta melibatkan mereka dalam setiap pengambilan keputusan dan pengawasan atas pengambilan kebijakan.
Tidak hanya pada tataran nasional, perwakilan Kaum Muda Tanah Air (Kata) Siti Marfuah menjelaskan, pelibatan anak muda pada skala yang lebih kecil, seperti Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) di daerah, juga belum optimal. Hal ini termasuk melibatkan anak muda dalam pembuatan keputusan terkait lingkungan di ruang-ruang adat. Menurut dia, dalam skala kecil ini anak muda sudah terlibat, tetapi dalam keberlanjutan programnya belum.
Padahal, menurut Siti, penduduk yang sekarang tergolong muda merupakan mereka yang akan terdampak kebijakan lingkungan di masa depan. Dampak kebijakan lingkungan yang disahkan saat ini akan dirasakan 5-10 tahun atau lebih mendatang. Sementara para pembuat kebijakan yang saat ini ada belum tentu di masa depan masih hidup untuk merasakan dampaknya.
”Anak muda punya mimpi, energi, waktu, dan pengetahuannya sendiri untuk membentuk kebijakan lingkungan seperti apa yang mereka harapkan di masa depan. Jumlah anak muda ini banyak. Suara mereka diperlukan tidak hanya dalam pemilu, tetapi juga perlu membuka ruang dan mendorong partisipasi mereka dalam pembuatan kebijakan. Seperti penanganan sampah, pemanfaatan sumber daya alam di daerah, serta pemerintahan yang bersih dan komitmen lingkungan yang ambisius,” kata Siti.
Sebagai langkah untuk mendorong anak muda terlibat dalam pembuatan kebijakan, mereka juga perlu dipacu untuk peduli terhadap kondisi lingkungan. Di banyak daerah, hal ini masih terkendala. Namun, upaya ini bisa dilakukan secara struktural dan masif melalui pendidikan yang kontekstual.
”Pendidikan yang tidak kontekstual menyebabkan anak muda tidak paham dan tidak mengenali kondisi yang terjadi di sekitar mereka. Misalnya, terkait dengan permasalahan sampah, termasuk solusi pemilahan dan pengolahannya. Jika ditarik lagi, penyebabnya adalah pendidikan yang ada saat ini tidak memberi dan mendorong solusi atas permasalahan yang terjadi di sekitar mereka,” tutur Siti.
Berdasarkan hasil survei Kata pada akhir 2021, dari 271 anak muda yang disurvei di seluruh Indonesia, hanya 27,7 persen yang berasal dari perkotaan, 38,4 persen dari perdesaan, dan 33,9 persen berasal dari pinggiran kota atau desa. Dari jumlah ini, 52 persen anak muda saat ini tinggal di perkotaan dan sebagian besar tidak mengerti kondisi di lingkungan asal mereka atau kondisi di daerah lain.
”Anak muda punya mimpi, energi, waktu, dan pengetahuannya sendiri untuk membentuk kebijakan lingkungan seperti apa yang mereka harapkan di masa depan”.
Dampaknya, anak muda tidak bisa menjawab permasalahan di lingkungan mereka dengan konkret. Selain itu, minimnya ruang partisipasi dalam banyak hal juga berakibat pada tidak meratanya sumber daya yang bisa dimanfaatkan oleh anak muda. Misalnya, kekayaan sumber daya di desa yang hanya dimanfaatkan oleh elite desa hingga lapangan pekerjaan yang minim bagi anak muda.
Berbeda dari keduanya, Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Alius Haluk mengutarakan, saat ini masih ada kesenjangan antara anak muda di Indonesia bagian barat dan timur Indonesia, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Maluku Utara, dan Maluku. Perbedaan ini mencakup infrastruktur layanan dasar, seperti pendidikan dan sumber daya manusia.
”Fasilitas pendidikan untuk anak muda di sini lebih memadai, berbeda dengan yang ada di Papua. Sebagian anak Papua bahkan belum menyentuh keyboard laptop atau komputer. Maka dari itu, harapannya teman-teman memperlakukan dengan baik anak muda dari Papua yang belajar dan bekerja di sini. Kemudian, fasilitasi mereka dengan apa yang dibutuhkan sehingga nanti diharapkan ketika mereka kembali ke daerahnya, bisa menularkan pengetahuan kepada orang di pedalaman hutan atau pegunungan Papua,” ujar Alius.
Tidak hanya itu, Alius mengakui masih sedikit ruang diskusi dan forum bagi teman-teman dari Indonesia bagian timur untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Padahal, ini penting sebagai bagian dari pembangunan dan memperluas perspektif dari berbagai latar belakang geografis dan budaya. Minimnya ruang diskusi ini juga menghambat pemerataan akses dan pembangunan.