Ruang Partisipasi Pemuda dalam Kebijakan Publik Belum Optimal
Partisipasi generasi muda dalam perumusan kebijakan publik penting karena akan memengaruhi kehidupan pemuda secara langsung. Namun, ruang partsipasi untuk pemuda-pemudi masih terbatas.
JAKARTA, KOMPAS — Dunia menantikan keterlibatan pemuda dalam perumusan kebijakan publik. Kontribusi kaum muda dalam kebijakan dapat menjadi salah satu ujung tombak keberhasilan cita-cita bersama, baik di tataran mancanegara maupun nasional. Sayangnya, ruang partisipasi itu masih belum optimal di Indonesia.
Menurut COO Think Policy Indonesia sekaligus Adviser Data Science Indonesia Prasetya Dwicahya, kanal yang menyuarakan isu dan kebutuhan anak muda nasional belum terlihat di tataran legislatif. ”Padahal, sejumlah isu nasional relevan dengan kebutuhan dan situasi kaum muda saat ini. Contohnya, kebutuhan penguatan literasi, krisis iklim yang berdampak pada kondisi bumi saat ini dan masa depan, hingga akses anak muda terhadap hunian dan pekerjaan yang layak,” katanya saat dihubungi, Kamis (19/8/2021).
Meskipun demikian, dia menilai, ada harapan di tengah tantangan tersebut dari sejumlah gerakan anak muda berbasis isu-isu sektoral yang kerap menyuarakan aspirasi terhadap kebijakan publik di Indonesia berdasarkan fokus dan keterampilan masing-masing. Gerakan-gerakan sektoral tersebut membutuhkan pihak yang berkapasitas dalam mengintegrasikan aspirasi menjadi partisipasi pemuda yang terpadu dalam kebijakan publik.
Untuk menjalankan fungsi tersebut, lanjutnya, pengintegrasi beserta gerakan-gerakan pemuda membutuhkan data yang terbuka, dapat diperinci, serta dalam bentuk yang bisa diolah. Dengan demikian, mereka dapat menganalisis pemetaan isu dan aspirasi yang disuarakan anak muda agar kemudian bisa diadvokasikan dalam ruang kebijakan masyarakat.
Dalam laporan berjudul ”World Youth Report 2018: Youth and the 2030 Agenda for Sustainable Development” yang diterbitkan pada 2018, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyoroti situasi kaum muda yang menghadapi hambatan struktural dan sosial untuk berpartisipasi penuh dan efektif dalam ranah politik, ekonomi, dan kemasyarakatan. Hambatan ini membuat kaum muda semakin berisiko terhadap kemiskinan, kekerasan, pengungsian, hingga marginalisasi.
Baca Juga: Kebijakan Publik Butuh Masukan dari Generasi Muda
Padahal, kebijakan berbasis kaum muda dapat mengurangi kesenjangan, baik di antara pemuda maupun pemuda dengan masyarakat, melalui pemberdayaan dan keterlibatan muda-mudi dalam setiap aspek kehidupan. Kaum muda yang mampu memenuhi potensi mereka sebagai anggota aktif masyarakat dapat berkontribusi pada keberhasilan pencapaian cita-cita dunia, salah satunya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030.
Oleh sebab itu, pengarusutamaan kebijakan dan prioritas kepemudaan dalam kebijakan sektoral kementerian dapat berkontribusi pada pengembangan kaum muda yang lebih holistik. Pengarusutamaan ini dapat mengurangi potensi pemuda yang tergolong rentan dan terpinggirkan jatuh dalam celah implementasi kebijakan dan program.
Kompas moral
Anak muda merupakan kompas moral bagi suatu negara. Sejatinya, ruang bagi mereka bersuara mendapat porsi yang sesuai. Idealisme mereka yang akan menjaga bangsa ini mengarungi berpuluh tahun lagi, bahkan hingga lewat satu abad usia Indonesia yang juga dibangun oleh para pemuda.
”Beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia!” Jargon dari Presiden pertama Indonesia Soekarno ini masih kerap didengungkan. Bahkan, tak ayal berseliweran di media sosial dalam beragam bentuk dengan beragam ekspresi.
Membakar semangat memang. Namun, fakta yang dihadapi jauh berbeda. Segar dalam ingatan, September 2019, anak muda kembali turun ke jalan. Mereka menggugat beragam kebijakan publik dan undang-undang yang dirasa tak berpihak kepada rakyat. Hanya sekadar kongkalikong belakang para oligark. Dari revisi UU KPK, RUU Cipta Kerja, RUU Minerba, hingga kebakaran hutan yang saat itu terjadi.
Baca Juga: Generasi Muda Penjaga Harapan Masa Depan
Jalanan DPR kembali penuh dengan warna jaket almamater para mahasiswa. Serasa membangkitkan memori 1998, reformasi bergulir di tangan mahasiswa. Para anak muda menggulingkan kekuasaan yang bercokol 32 tahun lamanya.
Akan tetapi, stigma ditunggangi seolah anak muda tak mampu berpikir mandiri justru terlontar dari para politisi yang diharapkan mendengarkan substansi yang mereka sampaikan.
”Orang muda adalah kompas moral sebuah negara. Saat orang tidak muda, cenderung untuk kompromistis, kecenderungan kepentingan kelompok atau kepentingan privat itu sudah mulai muncul. Idealisme orang muda itulah keistimewaan, di mana di banyak negara idealisme orang muda lah yang mengarahkan apa yang harus dilakukan, siapa kelompok termarjinalkan yang harus dilindungi. Untuk itu proses pengambilan kebijakan publik perlu sangat perlu melibatkan orang muda,” tutur Andhyta F Utami, Environmental Economist & Co-Founder Think Policy.
Menurut Andhyta, ruang untuk anak muda terkait dengan proses dan pembuatan kebijakan publik ini memang sangat terbatas, baik secara politik formal maupun informal. Keberadaan ruang yang terbatas ini juga tidak diikuti dengan kesediaan memperhitungkan dan mendengarkan substansi yang disampaikan.
Ditambah lagi, sistem pendidikan Indonesia yang ada belum mampu mendorong anak muda untuk mau secara sukarela berpartisipasi atau bersuara. Di sisi lain, membuat anak muda memiliki kesadaran yang minim bahwa proses pengambilan kebijakan publik dan keputusan politik itu mempengaruhi hidup.
Padahal, tantangan ke depan jauh lebih kompleks. Dari krisis iklim, masalah kesetaraan, persoalan hak asasi manusia dan jender, hingga korupsi. “Saat ini, belum seberkualitas itu. Ke depan, idealnya pemuda bisa sangat berperan. Karena dari sisi jumlah saja ada 64 juta orang. Berarti ada 64 juta ide untuk menyelesaikan masalah politik, sosial, ekonomi, lingkungan. Hingga presiden seperti apa yang terpilih, kepala daerah seperti apa, anggota dewan seperti apa, sampai model bisnis seperti apa yang diperlukan. Potensinya sangat besar,” tutur Andhyta.
Baca Juga: Anak Muda Dituntut Semakin Kompetitif
Lewat Think Policy Society, Andhyta pun mendorong partisipasi aktif anak muda. Dengan harapan, ikut mendorong perubahan agar anak muda juga bisa didengar secara substansi.
”Kalau di Amerika Serikat atau di Inggris, ada saluran formal yang bisa digunakan. Misal, bikin petisi di Inggris kemudian sampai pada level tertentu, gerakan dengan petisinya itu wajib ditemui oleh pihak yang berkaitan. Di Indonesia, ruang secara formal ada, tetapi seberapa jauh bisa mempengaruhi atau diperhatikan substansinya. Yang tidak secara formal, seperti demo yang sebenarnya banal, tidak benar-benar punya ruang,” ujarnya.
