Skenario penambahan fasilitas kesehatan untuk mengantisipasi tambahan kasus gangguan ginjal akut disiapkan. DKI Jakarta, misalnya, menyiapkan sejumlah rumah sakit tipe A dan B.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana menambah fasilitas kesehatan untuk menangani kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal pada anak. Di sisi lain, penyebab penyakit ini mesti segera ditentukan agar penanganan pasien optimal.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang menyiapkan sejumlah rumah sakit tipe A dan B di DKI Jakarta untuk merawat pasien gangguan ginjal akut. Rumah sakit tersebut ialah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan, RSUD Pasar Minggu, RSUD Pasar Rebo, dan RSUD Koja.
”Mulanya ada dua rumah sakit rujukan (di Jakarta), yaitu RSCM (RSUP Dr Cipto Mangunkusumo) dan Rumah Sakit (Anak dan Bunda/RSAB) Harapan Kita,” kata Widyastuti melalui siaran langsung di kanal Youtube BPSDM DKI Jakarta, Rabu (26/10/2022).
Dari 14 (rumah sakit) ini, tentu saja kita akan menambah sesuai dengan ibu kota provinsi yang mempunyai kemampuan, baik dokternya maupun alat hemodialisa.
Menurut dia, jumlah rumah sakit rujukan gangguan ginjal akut yang ada di Ibu Kota belum cukup bila dibandingkan dengan jumlah kasus yang ada. Per 25 Oktober 2022, Dinkes DKI Jakarta mencatat ada sekitar 90 anak yang menunjukkan gejala gagal ginjal akut. Pasien-pasien itu tidak semuanya warga DKI Jakarta. Sebagian pasien merupakan warga Jabodetabek, Banten, dan provinsi lain.
Sementara jumlah sumber daya manusia kesehatan belum sebanding dengan jumlah kasus gangguan ginjal akut. Widyastuti mengatakan, setidaknya ada tiga dokter anak ahli ginjal di Jakarta. Langkah antisipasi pun disiapkan jika kasus gangguan ginjal akut naik.
”Kami kirimkan tenaga kami untuk melakukan perawatan (pasien) ke RSCM. Sambil belajar, sambil memberi tenaga tambahan di sana. Jika sekiranya pelebaran layanan pasien dibutuhkan, kami sudah siap,” tutur Widyastuti.
Laboratorium kesehatan daerah (labkesda) yang berada di bawah Dinkes DKI Jakarta juga dikerahkan untuk pemeriksaan toksikologi, baik pada sampel darah pasien maupun obat yang diduga memicu timbulnya gangguan ginjal akut. Laboratorium ini telah menjadi salah satu laboratorium rujukan pemerintah.
Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengatakan, sejauh ini ada 14 rumah sakit rujukan gangguan ginjal akut yang ditetapkan pemerintah. Beberapa di antaranya RSUD Dr Soetomo, Surabaya; RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta; RSUP Prof Ngoerah, Denpasar; serta RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang, Palembang. Adapun RSCM merupakan rumah sakit rujukan nasional untuk gangguan ginjal akut.
”Dari 14 (rumah sakit) ini, tentu saja kita akan menambah sesuai dengan ibu kota provinsi yang mempunyai kemampuan, baik dokternya maupun alat hemodialisa,” kata Syahril.
Temukan penyebabnya
Saat dihubungi terpisah, Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi Tjandra Yoga Aditama mendorong agar pemerintah segera menemukan penyebab gangguan ginjal akut pada anak. Tanpa penyebab yang jelas, penanganan pasien tidak akan optimal. Penambahan fasilitas kesehatan pun bisa dihindari jika penyebabnya diketahui.
”India pernah lima kali mengalami kejadian ini. Tapi, kelimanya terjadi di satu tempat. Kasusnya berhenti begitu penyebabnya diketahui,” katanya.
Setidaknya, ada lima kejadian gangguan ginjal akut yang terjadi di India pada tahun 1972 hingga 2019-2020. Tercatat ada lebih dari 80 kematian karenanya. Penyakit ini dihubungkan dengan obat sirop yang tercemar dietilen glikol (DEG).
Sementara itu, jumlah kasus gangguan ginjal akut di Indonesia per 24 Oktober 2022 adalah 255 kasus yang tersebar di 26 provinsi. Jumlah kematian 143 kasus yang berarti tingkat kematian 56 persen.
Hingga kini belum ada faktor pasti yang menyebabkan gangguan ginjal akut. Namun, pemerintah menghubungkan penyakit ini dengan cemaran DEG dan etilen glikol (EG) pada sejumlah obat sirop. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan hingga kini ada lima produk obat sirop mengandung EG dan DEG yang melebihi ambang batas aman.
Tjandra menambahkan, profil 255 pasien gangguan ginjal akut mesti ditelusuri secara detail, antara lain apa pasien mengonsumsi obat atau tidak hingga potensi faktor lingkungan terhadap kondisi kesehatan pasien. Menurutnya, hal ini sangat mungkin dilakukan.
”Pasien yang under reported (sakit, tetapi tidak terdata) juga agar dicari. Tapi, kejar dulu yang 255 pasien ini agar ketemu penyebabnya secara jelas,” ucapnya.