Masih terbatas
Wartawan Kompas, Agnes Theodora, berpendapat, akses publik untuk menyuarakan aspirasi ke pemegang kekuasan sudah ada, tetapi terbatas. Hal ini berlaku juga buat generasi muda. Akibatnya, banyak generasi muda turun ke jalan dan berdemonstrasi.
”Demonstrasi itu bentuk kekecewan karena sulit menyampaikan aspirasi lewat jalur formal,” katanya, Kamis (19/8/2021).
Minimnya pelibatan anak muda dalam proses perumusan kebijakan publik itu satu hal. Generasi muda juga menghadapi diskriminasi usia. Tidak sedikit anak muda dipandang sebelah mata karena ”masih bau kencur” atau ”belum banyak makan asam dan garam kehidupan”.
Padahal, anak muda masa kini punya daya untuk melakukan perubahan. Menurut Agnes, anak muda sekarang berpikiran terbuka dan peka terhadap isu di sekitarnya, baik sosial hingga lingkungan. Pemuda juga melek politik dan aktif berpartisipasi.
Ini tampak dari cuitan anak-anak muda di media sosial. Mereka aktif menyuarakan pendapat tentang situasi negeri maupun kebijakan pemerintah.
Di sisi lain, kebijakan pemerintah sedikit banyak dipengaruhi respons publik di dunia maya. Isu vaksinasi berbayar, misalnya, kemudian dibatalkan karena mendapat banyak tentangan dari warganet. Hal ini cukup menunjukkan daya yang dimiliki pemuda-pemudi.
Sejarah pun mencatat anak muda sebagai agen perubahan, misalnya gerakan mahasiswa tahun 1998. Peran anak muda juga signifikan pada demonstrasi di depan Gedung DPR pada September 2019, demonstrasi isu lingkungan oleh pelajar seluruh dunia yang diinisiasi Greta Thunberg, hingga demonstrasi di Hong Kong untuk menolak RUU Ekstradisi ke China.
Sayang, anak muda masih dilihat sebagian pihak sebagai ”suara rakyat” yang dicari lima tahun sekali. Setelah tujuan tercapai, janji ke anak muda terlupakan. Belum ada jaminan bahwa suara anak muda diakomodasi dalam kebijakan publik.
”Pelibatan anak muda di perumusan kebijakan publik penting karena ini berkaitan langsung dengan kehidupan kita. Siapa lagi yang bisa advokasi suara anak muda kalau bukan anak muda? Jika bergantung ke generasi yang lebih tua, belum tentu mereka benar-benar paham isu yang kita hadapi,” kata Agnes.
Baca Juga: Milenial Agen Toleransi Masa Depan
Walau belum banyak terlibat di perumusan kebijakan publik, anak muda tetap bergerak sesuai kemampuan dan perannya masing-masing. Ada yang membuat gerakan sosial, terjun ke partai politik, dan ada juga yang aktif mengadvokasi publik di media sosial. Pokoknya gerak, gerak, gerak.
Gerakan anak muda ini pun perlu didukung pemerintah. Ini karena anak muda masih kerap terkendala sumber daya yang terbatas, baik tenaga, SDM, biaya, hingga data. ”Anak muda harus kompak. Mari kita merapatkan barisan dan (bekerja) bareng-bareng,” tutur Agnes.
Melihat konteks
Kepala Desk Politik & Hukum Kompas Antony Lee mengatakan, makna partisipasi politik tidak terbatas dalam artian terlibat dalam aktivitas politik praktis atau politik elektoral. ”Tapi semua hal yang berhubungan dengan resolusi, perbedaan kepentingan masyarakat dan mencoba untuk menyelesaikan itu bisa dimaknai sebagai politik secara luas,” tuturnya saat dihubungi di Jakarta, Rabu (18/8/2018).
Antony melanjutkan, seorang individu bisa terlibat dalam politik dengan mengawasi hasil pemilu, memantau pembangunan infrastruktur di kabupaten/kota, atau membuat program pengawasan penyaluran dana bansos. Partisipasi ini melihat konteks apa yang menjadi kebutuhan masyarakat dan kemampuan apa yang dimiliki individu itu.
”Penting agar anak muda terlibat dalam proses pembuatan kebijakan publik karena ini berdampak pada banyak orang. Jadi pertanyaannya, apakah kita ingin kehidupan kita, dalam konteks relasi vertikal dengan negara dan relasi horizontal dengan sesama, diatur sepenuhnya oleh orang lain atau kita ingin ada andil dalam proses pembuatan kebijakan itu,” kata Antony.
Dalam survei Litbang Kompas kepada 275 mahasiswa berusia minimal 17 tahun dari sejumlah daerah pada Desember 2017, makna politik berkonotasi negatif. Kata politik yang terbayang di kepala mereka ternyata soal perebutan kekuasaan, korupsi, dan kebohongan. Di sisi lain, anak muda (92 persen) akan berpartisipasi dengan menggunakan hak pilih mereka jika pemilihan kepala daerah alias pilkada dilakukan saat ini (Kompas, 28 Desember 2017).
Menurut Antony, perlu riset lebih jauh untuk mengetahui bagaimana tanggapan anak muda tentang berpartisipasi dalam konteks politik non elektoral. Hal ini karena penetrasi internet dan banjir informasi membuat anak muda yang adalah digital native yang memiliki kesempatan lebih untuk berpartisipasi lebih luas.
”Sekarang ruang publik menjadi sangat tidak terbatas. Anak muda memiliki ruang untuk diskusi di laman daring, mengecam program tertentu, serta menggalang dana, dukungan, atau perspektif masyarakat. Potensi anak muda terlibat aktif dalam politik elektoral dan non elektoral terbuka,” ucap Antony.
Baca Juga: Demikian Aneka Pelatihan Kaum Muda untuk Tembus Panggung Bisnis Global
Ada tiga faktor, lanjutnya, yang bisa mendorong anak muda berpartisipasi dalam politik. Tiga faktor itu adalah keberadaan ruang luring dan daring; pengetahuan menggunakan internet, berkomunikasi, dan mengadvokasi; serta perasaan berdaya karena apa yang dilakukan berdampak bagi diri sendiri dan orang lain.
Antony menjelaskan, platform digital berkontribusi besar dalam membawa suara anak muda dalam politik karena waktu dan ruang menjadi tidak terbatas. Sayang, partisipasi politik secara daring lemah lantaran jaringan dan organisasi partisipasi sangat longgar. ”Jadi, kekuatan untuk mengubah kebijakan masih memerlukan perpaduan platform digital dan aktivitas offline, seperti pertemuan untuk membangun ikatan emosional,” tuturnya.
Sejauh ini, kata Antony, respons pemerintah terhadap partisipasi politik anak muda beragam. Pemerintah, misalnya, merespons ketika publik bersuara tentang kasus Baiq Nuril, tetapi bergeming pada penolakan revisi UU KPK pada 2019. Respons pemerintah terlihat bergantung dari isu, upaya yang dilakukan anak muda, dan konstelasi politik yang sedang bergulir.
Antony mengatakan, tantangan untuk berpartisipasi dalam politik saat ini adalah penyempitan ruang kebebasan sipil untuk berekspresi. Pelakunya bisa aktor pemerintah yang tidak suka dikritik atau malah akibat polarisasi masyarakat yang menguat.
”Apakah kita harus mundur? Sepertinya tidak. Saya yakin kreativitas anak muda akan menemukan cara yang tepat untuk menyuarakan pandangan dan bisa tetap aman di tengah tantangan demokrasi yang dihadapi masyarakat,” ujar Antony.